Pareto,
Shaw, dan Gerobakpreneur
Rhenald Kasali ;
Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
|
KORAN
SINDO, 21 Agustus 2014
Kita semua pemakai gadget . Dari telepon seluler (ponsel) biasa
hingga ponsel cerdas. Bentuknya bisa telepon sentuh, iPhone, tablet, atau
peranti jinjing lainnya.
Semuanya produk berbasis teknologi. Ada yang langsung sentuh dan
pakai, tetapi tak sedikit yang masih hidup dalam peradaban membaca manual.
Namun berapa banyak dari kita yang membaca manualnya sepenuh hati sebelum
menggunakannya? Dugaan saya, sedikit sekali. Bahkan button theory mengatakan, kaum muda langsung mengoprek-oprek
layar sentuhnya atau knopnya meski berisiko salah, lalu bingung tak tahu apa
yang meski dilakukan, keliru berulang kali, dan sebagainya.
Jika tidak atau kurang mengerti, ketimbang repot mencari tahu
dari manualnya, kita lebih suka bertanya ke orang lain. Faktanya, anak-anak
kita, entah bagaimana, ternyata bisa jauh lebih cepat paham ketimbang kita.
Perilaku semacam ini tentu ada risikonya. Vilfredo Pareto, ekonom dan
sosiolog berkebangsaan Italia, mengatakan, ”Sebanyak 80% hasil ternyata diperoleh hanya dari 20% usaha.” Itu
sebabnya Hukum Pareto kemudian kita
sederhanakan dengan prinsip 80/20. Maksud saya begini.
Dari seluruh pemakai gadget, ternyata hanya 20% di antara kita
yang mampu memanfaatkan 80% dari fungsi-fungsi yang tersedia pada gadget-nya.
Sebaliknya, sebanyak 80% pemakai gadget ternyata hanya bisa memakai 20% dari
seluruh fungsi yang tersedia dalam peranti tersebut. Maka, tak mengherankan,
meski ada begitu banyak pemakai smartphone, sebagian besar ternyata hanya
menggunakannya untuk menelepon, mengirim SMS, atau sesekali membuka email.
Sebagian besar lainnya menggunakannya untuk berselfie dengan bantuan tongsis
(tongkat narsis) atau paling-paling untuk bermain game.
Aplikasi-aplikasi lainnya? Nyaris tidak digunakan. Prinsip
Pareto ini berlaku di mana-mana. Dalam setiap perubahan, ternyata hanya 20%
pegawai dan staf yang mendukung proses transformasi. Selebihnya menolak, diam
saja, tidak mengerti atau ikut arus. Soal distribusi kekayaan juga sama,
ternyata sebanyak 80% dikuasai hanya oleh 20% warga dunia. Sebaliknya, 80%
masyarakat dunia memperebutkan 20% kekayaan yang tersisa dan masih banyak
lagi contoh lain.
Prinsip 2 - 3 - 95
Vilfredo Pareto mungkin seorang ekonom yang sangat optimistis.
Ia jauh lebih optimistis ketimbang George Bernard Shaw, seorang sastrawan.
Cobalah simak pernyataan Bernard Shaw tentang manusia berpikir: ”Only 2% people think, three percent think
they think, the remaining 95% would rather die than think .” Betulkah
hanya 2% di antara kita yang berpikir?
Kalau melihat fenomena yang terjadi di dunia pendidikan kita,
saya merasa Bernard Shaw ada benarnya. Hanya 2% dari seluruh tenaga pendidik
yang betul-betul menjalankan perannya sebagai pendidik. Mereka ini adalah
orang-orang yang tidak sekadar memindahkan isi buku ke kepala murid-muridnya,
tetapi juga memperbaiki cara berpikirnya dan menerapkan ilmunya dalam
kehidupan sehari-hari. Makanya hanya sedikit akademisi yang punya karya
besar, bukan? Lalu, sebanyak 3% adalah mereka yang merasa dirinya pendidik.
Padahal bukan. Lalu, mayoritas sisanya adalah mereka yang menyebut dirinya
pengajar. Di antara mereka yang menjadi pengajar pun hanya 2% yang
betul-betul bisa memindahkan isi buku ke dalam benak dan tindakan
murid-muridnya.
Lalu, sebanyak 3% merasa dirinya berhasil memindahkan isi buku
ke dalam pikiran murid-muridnya. Selebihnya tidak berhasil memindahkan isi
buku tersebut. Fenomena yang sama terjadi di kalangan para pemimpin. Hanya 2%
di antara para pemimpin yang benar-benar melakukan perubahan. Sebanyak 3%
merasa dirinya sudah melakukan perubahan, padahal belum. Lalu, mayoritas
lainnya adalah pemimpin yang selalu ikut arus. Mereka memimpin bawahannya
dengan cara-cara yang sama, seperti yang dilakukan para pendahulunya.
Mereka dengan bangga menyebut dirinya sebagai generasi penerus.
Padahal, zaman sudah berubah. Problematika sudah menjadi semakin kompleks
sehingga tidak bisa lagi dipimpin dengan caracara lama. Di mana kita bisa
melihat fenomena tersebut? Di manamana. Kita mempunyai banyak seniman lukis,
tetapi hanya ada beberapa yang layak disebut maestro sekelas Affandi, Jeihan
atau Sudjojono. Begitu pula di tingkat dunia, hanya ada beberapa gelintir
yang layak disebut seperti Van Gogh, Rembrandt, Picasso atau Leonardo da
Vinci.
Bukan Gerobakpreneur
Angka 2% seakan-akan menjadi magic number . Ia menjadi indeks
penting dalam dunia kewirausahaan di berbagai negara. Anda tentu mengenal
rule of thumb yang mengatakan suatu negara akan menjadi negara maju jika 2%
dari jumlah penduduknya menjadi pengusaha atau entrepreneur . Kita belum
menjadi negara maju karena jumlah penduduknya yang menjadi pengusaha tak
sampai 1%.
Sumber-sumber yang lain menyebut bahwa jumlah pengusaha kita
hanya 0,24% dari seluruh penduduk Indonesia. Bahkan ada yang menyebut jumlah
pengusaha kita baru 0,18% dari seluruh penduduk. Banyak kalangan menilai
Malaysia lebih maju dari kita. Di sana jumlah penduduknya yang menjadi
pengusaha sudah lebih dari 6%. Amerika Serikat yang jauh lebih maju ketimbang
kita sebanyak 12% dari jumlah penduduknya menjadi pengusaha.
Saya percaya kuantitas memang penting. Tapi, kualitas juga tak
kalah penting. Itu sebabnya saya risau kalau kita hanya berpegang pada angka
2% dan mengabaikan kualitas. Maksudnya begini. Untuk mengejar angka yang 2%,
beberapa perguruan tinggi membuka program studi atau jurusan kewirausahaan
atau minimal mengaktifkan mata kuliah-mata kuliah untuk menjadikan lulusannya
wirausaha. Lalu, sejumlah lembaga juga menggelar lomba kewirausahaan. Mulai
dari wirausaha muda hingga wirausaha paling inovatif dan sebagainya.
Semua baik-baik saja. Tapi, kalau Anda cermati, banyak lulusan
perguruan tinggi yang kemudian menjadi pengusaha sebetulnya bisnis-bisnis
mereka hanya menjadi pesaing dari pedagang kaki lima. Mereka bukan melahirkan
merek-merek franchise baru, tetapi mengembangkan apa yang disebut dengan
istilah gerobakchise. Bisnis franchise ala gerobak. Bagi saya,
mereka tidak menjadi berkah bagi ekonomi rakyat. Malah mereka menjadi pesaing
bagi para pedagang kali lima.
Mereka pasti menang karena memiliki bekal pengetahuan dan
penguasaan teknologi informasi. Padahal, 20-30 tahun yang lalu, Soeharto saja
sudah mencetak konglomerat atau Bung Karno 60 tahun yang silam sudah mencetak
pengusaha Benteng yang skala usahanya besar. Kita juga sudah saksikan
lahirnya pengusaha pribumi lulusan S-1 sekelas Medco dan Bukaka. Kita memang
masih membutuhkan banyak entrepreneur. Tapi, entrepreneur yang kelak bakal
menjadi pengusaha-pengusaha besar sekelas Arifin Panigoro, Ciputra, Trihatma
Kusuma Haliman, atau Chairul Tanjung. Maksud saya, bukan sekadar gerobakpreneur.
Maksud saya pula, kalau sudah besar, bantulah yang kecil-kecil,
bukan mematikan mereka yang tak berdaya. Caranya, jadikan mereka besar juga.
Itulah mimpi saya sekarang ini, yang ingin saya wujudkan melalui dunia
pendidikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar