Jumat, 22 Agustus 2014

Desakralisasi Otoritas Media

                                    Desakralisasi Otoritas Media

Muhamad Heychael   ;   Koordinator Divisi Penelitian Remotivi
KORAN TEMPO, 21 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Satu hal yang patut disyukuri pasca-kampanye pemilu presiden lalu adalah literasi media. Pertarungan dua poros politik yang melibatkan peran media secara tidak langsung mengajak publik memahami bahwa media bukanlah produsen informasi yang bebas nilai.

Kita tentu ingat bagaimana berita TV One yang membingkai PDIP sebagai partai komunis dan kader-kadernya sebagai keturunan anggota PKI. Pemberitaan Metro TV juga bukan tanpa masalah. Persoalan pelanggaran hak asasi manusia hingga kasus penyalahgunaan lambang negara (logo kampanye Koalisi Merah Putih) menjadi informasi yang terus dilekatkan pada calon presiden nomor urut satu, Prabowo Subianto. 

Akibat keberpihakan yang telanjang tersebut, publik menyadari bahwa informasi yang diusung stasiun televisi bias. Kesadaran ini mencuat antara lain lewat berbagai perdebatan publik di media sosial. Masing-masing pendukung kubu capres/cawapres mengkritik sumber informasi yang diusung sang lawan politik. Publik kerap melihat media semata sebagai produk kerja politik, sehingga gagal melihat hasil kerja jurnalistik dengan jernih.

Sebenarnya terdapat perbedaan yang mendasar antara pembingkaian berita dan informasi sesat. Sebuah berita bisa saja berpihak, tapi tetap dikerjakan berdasarkan kaidah jurnalistik, sehingga tetap merupakan sebuah fakta. Bingkai dalam pemberitaan adalah pemilahan dan penonjolan fakta tertentu. Misalnya, berita berjudul "Prabowo-Hatta Menang di Penjara Khusus Koruptor" (Tempo.co, 9 Juli 2014) atau "Di Lokalisasi Gang Dolly, Jokowi-JK Menang" (Viva.co.id, 5 Agustus 2014) jelas merupakan strategi pembingkaian media. Meski demikian, keduanya dikerjakan dengan kaidah jurnalistik: memiliki sumber yang jelas dan data yang akurat.

Hal berbeda bisa ditemui pada Seputar Indonesia edisi 11 Juni 2014 mengenai dugaan bocornya materi debat capres dan cawapres yang dituduhkan kepada kubu Jokowi-Jusuf Kalla. Berita tersebut jelas cacat secara jurnalistik karena didasari sumber yang sumir, bukan prinsip cover both sides. Cacat jurnalistik yang sama kita temui pada berita-berita VOA Islam atau Obor Rakyat yang memberitakan bahwa Jokowi berasal dari etnis Tionghoa serta beragama non-Islam.

Pada kenyataannya, publik seringkali mengabaikan kualitas informasi media dan mengedepankan preferensi politik atau ideologi. Kebenaran informasi tidak diukur dari validitasnya, melainkan ditentukan oleh kesesuaian dengan pilihan politik. Dari sini kita melihat bahwa hal yang luput dari kritik publik atas media adalah diterimanya asumsi media sebagai sumber informasi yang "benar". Kritik atas keberpihakan media tidak dilanjutkan menjadi kritik atas kredibilitas informasi media. Dalam kata lain, maraknya kritik publik lebih merupakan kritik atas preferensi politik media, bukan kritik terhadap otoritas media dalam menyampaikan informasi.

Apa yang kita perlukan dalam waktu-waktu ke depan adalah desakralisasi otoritas media, sehingga publik memahami bahwa informasi yang dihasilkan media bukan wahyu yang tak bisa dipertanyakan. Idealnya, diskusi atau perdebatan publik dilakukan di atas pertanyaan mengenai validitas informasi media. Hanya dengan begitu dialog bisa dicapai, karena tanpanya yang terjadi adalah seolah berdiskusi padahal masing-masing pihak bercakap sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar