Desakralisasi
Otoritas Media
Muhamad Heychael ;
Koordinator Divisi Penelitian Remotivi
|
KORAN
TEMPO, 21 Agustus 2014
Satu hal yang patut disyukuri pasca-kampanye pemilu presiden
lalu adalah literasi media. Pertarungan dua poros politik yang melibatkan
peran media secara tidak langsung mengajak publik memahami bahwa media
bukanlah produsen informasi yang bebas nilai.
Kita tentu ingat bagaimana berita TV One yang membingkai PDIP
sebagai partai komunis dan kader-kadernya sebagai keturunan anggota PKI.
Pemberitaan Metro TV juga bukan tanpa masalah. Persoalan pelanggaran hak
asasi manusia hingga kasus penyalahgunaan lambang negara (logo kampanye
Koalisi Merah Putih) menjadi informasi yang terus dilekatkan pada calon
presiden nomor urut satu, Prabowo Subianto.
Akibat keberpihakan yang telanjang tersebut, publik menyadari
bahwa informasi yang diusung stasiun televisi bias. Kesadaran ini mencuat
antara lain lewat berbagai perdebatan publik di media sosial. Masing-masing
pendukung kubu capres/cawapres mengkritik sumber informasi yang diusung sang
lawan politik. Publik kerap melihat media semata sebagai produk kerja
politik, sehingga gagal melihat hasil kerja jurnalistik dengan jernih.
Sebenarnya terdapat perbedaan yang mendasar antara pembingkaian
berita dan informasi sesat. Sebuah berita bisa saja berpihak, tapi tetap
dikerjakan berdasarkan kaidah jurnalistik, sehingga tetap merupakan sebuah
fakta. Bingkai dalam pemberitaan adalah pemilahan dan penonjolan fakta
tertentu. Misalnya, berita berjudul "Prabowo-Hatta
Menang di Penjara Khusus Koruptor" (Tempo.co, 9 Juli 2014) atau "Di
Lokalisasi Gang Dolly, Jokowi-JK Menang" (Viva.co.id, 5 Agustus 2014) jelas merupakan strategi pembingkaian
media. Meski demikian, keduanya dikerjakan dengan kaidah jurnalistik:
memiliki sumber yang jelas dan data yang akurat.
Hal berbeda bisa ditemui pada Seputar Indonesia edisi 11 Juni
2014 mengenai dugaan bocornya materi debat capres dan cawapres yang
dituduhkan kepada kubu Jokowi-Jusuf Kalla. Berita tersebut jelas cacat secara
jurnalistik karena didasari sumber yang sumir, bukan prinsip cover both sides. Cacat jurnalistik
yang sama kita temui pada berita-berita VOA Islam atau Obor Rakyat yang
memberitakan bahwa Jokowi berasal dari etnis Tionghoa serta beragama
non-Islam.
Pada kenyataannya, publik seringkali mengabaikan kualitas
informasi media dan mengedepankan preferensi politik atau ideologi. Kebenaran
informasi tidak diukur dari validitasnya, melainkan ditentukan oleh
kesesuaian dengan pilihan politik. Dari sini kita melihat bahwa hal yang
luput dari kritik publik atas media adalah diterimanya asumsi media sebagai
sumber informasi yang "benar". Kritik atas keberpihakan media tidak
dilanjutkan menjadi kritik atas kredibilitas informasi media. Dalam kata
lain, maraknya kritik publik lebih merupakan kritik atas preferensi politik
media, bukan kritik terhadap otoritas media dalam menyampaikan informasi.
Apa yang kita perlukan dalam waktu-waktu ke depan adalah
desakralisasi otoritas media, sehingga publik memahami bahwa informasi yang
dihasilkan media bukan wahyu yang tak bisa dipertanyakan. Idealnya, diskusi
atau perdebatan publik dilakukan di atas pertanyaan mengenai validitas
informasi media. Hanya dengan begitu dialog bisa dicapai, karena tanpanya
yang terjadi adalah seolah berdiskusi padahal masing-masing pihak bercakap
sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar