Sabtu, 16 Agustus 2014

Demokrasi Daulat Rakyat

                                         Demokrasi Daulat Rakyat

Sri-Edi Swasono  ;   Guru Besar Universitas Indonesia,
Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa
KOMPAS, 16 Agustus 2014
                                                


Demokrasi adalah daulat rakyat, bukan daulat tuanku, bukan pula daulat pasar.
Pemerintahan demokratis adalah pemerintahan cap rakyat, bukan cap tuanku, bukan pula cap partai, cap teknokrat, ataupun cap kleptokrat. Demokrasi politik menuntut partisipasi politik dan emansipasi politik seluruh rakyat. Demikian pula demokrasi ekonomi menuntut partisipasi ekonomi dan emansipasi ekonomi. Demokratisasi politik sarat nilai kultural dan fatsun lokal, demikian pula demokrasi ekonomi mengemban nilai-nilai kultural dan tatanan lokal.

Tanpa demokrasi ekonomi akan terbentuk konsentrasi kekuatan ekonomi yang akan mengatur dan mendikte demokrasi politik. Demokrasi ekonomi merupakan the political struggle of the twenty-first century (JW Smith, 2000), sebagai upaya mendobrak pola perdagangan konspiratif masa lalu yang membentuk imperialisme korporasi saat ini (ibidem).

Demokrasi menjadi tuntutan modernisasi, yang bukan harus westernisasi. Ada demokrasi Barat, ada pula demokrasi Timur. Indonesia menegaskan demokrasi bikinannya sendiri, consociational democracy, demokrasi berdasar konsensus. Demokrasi Indonesia memangku pluralisme Indonesia, mengedepankan prinsip semua diwakili, bukan sekadar semua dipilih.

Demokrasi Indonesia terselenggara di parlemen melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (bukan sekadar Majelis Rakyat), yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan. Inilah demokrasi Pancasila berdasar asas bersama, demokrasi yang mengutamakan musyawarah untuk mufakat, bukan yang serba melalui voting. Bahwa Amandemen UUD 1945 meminggirkan prinsip semua diwakili sebagai demokrasi bikinan sendiri Indonesia adalah suatu kecelakaan konstitusional, suatu kelengahan kultural kebarat-baratan berdasar asas perorangan, individualisme.

Penegasan Jokowi

Sangat menarik mendengar penegasan capres Jokowi: ”…saya hanya akan tunduk kepada konstitusi dan amanat rakyat…”.

Tunduk kepada konstitusi adalah tunduk kepada UUD 1945 yang berlaku (hasil amandemen), yang berarti mengandung kecelakaan konstitusional itu. Berarti jika Jokowi jadi Presiden RI, ia akan terlibat masalah bagaimana menyelenggarakan demokrasi Indonesia, yaitu demokrasi Pancasila, khususnya berkaitan sila ke-4. Tuntutan kembali ke UUD 1945 makin marak: dimulai dari tuntutan kembali sepenuhnya ke UUD 1945 asli sampai mengamandemen ulang UUD 1945 asli dan mengamandemen UUD 1945 hasil amandemen. Inilah dinamika tuntutan konstitusional yang akan dihadapi Jokowi.

Seorang presiden bertunduk kepada amanat rakyat, berarti tunduk kepada wakil-wakil rakyat di parlemen. Parlemen kita adalah hasil voting, sebagaimana saya tulis (Kompas, 9/8/2011), wakil-wakil rakyat tidak terpilih sepenuhnya berdasar vox populi vox Dei, tetapi kental dengan politik uang, demokrasinya blantik-blantik politik. Kemudian DPR bukanlah lagi ”dewan perwakilan rakyat”, tetapi lebih merupakan ”dewan perwakilan partai” dengan superioritas pemimpin partai.

Jokowi menolak pula pemberitaan media yang dikutip Prabowo Subianto bahwa Jokowi mengabaikan peran koperasi. Jokowi menegaskan berita itu bohong, sebaliknya menyatakan koperasi sangat penting. Di sini Jokowi jadi sealiran dengan gerakan koperasi yang sempat hampir berputus asa menghadapi UUD Koperasi, UU No 17/2012, yang kapitalistik dan borjuistik, yang membunuh gerakan koperasi. Kita mensyukuri uji materi diterima MK, UU Koperasi ini dibatalkan MK.

Penegasan Jokowi tentang posisi penting koperasi tentu merupakan komitmen konstitusionalnya yang terkait Pasal 33 UUD 1945 sebagai dasar demokrasi ekonomi Indonesia. Koperasi adalah wadah ekonomi rakyat. Berpaham kerakyatan dan membela ekonomi rakyat bukan monopoli orang-orang komunis, melainkan merupakan kewajiban konstitusional.

Di sinilah sebenarnya titik temu pandangan ekonomi Jokowi dan Prabowo. Dengan demikian, diharapkan ekonomi Indonesia dapat diluruskan kembali sesuai Pasal 33 UUD 1945, dengan menegaskan hakikat demokrasi ekonominya: bahwa ”kemakmuran masyarakat lebih utama dari kemakmuran orang-seorang, bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, dan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Penegasan konstitusional ini seiring dengan tugas pemerintahan negara untuk melaksanakan cita-cita nasionalnya: ”melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…”. Cita-cita nasional yang strukturalistik ini hanya bisa dilaksanakan dengan menggelar suatu perencanaan pembangunan nasional, yang tak bisa menyandarkan pada kehendak dan selera pasar bebas. Apalagi kita wajib ikut melaksanakan ketertiban dunia, berarti kita wajib ikut mendesain wujud dan mekanisme globalisasi, tak sekadar jadi bangsa antisipatif/obyek kekuatan global.

Adikarya

Pasal 33 adalah local wisdom Indonesia, suatu masterpiece (Bintoro Tjokroamidjojo, Bappenas, 1973). Dengan Pasal 33 inilah kita menegaskan demokrasi ekonomi bikinan sendiri Indonesia, artinya kita mengakhiri pola pikir ayun bandul dari ”kiri” ke ”kanan” atau sebaliknya, kita menolak westernisme yang terperangkap pola pikir komunisme versus kapitalisme itu-itu saja. Pasal 33 bukan jalan kiri, bukan jalan kanan, bahkan bukanlah jalan tengah, tetapi adalah jalan lain, suatu jalan lurus, yang para pendiri Republik menyebutnya sebagai jalan Pancasila.

Saya ingin mengungkap di sini, Jakob Oetama pernah menegur saya (saya tulis di Kompas, 16/8/2005) tentang keheranannya mengapa banyak ekonom mengagumi jalan ketiga Anthony Giddens. Dikatakan Jakob, The Third Way-nya Giddens tertinggal (55 tahun) dari Pasal 33 Hatta.

Berpikir dalam konteks (ayun bandul) adalah obsolit. Bahwa Francis Fukuyama menulis tentang the end of history (1992) dan menyatakan bahwa ”demokrasi liberal Barat merupakan bentuk final dari pemerintahan manusia”, telah terbantahkan oleh fakta dan juga disanggah Samuel Huntington (1996) yang mengemukakan pandangan tentang dominannya benturan peradaban. Saat ini kita ditantang berpikir dalam konteks pergeseran paradigma dari manusia yang digambarkan sebagai homo-economicus ke manusia sebagai homo-humanus, homo-socius, homo-religious, dan homo-magnificus. Humanisme menjadi titik sentralnya. Dari sinilah kita harus mengangkat pentingnya daya kerja sama, bukan hanya daya saing. Setelah Tembok Berlin runtuh (1989), umat manusia paradigmatik bicara lagi tentang alle Menschen werden Bruder—menuntut the brotherhood of men. APEC, ASEAN-AEC, dan seterusnya adalah forum kerja sama, bukan forum persaingan bantai-membantai. Kepentingan nasional harus diutamakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar