Noken
Amiruddin al-Rahab ;
Pemerhati Politik di Papua
|
KORAN
TEMPO, 22 Agustus 2014
Noken, barang sederhana yang terbuat dari rajutan rumput, atau
kini benang sintetis, telah menjadi leksikon politik nasional. Noken
"manggung" di Mahkamah Konstitusi. Seluruh Nusantara kini
berkenalan dengan noken. Terima kasih MK.
Jika Anda blusukan ke kampung-kampung di pedalaman Papua, Anda
akan mudah berjumpa dengan iringan mama-mama yang memikul noken di kepala,
dengan ditahan oleh tengkuk dan punggung. Noken ini sesak oleh isi hasil
kebun, bayi, atau hewan piaraan kesayangan. Juga ada noken laki-laki, berbentuk kecil, yang dipakai dengan
menyelempangkannya di pundak. Isinya perlengkapan kecil-kecil, seperti pisau,
sirih-pinang, rokok, pemantik api, bahkan ponsel.
Bagi mama-mama di pegunungan Papua, noken yang terisi penuh
mengisyaratkan bahwa harapan baru akan datang. Mereka bergembira. Untuk itu,
itu jika ada pesta adat, atau bakar batu untuk makan bersama, mama-mama akan
datang dengan noken yang penuh. Jika noken kosong, itu pertanda datangnya
masa paceklik atau komunitas itu berada dalam kesusahan.
Kembali ke urusan di MK. Jika Anda menangkap makna mendalam dari
apa isi noken yang dipersoalkan di MK itu, tampaklah isi noken itu
menunjukkan harapan baru. Mengenai persoalan prosedur dan hukum formal bukan
lagi urusan mama-mama pemilik noken itu.
Noken kecemplung ke dalam politik adalah kecelakaan, bukan
sesuatu yang dirancang. Ketika pemilu pada 1971, dua tahun setelah Pepera,
harus dilaksanakan, semua orang di Papua harus pula dilibatkan.
Kepada dunia internasional, pesan harus disampaikan bahwa rakyat
di Papua bisa berpartisipasi dalam pesta demokrasi Indonesia. Lantas
bagaimana caranya hal itu dilakukan di tengah keterbatasan transportasi,
komunikasi, serta akses ke pedalaman. Akibat populasi tidak melek huruf yang
tinggi, kampanye tidak bisa dilakukan secara sempurna? Tak ada cara lain,
sistem perwakilan harus ditempuh.
Dalam kondisi keterpaksaan dan keterbatasan itulah noken
berjasa. Ingat, Golkar menang telak karena waktu itu Golkar menggunakan
lambang cermin di pegunungan Papua, bukan pohon beringin. Tentu tangan
aparatur pemerintah bermain leluasa pula. Sejak 1971 sampai 1997, hal itu
terus berlangsung dengan pemenang yang sama pula.
Reformasi datang, sistem berubah, namun jasa noken tetap
diperlukan oleh aktor-aktor politik. Bahkan, noken tetap dipakai ketika
diterapkannya sistem pemilihan langsung kepala daerah dan kepala negara. Tapi
aparatur negara tidak lagi bisa bersikap dominan. Elite atau orang besar dari
klan-klan dan suku-suku telah menjadi bagian dari sistem politik baru yang
dominan. Mereka menjadi tokoh protagonis dalam menjalankan sistem noken dalam
politik. Itu terjadi karena politik masuk sampai ke dalam honai, yang
sebelumnya tidak pernah terjadi.
Noken dan politik pada era reformasi ini tidak bisa dipisahkan
lagi. Dulu karena keterpaksaan, sekarang menjadi kebutuhan. Kebutuhan akan
noken kian mendesak ketika sarana dan prasarana untuk menjalankan pemilu
secara langsung tidak berkembang sesuai dengan perkembangan sistem politik
yang ada.
Karena itu, mempersoalkan sistem noken di Papua bak pepatah
lama, "menepuk air di dulang, terciprat muka sendiri". Untuk itu,
peserta pemilu dan penyelenggara pemilu lebih baik berterima kasih kepada
noken ketimbang mempersoalkannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar