Menggelorakan
Roh Kemerdekaan
Asep Salahudin ;
Dekan di IAILM Pesantren Suryalaya
|
MEDIA
INDONESIA, 20 Agustus 2014
TENTU satu hal yang tidak boleh
tertanggalkan dari memori kolektif bangsa ialah keinsafan untuk senantiasa
mensyukuri nikmat kemerdekaan. Kemerdekaan yang bukan saja diperjuangkan
lewat militansi kaum pergerakan dan segenap rakyat, melainkan secara
metafisik ada keterlibatan Tuhan di dalamnya sebagaimana tampak dalam
pengakuan Pembukaan UUD 1945, `Atas berkah rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan
dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang
bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya'.
Kemerdekaan diraih lewat
pengorbanan jiwa dan raga, dianggit melalui senarai doa yang dipanjatkan
seluruh anak bangsa sehingga sampai kepada pintu gerbang proklamasi. Sejarah
kemudian memilih Soekarno-Hatta yang diberi kesempatan untuk membacakan teks
proklamasi itu di Jl Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Atas nama seluruh bangsa
Indonesia, atas nama harapan terwujudnya Indonesia yang terbebas dari sekapan
kaum kolonial, atas nama hidup beradab yang dibayangkan dapat lekas
diwujudkan di negeri kepulauan.
Tentu teks proklamasi tidak mempercakapkan
hal politik harian yang detail. Soekarno membuatnya dengan `terburu-buru'
karena didesak oleh waktu, diselesaikan dalam masa sesingkat-singkatnya.
Menjaga Soekarno
Bahkan seorang `Binatang
Jalang' penyair sekelas Chairil Anwar dengan gelegar penuh getaran tidak
kalah garang bikin sebuah puisi dengan subjek nama-nama terang yang ditujunya
seumpama Soekarno, Hatta, dan Sjahrir yang biasanya jarang ia lakukan, dalam
Antara Kerawang Bekasi, `...Kerja belum
selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa/Kami cuma
tulang-tulang berserakan ...
kenanglah kami/Teruskan, teruskan jiwa kami/Menjaga Bung Karno menjaga Bung
Hatta/menjaga Bung Sjahrir/Kami sekarang mayat/Berikan kami arti/Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan
impian'.
Ini barangkali yang menjadi
nalar utama mengapa `Bung Besar' itu selalu `meneror' kita dengan tesis
revolusi yang terus bergelora, revolusi yang belum khatam. Jiwanya tidak
pernah berhenti dirasuki imaji tentang keindonesiaan yang tidak selesai (dan
tidak akan pernah selesai). Indonesia yang disulut sikap berdiri di kaki
sendiri dan mental tidak mengenal gentar. Diganyangnya Malaysia, dilinggisnya
Inggris, hengkanglah dari PBB, dibangunlah percobaan ideologi yang berporos
pada nasionalisme, Islam, dan komunisme (nasakom).
Walaupun si Bung sadar sesadar-sadarnya
setiap percobaan akan menyisakan dua kemungkinan tak terelakkan: kecaman dan
dukungan.Namun, jalan itu harus diretas.Bangsa yang baru saja keluar dari
penjajahan mesti diajari cara berpikir dialektis, bebas, dan berkarakter.
Berpikir tidak biasa, bukan sekadar `membebek' kepada teks, kepada tokoh yang
semula disakralkan dan apalagi terpenjara pada cerita lama yang mengekang
alam pikiran.
Kemerdekaan bukan `tujuan',
melainkan jembatan untuk mencapai kesejahteraan yang sempurna. Kata Bung
Karno, “Kebebasan untuk menjalankan
urusan politik, ekonomi, dan sosial kita sejalan dengan konsepsi nasional
kita sendiri.“
Ijtihad besar
Bung Besar dengan ijtihad
besar. Baik ijtihad dalam konteks keagamaan yang membayangkan bahwa `api'
Islam itulah yang harus dimunculkan sebagai spirit penghayatan religiositas,
bukan sebaliknya kebangsaan digaduhkan oleh abu Islam, diramaikan oleh kepercayaan
yang tidak menghargai daulat akal. Bagi Bung Karno, rasionalisme itu adalah khitah
agama. Umat yang maju itu mensyaratkan sikap menatap ke depan dengan nalar
menjulang, bukan sebaliknya menyembah tradisi usang yang sudah berkarat dan
berlumut.
Ijtihad Bung Besar dalam ranah
politik yang mencanangkan Indonesia menuju sosialisme yang berakar dalam
palung tradisi masyarakat. Pada 1959, dengan penuh semangat diungkapkannya, “Hari depan revolusi Indonesia bukanlah
menuju kapitalisme dan sama sekali bukan menuju ke feodalisme, tetapi menuju
ke sosialisme yang disesuaikan dengan kondisi yang terdapat di Indonesia,
dengan rakyat Indonesia, dengan adat istiadat, dengan psikologi dan
kebudayaan rakyat Indonesia.“
Haluan Pancasila
Bagi saya, peringatan
kemerdekaan RI ialah peringatan tentang keniscayaan kembali kepada falsafah
dan ideologi Pancasila secara ikhlas dan istikamah. Ingatan tersebut harus
tetap dirawat dan diruwat agar Pancasila benar-benar memantulkan rajah
kesaktiannya, bukan sekadar secara verbalistis, melainkan menjadi sejarah
pengalaman keseharian.
Telah terbukti, Pancasila memberikan
jaminan hidup rukun dalam keragaman, lapang dalam melihat perbedaan etnik,
bahasa budaya, dan agama. Harus kita akui, 69 tahun kita sebagai bangsa masih
tetap bersatu karena kesepakatan menjadikan Pancasila sebagai titik temu (kalimatun sawa) dari seluruh komponen
anak bangsa. Pancasila dengan lambang Garuda yang sangat imajinatif tak
ubahnya Piagam Madinah yang mempersatukan kemajemukan umat beragama dalam
napas satu tujuan bernegara: membangun ruang publik penuh adab.
Pancasila
yang diacukan pada nilai-nilai spiritual dan harkat luhur kemanusiaan seperti
dibilang Hatta dalam Demokrasi Kita.
“Jika diperhatikan benar-benar, Pancasila itu terdiri atas dua
fundamen. Pertama, fundamen moral yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.Kedua,
fundamen politik yaitu perikemanusiaan, persatuan Indonesia, demokrasi, dan
keadilan sosial. Dengan politik pemerintahan yang berdasarkan kepada moral
yang tinggi diharapkan tercapainya--seperti tertulis di dalam pembukaan
itu-suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.“
Pancasila yang tidak dibajak
penafsirannya secara tunggal oleh negara untuk kepentingan penguasa
sebagaimana dilakukan penguasa despotik rezim Orde Baru selama 32 tahun. Pancasila
yang akhirnya hanya sakti bagi penguasa dan kaum kerabat, dan dalam praksis aksiologisnya
sama sekali tidak mendatangkan keberkahan kecuali pengetahuan dangkal yang
disampaikan lewat cara indoktrinasi P-4, penataran penuh bualan, dan pidato
pejabat tidak bermutu yang dilakukan serampangan, asal-asalan, dan
berulang-ulang. Penataran yang menyisakan satu hal: pemborosan anggaran untuk
menyampaikan sekadar omong kosong.
Betul apa yang dibilang
Soekarno dalam Lahirnya Pancasila
bahwa roh kemerdekaan itu harus diletakkan dalam etos perjuangan yang tidak
pernah padam, “Maka dari itu, jika
bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu menjadi satu realitet, yakni jika kita ingin hidup
menjadi satu bangsa, satu nationalitet
yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh
dengan perikemanusiaan, ingin hidup di atas dasar permusyawaratan, ingin
hidup sempurna dengan socialerechtvaardigheid,
ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan ketuhanan yang luas dan
sempurna, janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya ialah
perjuangan.“ Akhirnya, dirgahayu
Indonesia. Tetaplah bertindak dan berpikir merdeka! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar