Jumat, 22 Agustus 2014

Menggelorakan Roh Kemerdekaan

                            Menggelorakan Roh Kemerdekaan

Asep Salahudin  ;   Dekan di IAILM Pesantren Suryalaya
MEDIA INDONESIA, 20 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

TENTU satu hal yang tidak boleh tertanggalkan dari memori kolektif bangsa ialah keinsafan untuk senantiasa mensyukuri nikmat kemerdekaan. Kemerdekaan yang bukan saja diperjuangkan lewat militansi kaum pergerakan dan segenap rakyat, melainkan secara metafisik ada keterlibatan Tuhan di dalamnya sebagaimana tampak dalam pengakuan Pembukaan UUD 1945, `Atas berkah rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya'.

Kemerdekaan diraih lewat pengorbanan jiwa dan raga, dianggit melalui senarai doa yang dipanjatkan seluruh anak bangsa sehingga sampai kepada pintu gerbang proklamasi. Sejarah kemudian memilih Soekarno-Hatta yang diberi kesempatan untuk membacakan teks proklamasi itu di Jl Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Atas nama seluruh bangsa Indonesia, atas nama harapan terwujudnya Indonesia yang terbebas dari sekapan kaum kolonial, atas nama hidup beradab yang dibayangkan dapat lekas diwujudkan di negeri kepulauan.

Tentu teks proklamasi tidak mempercakapkan hal politik harian yang detail. Soekarno membuatnya dengan `terburu-buru' karena didesak oleh waktu, diselesaikan dalam masa sesingkat-singkatnya.

Menjaga Soekarno                         

Bahkan seorang `Binatang Jalang' penyair sekelas Chairil Anwar dengan gelegar penuh getaran tidak kalah garang bikin sebuah puisi dengan subjek nama-nama terang yang ditujunya seumpama Soekarno, Hatta, dan Sjahrir yang biasanya jarang ia lakukan, dalam Antara Kerawang Bekasi, `...Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa/Kami cuma tulang-tulang berserakan ... kenanglah kami/Teruskan, teruskan jiwa kami/Menjaga Bung Karno menjaga Bung Hatta/menjaga Bung Sjahrir/Kami sekarang mayat/Berikan kami arti/Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian'.

Ini barangkali yang menjadi nalar utama mengapa `Bung Besar' itu selalu `meneror' kita dengan tesis revolusi yang terus bergelora, revolusi yang belum khatam. Jiwanya tidak pernah berhenti dirasuki imaji tentang keindonesiaan yang tidak selesai (dan tidak akan pernah selesai). Indonesia yang disulut sikap berdiri di kaki sendiri dan mental tidak mengenal gentar. Diganyangnya Malaysia, dilinggisnya Inggris, hengkanglah dari PBB, dibangunlah percobaan ideologi yang berporos pada nasionalisme, Islam, dan komunisme (nasakom).

Walaupun si Bung sadar sesadar-sadarnya setiap percobaan akan menyisakan dua kemungkinan tak terelakkan: kecaman dan dukungan.Namun, jalan itu harus diretas.Bangsa yang baru saja keluar dari penjajahan mesti diajari cara berpikir dialektis, bebas, dan berkarakter. Berpikir tidak biasa, bukan sekadar `membebek' kepada teks, kepada tokoh yang semula disakralkan dan apalagi terpenjara pada cerita lama yang mengekang alam pikiran.

Kemerdekaan bukan `tujuan', melainkan jembatan untuk mencapai kesejahteraan yang sempurna. Kata Bung Karno, “Kebebasan untuk menjalankan urusan politik, ekonomi, dan sosial kita sejalan dengan konsepsi nasional kita sendiri.“

Ijtihad besar

Bung Besar dengan ijtihad besar. Baik ijtihad dalam konteks keagamaan yang membayangkan bahwa `api' Islam itulah yang harus dimunculkan sebagai spirit penghayatan religiositas, bukan sebaliknya kebangsaan digaduhkan oleh abu Islam, diramaikan oleh kepercayaan yang tidak menghargai daulat akal. Bagi Bung Karno, rasionalisme itu adalah khitah agama. Umat yang maju itu mensyaratkan sikap menatap ke depan dengan nalar menjulang, bukan sebaliknya menyembah tradisi usang yang sudah berkarat dan berlumut.

Ijtihad Bung Besar dalam ranah politik yang mencanangkan Indonesia menuju sosialisme yang berakar dalam palung tradisi masyarakat. Pada 1959, dengan penuh semangat diungkapkannya, “Hari depan revolusi Indonesia bukanlah menuju kapitalisme dan sama sekali bukan menuju ke feodalisme, tetapi menuju ke sosialisme yang disesuaikan dengan kondisi yang terdapat di Indonesia, dengan rakyat Indonesia, dengan adat istiadat, dengan psikologi dan kebudayaan rakyat Indonesia.“

Haluan Pancasila

Bagi saya, peringatan kemerdekaan RI ialah peringatan tentang keniscayaan kembali kepada falsafah dan ideologi Pancasila secara ikhlas dan istikamah. Ingatan tersebut harus tetap dirawat dan diruwat agar Pancasila benar-benar memantulkan rajah kesaktiannya, bukan sekadar secara verbalistis, melainkan menjadi sejarah pengalaman keseharian.

Telah terbukti, Pancasila memberikan jaminan hidup rukun dalam keragaman, lapang dalam melihat perbedaan etnik, bahasa budaya, dan agama. Harus kita akui, 69 tahun kita sebagai bangsa masih tetap bersatu karena kesepakatan menjadikan Pancasila sebagai titik temu (kalimatun sawa) dari seluruh komponen anak bangsa. Pancasila dengan lambang Garuda yang sangat imajinatif tak ubahnya Piagam Madinah yang mempersatukan kemajemukan umat beragama dalam napas satu tujuan bernegara: membangun ruang publik penuh adab. 
Pancasila yang diacukan pada nilai-nilai spiritual dan harkat luhur kemanusiaan seperti dibilang Hatta dalam Demokrasi Kita.

“Jika diperhatikan benar-benar, Pancasila itu terdiri atas dua fundamen. Pertama, fundamen moral yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.Kedua, fundamen politik yaitu perikemanusiaan, persatuan Indonesia, demokrasi, dan keadilan sosial. Dengan politik pemerintahan yang berdasarkan kepada moral yang tinggi diharapkan tercapainya--seperti tertulis di dalam pembukaan itu-suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.“

Pancasila yang tidak dibajak penafsirannya secara tunggal oleh negara untuk kepentingan penguasa sebagaimana dilakukan penguasa despotik rezim Orde Baru selama 32 tahun. Pancasila yang akhirnya hanya sakti bagi penguasa dan kaum kerabat, dan dalam praksis aksiologisnya sama sekali tidak mendatangkan keberkahan kecuali pengetahuan dangkal yang disampaikan lewat cara indoktrinasi P-4, penataran penuh bualan, dan pidato pejabat tidak bermutu yang dilakukan serampangan, asal-asalan, dan berulang-ulang. Penataran yang menyisakan satu hal: pemborosan anggaran untuk menyampaikan sekadar omong kosong.

Betul apa yang dibilang Soekarno dalam Lahirnya Pancasila bahwa roh kemerdekaan itu harus diletakkan dalam etos perjuangan yang tidak pernah padam, Maka dari itu, jika bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu menjadi satu realitet, yakni jika kita ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationalitet yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup di atas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan socialerechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan ketuhanan yang luas dan sempurna, janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya ialah perjuangan.“ Akhirnya, dirgahayu Indonesia. Tetaplah bertindak dan berpikir merdeka!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar