Mengingat
Muhammad Yamin
LR Baskoro ;
Wartawan Tempo
|
KORAN
TEMPO, 22 Agustus 2014
Jika dia masih hidup,hari ini, Jumat 22 Agustus, umurnya 111
tahun. Dialah Muhammad Yamin. Mungkin sebagian besar dari kita pertama kali
mengenal namanya saat duduk di bangku SD atau SMP, kala mulai membaca buku
sejarah persiapan kemerdekaan Indonesia dalam sidang-sidang Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang gemuruh dengan
pidato dan perdebatan itu.
Dia, Yamin, salah satu bapak bangsa yang ikut menyumbangkan
pikirannya di sana. Dia menunjuk bentuk kesatuan ("tidak federasi!"
kata dia) yang paling tepat untuk negeri ini dan mendesak UUD mesti memuat
perlindungan HAM. Sebagai ahli hukum, dia sadar konstitusi yang akan menjadi
landasan bangsa ini mesti berisi hal yang melindungi sekaligus merekatkan
bangsa sebagai kesatuan.
Kesadaran pentingnya kesatuan ini jelas diwacanakan karena dia
pencinta berat sejarah. Berbeda dengan para bapak bangsa yang lain, kelebihan
Yamin adalah "kegilaannya" akan sejarah dan sastra. Pada usianya
yang belum genap 17 tahun, puisinya bertaburan di majalah Jong Sumatra dan
bertahun kemudian dia menerjemahkan karya-karya William Shakespeare
danRabindranathTagore.
Kegilaannya akan sejarah tak hanya tampak pada keseriusan
mempelajari Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, atau kemudian menulis berbagai buku
sejarah, termasuk Tata Negara Majapahit sebanyak empat jilid (dari tujuh
jilid yang direncanakan), tapi juga bagaimana ia hingga perlu mengambil les
privat kepada sejarawan Poerbatjaraka untuk belajar bahasa Sanskerta.
Yamin sangat yakin sejarah adalah masa lampau yang tak bisa
ditinggalkan untuk membentuk masa depan. Dalam konteks ini, tak mengherankan
jika kemudian Sukarno cocok dengan Yamin. Keduanya senang mencari dan
menciptakan simbol-simbol untuk merekatkan bangsa, sekaligus menggagas
kebesaran bangsa ini-dengan berkaca pada kejayaan masa lalu.
Di sinilah bangsa ini memerlukan pengetahuan sejarah-juga
kepiawaian menulis-Yamin. Ketika menjelang hari-hari akhir Kongres Pemuda II
pada Oktober 1928, ratusan pemuda kebingungan akan "melahirkan" apa
dari perhelatan itu, Yamin menyodorkan "teks sumpah pemuda", naskah
yang kita kenal hingga sekarang sebagai puncak dari Kongres 1928. Ketika Bung
Karno letih mencari nama yang pas untuk gagasan lima silanya, Yamin
menyodorkan Pancasila-bukan Pancadharma seperti yang sebelumnya dipikirkan
Bung Karno. Kata Pancasila dijumput Yamin dari kitab Sutasoma karangan Empu
Tantular, pujangga pada era Raja Hayamwuruk.
Kita tahu pengetahuan sejarah Yamin ini terus mewarnai
perjalanan negeri ini-hingga dia wafat pada 17 Oktober 1962. Dia tak saja
terlibat dalam pembuatan simbol burung Garuda, termasuk melahirkan tulisan
Bhinneka Tunggal Ika, juga pada hal lain: menciptakan simbol dan sumpah
Polisi Militer dan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad).
Yamin, seperti yang ditulis oleh majalah Tempo dalam edisi
khususnya yang terbit pekan ini, adalah tokoh kontroversial. Sejumlah
tindakannya dianggap berupaya melencengkan sejarah. Tapi, betapapun,
sumbangsihnya tetap lebih besar daripada "dosa"-nya. Dari Yamin, yang
perlu kita petik: kecintaan dan antusiasmenya akan sejarah dan sastra. Dua
hal ini makin diabaikan oleh sebagian pendidik kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar