Hukuman Mati
dan Pemberantasan Korupsi
Lalola Easter ;
Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption
Watch
|
KOMPAS,
04 Agustus 2014
TUNTUTAN pada Akil Mochtar akhirnya dibacakan di Pengadilan Tipikor Jakarta
pada Senin, 16 Juni 2014. Jaksa KPK menuntut Akil dengan pidana penjara
seumur hidup tanpa ada alasan yang meringankan. Sepanjang sejarah berdirinya
KPK, baru kali ini tuntutan penjara seumur hidup diberikan kepada tersangka
perkara korupsi. Beberapa waktu lalu KPK sendiri membuka ruang bagi
masyarakat untuk mengusulkan tuntutan pemidanaan yang pantas bagi Akil.
Pilihan menghukum mati Akil pun muncul sebagai usul dari masyarakat, bahkan
sebuah akun di Facebook turut dibuat untuk menjaring dukungan masyarakat.
Wacana hukuman mati bagi koruptor bukan hal baru. Banyak yang
menganggap hukuman mati akan menjerakan orang-orang yang berniat melakukan
korupsi dengan harapan praktik korupsi menurun dengan signifikan. Mahfud MD dan hakim agung Artidjo Alkostar
bahkan pernah menyatakan bahwa hukuman mati adalah hukuman yang pantas
diberikan kepada koruptor.
Pasal 2 Ayat (2) UU Tipikor memang membuka peluang penjatuhan
hukuman mati bagi koruptor, tetapi syarat penjatuhannya adalah kondisi yang
berada di luar kendali pelaku korupsi. Hukuman mati bagi koruptor hanya bisa
dijatuhkan apabila ia melakukan korupsi pada saat negara dalam keadaan
bahaya, bencana nasional, krisis ekonomi dan moneter, atau jika korupsi
dilakukan berulang.
Akil jelas tak dapat dituntut hukuman mati, tak peduli sebanyak
apa alasan memberatkan diberikan. Pertama, pasal yang digunakan untuk
menuntutnya pasal suap, bukan pasal tentang kerugian keuangan negara. Kedua,
korupsi tak dilakukan ketika keadaan negara dan perekonomian negara sedang
genting.
Tuntutan seumur hidup yang diajukan jaksa KPK perlu diapresiasi
karena merupakan tuntutan maksimal yang bisa diberikan kepada tersangka
korupsi dan belum pernah dilakukan KPK. Sepanjang sejarah, belum ada satu
koruptor pun yang dituntut ataupun divonis dengan hukuman mati. Namun,
kemudian muncul pertanyaan besar: apakah hukuman mati benar-benar dapat
mengurangi atau bahkan menghapus korupsi?
Dua alasan
Ada dua alasan utama mengapa hukuman mati bukan jawaban tepat
menjerakan koruptor. Pertama, hukuman mati adalah bentuk hukuman paling kuno
dalam sejarah teori penghukuman. Codex Hammurabi dari Babilonia tercatat
sebagai sumber hukum paling kuno yang memperbolehkan hukuman mati. Hukuman
mati dalam konteks negara modern memunculkan banyak perdebatan, terutama
karena bertentangan dengan HAM.
Alasan kedua, belum ada kajian yang dapat dipertanggungjawabkan
dan menunjukkan penurunan angka korupsi. Parameter sederhana yang dapat
digunakan untuk mengetahui apakah hukuman mati berpengaruh terhadap
pengurangan atau penghapusan korupsi adalah Indeks Persepsi Korupsi (IPK)
yang dikeluarkan oleh Transparency International.
Tiongkok dan Latvia, dua negara yang menerapkan hukuman mati
bagi koruptor, berada pada posisi tengah dari 177 negara yang disurvei.
Latvia berada pada posisi 49 dengan IPK 53, sedangkan Tiongkok berada pada
posisi 80 dengan IPK 40. IPK Indonesia terpaut 8 angka dengan Tiongkok: 32.
Negara-negara dengan IPK tertinggi, seperti Denmark dan Selandia Baru, tak
memberlakukan hukuman mati untuk kejahatan apa pun, termasuk korupsi.
Melihat IPK Tiongkok dengan Indonesia yang tak terpaut jauh,
patut diduga hukuman mati tak menjerakan bagi pelaku korupsi. Apabila pelaku
sudah dihukum mati, rehabilitasi dan pemulihan nama baik tak dapat dilakukan
jika ternyata yang dihukum mati bukanlah pelaku korupsi. Hal ini terkesan
kompromistis, tetapi harus dijadikan titik ekstrem untuk menghindari
penerapan hukum yang salah karena menyangkut nyawa manusia.
Lalu, apa pendekatan yang bisa digunakan untuk memaksimalkan
pemidanaan dan menjerakan koruptor? Alternatif yang patut dipertimbangkan
dengan serius adalah pemiskinan. Kombinasi penerapan UU Tipikor dan UU
Pencucian Uang adalah pendekatan baru yang menekankan pada perampasan aset
untuk negara sehingga dapat menjaring kekayaan koruptor yang diduga berasal
dari korupsi.
Penggunaan pasal gratifikasi dalam UU Tipikor juga dapat jadi
pendekatan baru dalam menjerat pegawai publik yang diduga memiliki kekayaan
tak sah. Keunggulan pasal ini terletak pada kewajiban pembalikan beban
pembuktian kepada tersangka dalam membuktikan bahwa harta benda tertentu
tidak diperolehnya secara melawan hukum.
Gayus Tambunan adalah preseden baik penerapan pasal gratifikasi.
Sayangnya, KPK belum pernah sekali pun menggunakan pasal ini untuk menjerat
koruptor. Di awal penangkapan Akil, KPK sempat menyiratkan penggunaan pasal
gratifikasi. Namun, pasal itu tak muncul dalam pembacaan tuntutan tempo hari.
Selain dua alasan itu, perlu pula pengaturan delik tentang
peningkatan harta kekayaan secara tak sah. Norma ini diatur dalam UNCAC dan
disarankan diterapkan negara peserta, termasuk Indonesia, tetapi belum juga
ada pengaturan tentang illicit enrichment dalam UU Tipikor yang kini berlaku.
Jika pemerintah dan DPR serius memberantas korupsi dan
menjerakan koruptor, pembaruan hukum nasional jadi hal mutlak. Perbaikan UU
Tipikor melalui revisi UU Tipikor perlu kembali dilakukan setelah sempat
mangkrak di DPR sejak 2012. Hal sama berlaku pada pembahasan RUU Perampasan
Aset.
Penjeraan koruptor dapat tercapai tanpa harus memberlakukan
hukuman mati kepada pelakunya. Pemiskinan koruptor adalah alternatif baru
untuk menjerakan koruptor sekaligus mengembalikan aset negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar