Senin, 11 Agustus 2014

Museum

Museum

Bandung Mawardi  ;   Esais
KORAN TEMPO, 11 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

SBY memberi kejutan bagi kita: pembangunan museum kepresidenan bernama Balai Kirti. Di museum, publik diharapkan mempelajari kontribusi enam presiden untuk mendapat faedah dan hikmah. Narasi ketokohan Sukarno, Soeharto, B.J. Habibie, Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, dan SBY disajikan melalui patung, buku, lukisan, film, pakaian, serta foto. Sejarah tokoh dan Indonesia diperlihatkan ke mata publik. Museum mengemban misi pengawetan sejarah dan memori ketokohan.

Ratusan tahun silam, Belanda mendirikan dan mengenalkan museum ke mata pribumi. Pendirian Bataviaasch Genootschap (1778) menjadi pembuktian awal kebermaknaan museum bagi ilmu, kolonialisme, dan identitas "Barat". Museum berisi koleksi arkeologis, mata uang, dan naskah. Kesejarahan Bataviaasch Genootschap melaju di perlintasan waktu, berubah nama menjadi Museum Nasional (Lombard, 1996).

Kita mewarisi gagasan dan materialisasi museum. Di Solo, 28 Oktober 1890, berdirilah museum bernama Radya Pustaka, menghimpun koleksi naskah dan buku. Museum menjadi rumah literasi. Koleksi beragam tema mengajak kaum intelektual, pujangga, pejabat, dan publik belajar tentang sastra, etika, agama, seni, politik, makanan, serta pakaian. Dua warisan museum dari masa kolonialisme tentu sudah dipelajari oleh SBY sebelum memutuskan membangun Balai Kirti.

Museum di Indonesia memiliki sejarah ratusan tahun. Kesadaran mengartikan museum berlatar nasionalisme diwujudkan dalam Musjawarah Museum di Yogyakarta, 11-14 Oktober 1962. Prijono menerangkan: "… maka di tanah air kita adanja atau akan didirikan museum-museum nasional dalam berbagai-bagai lapangan, istimewa dalam lapangan arkeologi dan perdjoangan/ pembangunan nasional kita akan membuka mata rakjat kita akan kemampuan-kemampuan bangsa kita di zaman dulu, dan kesanggupan-kesanggupam bangsa kita di zaman sekarang dan di zaman akan datang." Keterangan itu bergelimang optimisme. Kita perlahan membuka ingatan kebermaknaan museum pada masa Orde Lama segera berganti imajinasi politik-militeristik oleh rezim Soeharto. Museum digunakan sebagai referensi imajinasi sejarah bagi publik sesuai dengan petunjuk dan obsesi penguasa.

Pendirian Balai Kirti "pasti" memiliki tautan dengan kesejarahan museum di Indonesia, sejak abad XVIII. Apalagi SBY menyatakan pendirian Balai Kirti dimaksudkan sebagai sumber pembelajaran sejarah dan pengenalan tokoh. Di situ tampak SBY terlalu berharap bahwa museum bakal berfaedah dan berhikmah demi nasionalisme dan rekonsiliasi. 

Barangkali kita pantas mengingatkan SBY mengenai kritik tentang museum di mata sastrawan: Asrul Sani dan Taufiq Ismail. Asrul Sani dalam cerpen berjudul Museum (1956) menganggap: "Museum adalah suatu balai jang gandjil. Ia berisi benda-benda jang djika dilihat dari katja mata kita, orang jang hidup ini, benda-benda itu seolah-olah ada karena suatu salah sangka." Taufiq Ismail dalam puisi berjudul Buku Tamu Museum Perjuangan (1964) memberi deskripsi ironis: "museum jang lengang", "dalam museum ini jang lengang", "ruangan jang sepi". Kita berdoa agar Balai Kirti tak menjadi "balai jang gandjil" atau "ruangan jang sepi". Kita berharap SBY tak memberi warisan sia-sia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar