Salah
Kaprah Soal Perang Gaza
Faisal Assegaf ;
Pemerhati Konflik
Palestina-Israel
|
KORAN
TEMPO, 11 Agustus 2014
Setelah Israel menerapkan gencatan senjata sepihak selama tiga
hari dengan alasan misi menghancurkan terowongan Gaza tembus ke Israel telah
selesai, perang kembali bergulir.
Barangkali banyak yang masih salah kaprah mengenai apa yang
sebenarnya terjadi di balik kebiadaban Israel ini. Ingat, dalam sembilan
tahun sejak mereka cabut dari Gaza, Israel telah tiga kali menjadikan wilayah
seluas setengah lebih sedikit ketimbang Jakarta ini sebagai ladang
pembantaian dan latihan perang, yakni pada 2008-2009, 2012, dan yang sekarang
tengah berlangsung. Boleh jadi, mereka tidak tahu kondisi sebenarnya atau
termakan kampanye sesat media-media Barat dan Israel pro-Zionis.
Salah kaprah itu
adalah, Israel menyerbu Gaza lewat darat, laut, dan udara karena para pejuang
Palestina, terutama Hamas dan Jihad Islam, menembakkan roket. Jadi, negara
Bintang Daud itu beralasan agresi militer ke Gaza--kali ini bersandi Jaga Perbatasan-merupakan upaya
membela diri, dan Israel merasa berhak melakukan itu.
Tentu saja rakyat Gaza jauh lebih berhak membela diri karena
mereka adalah bangsa terjajah. Kalau mau menengok ke belakang, serangan roket
pertama dari Gaza baru berlangsung setelah 34 tahun Israel menguasai wilayah
itu dan Tepi Barat sehabis menang Perang
Enam Hari, Juni 1967. Sebagai bangsa terjajah, rakyat Palestina di Jalur Gaza
dan Tepi Barat berhak dan wajib melawan penjajah Israel dengan cara apa saja.
Apalagi sudah
terbukti perundingan-perundingan selama ini selalu mandek. Kalaupun ada
kesepakatan, itu hanya bersifat sementara dan kerap menguntungkan Israel. Tel Aviv dengan sokongan tatanan global, terutama sekutu
istimewa mereka, Washington, DC, memang tidak akan pernah rela negara
Palestina merdeka dan berdaulat terbentuk. Israel setuju
ada negara Palestina dengan syarat tidak memiliki angkatan perang dan bukan
beribu kota di Yerusalem.
Banyak yang masih
menganggap Hamas, kelompok berkuasa di Gaza, sebagai organisasi teroris. Alasannya, mereka selalu meneror Israel dengan serangan roket.
Hamas juga bukan sekadar tidak mengakui keberadaan negara Israel, namun
bersumpah ingin melenyapkan negara Zionis itu dari seluruh wilayah Palestina
seperti sebelum Israel terbentuk.
Padahal Israel lebih
pantas dicap sebagai negara teroris. Saban hari
kerjaan pasukan mereka menangkapi, membunuh, menculik, dan mengintimidasi
warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat. Apalagi kalau sedang mengamuk seperti
sekarang. Israel, dengan kekuatan militer canggih, sebenarnya bisa membedakan
mana warga sipil dan bukan.
Sebagian pihak yakin, kalau Hamas dan Jihad Islam tidak
menyerang lebih dulu, situasi dan kondisi warga Gaza akan baik-baik saja.
Kenyataannya bertolak belakang. Israel sudah memperketat perlintasan dengan
Gaza sejak Hamas menang pemilihan umum, Januari 2006. Blokade diperketat
setelah Hamas berkuasa penuh setahun kemudian.
Kenyataannya, sekitar 1,7 juta penduduk Gaza terjebak. Diam
berarti hidup seperti dalam penjara terbuka raksasa karena mereka tidak bebas
keluar-masuk Gaza. Mereka hidup tanpa kehormatan dan masa depan di wilayah seluas
360 kilometer persegi itu. Dengan menerapkan blokade, Israel telah membunuh
warga Gaza pelan-pelan. Jika melawan dengan menembakkan roket, mereka mati
lebih cepat lantaran kebiadaban Israel. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar