Senin, 11 Agustus 2014

MK, Mantra Kecurangan, dan Opini Publik

MK, Mantra Kecurangan, dan Opini Publik

Burhanuddin Muhtadi  ;   Dosen FISIP UIN Jakarta,
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia
MEDIA INDONESIA, 11 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

“Prabowo dan timnya juga terlalu banyak mengumbar pernyataan yang bombastis dan tidak perlu. Statement Prabowo yang menyebut pelaksanaan pilpres di Indonesia lebih buruk ketimbang negeri yang fasis, komunis, dan totaliter seperti Korea Utara justru menimbulkan sinisme massal.”

JOHN Fitzgerald Kennedy pernah mengatakan, “Victory has a thousand fathers but defeat is an orphan,“ (kemenangan bagaikan punya seribu ayah, tapi kekalahan bak seorang yatim piatu). Maksud Presiden ke-35 Amerika Serikat itu ialah banyak pihak yang akan ikut mengklaim hasil yang baik, tapi tak ada seorang pun yang mau bertanggung jawab ketika sesuatu yang buruk bakal terjadi.

Itulah yang persis terjadi untuk menggambarkan kemenangan dramatis Jokowi-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dan kekalahan tragis Prabowo Subianto Hatta Rajasa (Prabowo-Hatta). Di satu sisi, banyak penumpang gelap yang belakangan mengklaim turut menyumbang atas kemenangan Jokowi-JK. Namun di sisi lain, hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 justru menghadirkan gambaran muram bagi Prabowo-Hatta. Soliditas Koalisi Merah Putih yang mengusung Prabowo-Hatta praktis berada di bawah tekanan ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan hasil pilpres yang jauh dari apa yang mereka harapkan.

Aroma saling menyalahkan dan mencari kambing hitam mewarnai Koalisi Merah Putih. Pertama, kubu Prabowo-Hatta menuding delapan hitung cepat yang memenangkan Jokowi-JK sebagai biang kerok. Kedua, setelah penetapan hasil Pilpres 22 Juli 2014, mereka menuding KPU sebagai penyebab utama kekalahan Prabowo-Hatta. Entah apa yang bakal terjadi nanti jika Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan mereka.

Setidaknya ada delapan langkah hukum dan politik yang sedang atau bakal diambil sebagai jalan keluar atas kepanikan dan keputusasaan menyikapi hasil pilpres. Pertama, menggugat hasil pemilu ke MK. Kedua, melaporkan dugaan pelanggaran etik KPU ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Ketiga, melaporkan kecurangan ke Bawaslu. Keempat, melaporkan Ketua KPU dan kecurangan ke polisi. Kelima, melaporkan ke Ombudsman. Keenam, melaporkan ke PTUN untuk membatalkan keputusan KPU. Ketujuh, melakukan manuver politik dengan menggulirkan Pansus Pilpres untuk mengevaluasi kinerja KPU. Kedelapan, memprovokasi DPRD Jakarta agar menolak pengunduran diri Jokowi sebagai gubernur dan mengganggu pelantikan Jokowi-JK dengan cara membuat sidang pelantikan tidak memenuhi kuorum.

Dua argumen

Beberapa langkah hukum dan politik sudah dijalankan kubu Prabowo-Hatta. Di antara yang sedang berlangsung ialah sidang permohonan perselisihan hasil pemilihan umum yang diajukan Prabowo-Hatta ke MK. Mantra yang terus-menerus ditiupkan ialah terjadinya dugaan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang melibatkan KPU.

Saya akan melihat gugatan kubu Prabowo-Hatta dalam dua perspektif, yakni politik dan opini publik serta substansi kecurangan. Pertama, dari tinjauan politik dan opini publik. Hasil sigi terbaru Lingkaran Survei Indonesia (LSI) 4-6 Agustus 2014 menunjukkan 78,11% responden menolak langkah Prabowo-Hatta menggugat hasil KPU ke MK. Persentase sebesar ini menunjukkan bahwa alih-alih mampu meyakinkan publik secara luas, Prabowo bahkan tak mampu meyakinkan pendukungnya sendiri tentang klaim kecurangan yang membuat dirinya kalah. Hanya 14,59% responden yang menyetujui langkah Prabowo menggugat ke MK. Bandingkan dengan perolehan suara Prabowo dalam pilpres kemarin yang mencapai 46,85%. Itu menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat, termasuk pemilih Prabowo dalam pilpres lalu, mengakui rekapitulasi KPU dan proses penyelenggaraan pilpres sudah berlangsung secara baik.

Hasil sigi tersebut linier dengan exit poll yang dilakukan Indikator Politik Indonesia pada 9 Juli 2014 bahwa 97% pemilih yang menggunakan hak mereka dalam pemilu menilai pelaksanaan pilpres sudah berlangsung jujur dan adil. Survei pascapilpres yang dihelat Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 21-26 Juli 2014 juga menemukan hasil yang sama, yakni mayoritas pemilih menilai pilpres sudah berlangsung secara baik jauh dari tuduhan kecurangan. 

Menurut SMRC, hanya 2,3% responden yang menyatakan Pilpres 2014 berlangsung secara tidak bebas dan jurdil. Perlu diingat, survei ini dilakukan di tengah maraknya aura kemarahan dan publikasi luas mantra kecurangan yang disampaikan kubu Prabowo.

Itu berarti tudingan bahwa Pilpres 2014 penuh dengan kecurangan dan sarat masalah tidak dibeli publik. Elite politik atau kelompok yang menilai pilpres bermasalah masuk pada golongan minoritas di tengah masyarakat. Bahkan Prabowo terasing di kalangan pendukungnya sendiri yang malah menilai pilpres kemarin sudah berlangsung secara jurdil. Secara politis, gugatan Prabowo-Hatta ke MK justru mengalami delegitimasi moral, bahkan di kalangan pemilihnya sendiri karena kecenderungan pemilihnya menilai kecurangan yang ditudingkan Prabowo tidak terjadi. Penilaian publik ini berbanding lurus dengan sebagian besar pe nilaian pengamat maupun pemantau pemilu dari dalam maupun luar negeri yang menilai pelaksanaan Pilpres 2014 lebih baik ketimbang pemilu sebelumnya, meski masih ada beberapa kekurangan di sana-sini.

Ini yang menyebabkan dukungan publik kepada Prabowo-Hatta alih-alih naik pascapilpres, tapi justru semakin merosot. Survei LSI membuktikan jika MK memutuskan terjadi pemilihan ulang sekalipun, Jokowi-JK justru malah bisa menang telak dengan kisaran suara 65,25% ketimbang 34,75% suara yang diperoleh Prabowo-Hatta.

Respons negatif yang dipanen kubu Prabowo tak lepas dari strategi komunikasi dan marketing politik yang tidak tepat. Sejak 9 Juli 2014, kubu Prabowo terlihat panik dan menyerang secara membabi buta. Pernyataan-pernyataan Prabowo juga sangat tidak terukur sehingga alih-alih mampu merebut hati publik, Prabowo justru terkesan sebagai orang yang tak bisa menerima kekalahan dengan jiwa besar. Pernyataan kerasnya pada 22 Juli 2014, misalnya, justru menurunkan derajat Prabowo pada titik terendah. Statement-nya yang bakal menarik diri dari proses pilpres dan menolak pelaksanaan pilpres kini malah menjadi bumerang karena memunculkan masalah legal standing terkait dengan gugatan PHPU ke MK.

Prabowo dan timnya juga terlalu banyak mengumbar pernyataan yang bombastis dan tidak perlu. Statement Prabowo yang menyebut pelaksanaan pilpres di Indonesia lebih buruk ketimbang negeri yang fasis, komunis, dan totaliter seperti Korea Utara justru menimbulkan sinisme massal. Pernyataan itu bukan hanya menurunkan kadar kenegarawanan seorang Prabowo, tapi juga menjelekkan prestasi demokrasi Indonesia pascareformasi. Berbeda dengan klaim Prabowo, masyarakat Indonesia justru mensyukuri prestasi yang sudah kita raih. Lembaga sekelas Freedom House yang kredibel pun menempatkan Indonesia sebagai negeri muslim paling demokratis di dunia. Majalah The Economist mendapuk Indonesia sebagai the shining example of democracy (contoh demokrasi yang berkilauan) bagi negeri-negeri muslim lainnya di jagat bumi.

Mantra kecurangan

Kedua, bila dilihat dari tilikan substansi hukum, gugatan kubu Prabowo menerbitkan pertanyaan seputar seberapa TSM kecurangan itu terjadi pada pilpres, dan pasangan mana yang lebih potensial mampu melakukan kecurangan. Kecurangan secara TSM dimungkinkan oleh akses terhadap state apparatus, entah itu birokrasi, tentara, polisi, atau fasilitas negara.

Dilihat dari sumber daya politik, pasangan Prabowo-Hatta lebih me miliki potensi untuk melakukan kecurangan ketimbang Jokowi-JK. Prabowo-Hatta didukung oleh tu juh partai, bahkan lima di antaran ya merupakan bagian dari the ruling party yakni (Demokrat, PAN, PPP, PKS, dan Golkar). Dua pertiga kepala daerah (gubernur, bupati, atau wali kota) men jadi tim sukses pemenangan Prabowo-Hatta di wilayahnya masing-masing. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang se kaligus Ketua Umum Demokrat mendukung Prabowo. Beberapa kasus keterlibatan Babinsa juga menunjukkan indikasi dukungan kepada pasangan nomor urut 1 ini.
Data longitudinal Indikator Politik Indonesia menjelang pilpres juga menunjukkan 80% lebih PNS mendukung Prabowo-Hatta ketimbang Jokowi-JK. Fakta-fakta itu bisa menjadi bumerang buat Prabowo. Jangan-jangan tuduhan itu ibarat menepuk air didulang, tepercik muka sendiri. Atau, ibarat kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak kelihatan.

Tim hukum Prabowo Hatta harus bekerja ekstra keras untuk membuktikan gugatan. Inilah kesempatan emas sekaligus pamungkas bagi kubu Prabowo untuk menunjukkan keseriusan. Sudah saatnya mereka memperbaiki kualitas saksi dan bukti yang dihadirkan ke persidangan. Jangan sibuk bermain opini di luar persidangan, apalagi jika opini yang dipropagandakan justru menjadi bumerang. Ancaman fungsionaris Gerindra, M Taufik, yang akan menculik Ketua KPU, misalnya, justru malah kontraproduktif karena makin menimbulkan kemuakan publik. Demikian pula gertakan untuk membentuk Pansus Pilpres justru malah memerosotkan wibawa Prabowo di mata publik.

Sudah saatnya kubu masing masing mengembalikan konstitusionalitas hasil pilpres di atas meja persidangan MK. Siapa pun harus bisa menerima hasil kerja MK dengan jiwa besar dan kesatria. Demokrasi bukan hanya membutuhkan pemenang yang baik, yang bisa merangkul pihak yang kalah, tapi juga memerlukan pecundang yang baik, yang sportif dan menerima kekalahan dengan legawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar