Daya
Semai Guru Rendah, Kualitas Pendidikan Rendah
Mahnan Marbawi ;
Praktisi Pendidikan;
Aktivis Jakarta Education Forum
|
MEDIA
INDONESIA, 11 Agustus 2014
ADA ungkapan di kalangan
pemerhati pendidikan bahwa ‘apa pun kurikulumnya, kunci sukses pendidikan
ialah guru. Seberapa bagus performace
guru dalam proses pembelajaran akan menentukan hasil pendidikan tersebut’,
Sebab kemampuan mengembangkan, melaksanakan, dan menyampaikan dalam proses
pembelajaran seorang guru, menjadi salah satu kunci untuk meningkatkan
kualitas pendidikan.
Faktanya seperti hasil
penelitian beberapa lembaga donor sebut saja Usaid, Ausaid, Europe Union, World Bank, dan lainnya, menyebutkan
bahwa guru di Indonesia miskin dalam mengembangkan role model dalam mengajar. Miskin kreativitas, miskin imajinasi,
kurang kreatif dalam metodologi mengajar. Yang terjadi ialah pola mengajar
yang selalu menakut-nakuti. “Guru tidak melakukan touching the heart of the students, daya semai guru dalam
menanamkan nilai sangat terbatas,” kata pengamat pendidikan Ahmad Baedowi.
Pantas kemudian sekolah menjadi
ruang terbuka bagi penanaman paham-paham radikal. Ada agenda dari
kelompok-kelompok berpaham radikal untuk menyebarkannya di kalangan siswa.
Problem daya semai yang rendah juga menjadi penyebab identitas dan jati diri
pribadi siswa kering dari ideologi nasionalisme dan kebangsaan. “Kegagalan pendidikan kita ialah tidak
menempatkan Pancasila sebagai bagian dari character building, Pancasila baru
sebatas wacana, belum terimplementasi dalam aspek kehidupan rakyat
Indonesia,“ terang pakar pendidikan Prof Bambang Pranowo.
Padahal, character building tersebut semestinya dilakukan dengan
memberikan ruang yang terbuka bagi pengembangan budaya daerah/lokal sebagai
penyokong budaya nasional sebagai puncak kebudayaan Indonesia. Demikian
menurut pakar pendidikan Prof HAR Tilaar.
Fakta lainnya adalah laporan
Bappenas yang menyebutkan bahwa program kualifikasi dan sertifikasi belum
berdampak pada peningkatan mutu guru. Guru dalam proses pembelajaran
menggunakan metode pembelajaran yang lebih dominan expository learning approach, bukan discovery learning approach. Selain itu, Bappenas juga
menyebutkan jumlah LPTK yang banyak tidak disertai kualitas yang baik untuk
program pre-service teacher education.
Harapan pendiri bangsa
Pendapat dan fakta ini mendapat
penguatan dari fakta sejarah berdirinya bangsa Indonesia. Para pendiri bangsa
merumuskan kebijakan pendidikan menjadi empat garis besar program pendidikan,
yaitu pendidikan harus memperkuat kesetaraan, pendidikan harus memperkuat
kepribadian, pendidikan harus mampu menyejahterakan, dan pen didikan harus
memajukan bangsa Indonesia. Fakta-fakta di lapangan dan fakta sejarah tersebut
seharusnya mampu mendorong para pemangku kebijakan pendidikan untuk terus
fokus terhadap peningkatan profesionalitas guru.
Rendahnya daya semai ini salah
satunya disebabkan kesadaran guru tentang profesinya yang belum kuat.
Ditambah penguatan tugas sebagai juru semai nilai-nilai ketika di LPTK tidak
diajarkan. Hal inilah yang menyebabkan seorang guru hanya berpikiran mengajar
adalah sebagai sebuah pekerjaan belaka, bukan sebuah tugas membentuk manusia,
membentuk generasi baru.
Memahami tugas sebagai pembentuk
generasi baru inilah yang semestinya mendasari dan melandasi seseorang
memiliki pekerjaan atau profesi sebagai seorang guru. Di pundaknyalah masa
depan sebuah bangsa akan ditentukan. Sebagaimana halnya ketika Kaisar
Hirohito mendata berapa jumlah guru yang masih hidup pascabom atom tentara
sekutu menghunjam Hiroshima dan Nagasaki. Kaisar Hirohito sadar betul,
kehancuran itu tidak akan bisa dipulihkan oleh generasi era Perang Dunia II,
tetapi oleh generasi penerusnya. Jepang membutuhkan orang yang akan mencetak
generasi emas Jepang, pasca-Perang Dunia II. Hasilnya bisa kita tahu: saat
ini Jepang menjadi negara maju.
Kesadaran akan tugas sebagai
juru semai nilai-nilai dan jati diri ini menjadi bagian penting dalam
kesadaran seorang guru, termasuk LPTK. LPTK pun kadang lupa bahwa mereka
ialah produsen caloncalon guru yang akan menyiapkan generasi mendatang. Apa
yang diajarkan di LPTK kadang tidak sesuai dengan kebutuhan ketika lulusan
mereka hadir di kelas yang mengalami perkembangan cepat.
Ketiadaan kesadaran terhadap
tugas sebagai juru semai, akan mengakibatkan kosongnya proses pembelajaran di
kelas. Guru hanya akan berfungsi sebagai ‘juru sampai’, hanya menyampaikan
materi. Guru hanya mengejar tenggat materi yang harus diselesaikan dalam satu
semester, ujian yang harus dilakukan dan penilaiannya. Guru tidak memaknai
apa nilai yang terkandung dalam materi yang dia sampaikan tersebut.
Ada tiga persoalan yang
melingkupi persoalan rendahnya profesionalitas guru di Indonesia, yaitu
standar pembelajaran, standar pengembangan profesionalitas guru, dan strategi
implementasi penguatan nasionalisme dan jati diri bangsa dalam pendidikan.
Memang pemerintah telah memiliki beberapa standar tentang proses, program
sertifikasi guru, dan peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan
(permendikbud) lainnya yang berhubungan dengan pendidikan.
Namun demikian, permendikbud
tersebut dalam implementasinya tidak optimal dan general serta kesulitan
dalam implementasi di lapangan. Hal ini disebabkan tidak optimalnya penguatan
peningkatan profesi guru secara berjenjang dan sistematis meng gunakan
perangkat yang sudah ada seperti meng gunakan musyawarah guru mata pelajaran
(MGMP) di tingkat SMP, SMA, dan SMK atau kelompok kerja guru (KKG) di tingkat
sekolah dasar.
Standar pembelajaran
Dalam mengajar, seorang guru
harus memiliki kemampuan teori dan praktik dalam sebuah mata pelajaran yang
diampunya. Selain itu, seorang guru juga dituntut untuk memiliki
kecakapan-kecakapan tentang pembelajaran dan metodologi sesuai mata pelajaran
yang diampu.
Standar Pengajar tersebut
menjadi penting, didasarkan atas beberapa asumsi; visi pendidikan yang
membutuhkan perubahan sistem pendidikan secara menyeluruh, apa yang siswa
pelajari dipengaruhi secara pasti oleh bagaimana mereka berpikir, apa yang dilakukan
oleh guru akan berpengaruh secara mendalam (berbekas) bila dilakukan dengan
keberanian mengubah persepsi (cara pandang) bahwa mata pelajaran tersebut
penting untuk dipikirkan dan dipelajari (nilai manfaat bagi kehidupan),
pemahaman siswa harus dikonstruksi secara aktif melalui proses individual dan
sosial, perilaku (sikap) guru memberikan pengaruh besar terhadap siswa bila
guru memahami bagaimana mereka berhubungan dengan siswa.
Atas dasar asumsi di atas maka
perlu kiranya pemerintah menyiapkan guru sebagai tenaga profesional memetakan
standar pengajaran dengan memerhatikan dan menganalisis realitas di lapangan,
kebutuhan-kebutuhan ideal, gap analysis tentang proses pembelajaran
menyangkut: perencanaan pembelajaran, pedoman pelaksanaan pembelajaran serta
fasilitas pembelajaran, metode, sistem dan penilaian pembelajaran, desain dan
manajemen lingkungan pembelajaran, pengembangan kelompok belajar siswa serta
model partisipasi aktif guru dalam perencanaan dan pengembangan program
sekolah.
Saat ini pemerintah melakukan
program preservis melalui perguruan tinggi pendidikan atau lembaga pendidik
dan tenaga kependidikan (LPTK) melalui program/jenjang S-1 pendidikan. LPTK
dalam hal ini menjadi produsen dari calon guru. Sementara untuk in service
training pemerintah melakukannya sejalan dengan program sertifikasi guru
sesuai dengan UU Guru dan Dosen, yakni program ini juga bertujuan untuk
menyejahterakan guru sekaligus meningkatkan profesionalitas guru. Program ini
dilakukan melalui model PLPG atau Pendidikan dan Latihan Profesi Pendidik
yang dilaksanakan selama 10 hari.
Ada sekitar 2, 7 juta guru yang
semestinya mengikuti program sertifikasi. Program yang telah di-launching
sejak 2007 ini secara substantif belum memberikan dampak yang signifikan
terhadap proses pembelajaran dan peningkatan kualitas guru, karena program
tersebut tidak juga menguatkan kesadaran tugas guru sebagai penyemai
nilainilai dan jati diri siswa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar