Mengawal
Demokrasi Kerakyatan
Joko Wahyono ;
Analis Politik pada
Program Pascasarjana
UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta
|
SINAR
HARAPAN, 11 Agustus 2014
Hajatan pilpres seharusnya bukan hanya dirayakan dengan
“coblosan massal”. Lebih dari itu, pilpres harus dimaknai sebagai momentum
pembelajaran demokrasi bagi rakyat melalui penggunaan hak politiknya untuk
memilih pemimpin nasional yang diyakini mampu membawa kehidupan bangsa ke
arah yang lebih baik.
Di dalamnya melekat sepucuk harapan akan perbaikan kesejahteraan
dan terwujudnya Indonesia yang berdaulat baik secara politik, ekonomi,
sosial, maupun budaya. Tingginya gairah partisipasi rakyat dalam pilpres kali
ini menggambarkan kedewasaan mereka dalam mengawal transisi demokrasi.
Artinya, dengan segala plus-minusnya, demokrasi di negeri ini
sudah mulai mengarah kewujudnya yang ideal. Itu karena selain menyuburkan
kompetisi, khittah demokrasi sejatinya juga memfasilitasi perluasan
partisipasi publik.
Sebagaimana gambaran Lipset (2003), demokrasi mensyaratkan;
pertama, kompetisi yang sungguh-sungguh dan meluas di antara individu maupun
kelompok. Kedua, partisipasi politik yang melibatkan sebanyak mungkin warga
negara dalam pemilihan pemimpin atau kebijakan. Ketiga, kebebasan sipil dan
politik yang meliputi kebebasan berbicara, pers, dan berorganisasi sehingga
menjamin integritas kompetisi dan partisipasi politik.
Inilah demokrasi kerakyataan. Prosesnya bergerak dari bawah ke
atas. Bukan sebaliknya, yakni demokrasi elitis yang hanya dimonopoli
segelintir orang (elite politik) sebagai pelaku utama. Meski yang terakhir
ini kelompoknya kecil, meminjam bahasanya Gramsci (1981), mereka adalah
pemenang wacana atas kuasa mayoritas.
Sementara itu, rakyat di bawah tetap menjadi mayoritas
terpinggirkan yang bungkam dan dibisukan. Elitisme demokrasi ini mendistorsi
pertukaran gagasan, menafikan “sambung nalar”, mengabaikan diskusi tentang
nilai, tentang prioritas antara rakyat dengan wakilnya (pemimpin) yang pada
gilirannya akan membunuh partisipasi publik.
Substansi Demokrasi
Padahal, demokrasi memberi ruang yang sama bagi seluruh warga
negara. Ruang publik milik masyarakat warga (zivilgesellschaft) dalam demokrasi bersifat terbuka, otonom, dan
bebas.
Dalam ajaran klasik tentang demokrasi, rakyat sejatinya
berdaulat. Bahkan, rakyat seharusnya memerintah dirinya sendiri tanpa
menyerahkan kekuasaannya itu kepada siapa pun dan lembaga apa pun. Kini,
“rakyat memerintah dirinya sendiri,” menurut F Budi Hardiman (2009), berarti
rakyat tidak hanya menerima atau menolak hasil keputusan pemilu, tetapi juga
melakukan mekanisme kontrol atasnya.
Hannah Arendt (1959), memperingatkan bahwa sekalipun kekuasaan
di tangan rakyat, itu hanya dimiliki saat hari pemilu. Setelahnya, kekuasaan
sepenuhnya berpindah tangan kepada mereka yang memenangi pemilu.
Untuk itu, partisipasi politik rakyat tidak hanya terhenti pada
ramai-ramai memilih dalam pilpres. Gelaran pilpres hanyalah satu (tahap awal)
dari serangkaian tahapan proses politik menuju demokrasi yang lebih
berkualitas dan bermakna bagi keadaban publik.
Kebermaknaan dan kualitas demokrasi adalah ketika ia menyentuh
sisi substansialnya. Kalah menang dalam pilpres hanyalah kegaduhan sisi
formalitas instrumental dari demokrasi.
Sementara itu, sisi substansial demokrasi terletak pada
terwujudnya negara kesejahteraan, terjaminnya HAM, kebebasan yang dilindungi
negara, mendapatkan hak hidup yang layak, dan kepemilikan akses terhadap
upaya pengembangan potensi dan daya kehidupan setiap warga negara.
Di sinilah mengawal setiap tahapan proses demokrasi ini menjadi
lebih urgen ketimbang merayakannya di bilik-bilik suara. Dengan
kedaulatannya, rakyat kini harus berperan sebagai pengendali arah dan tujuan
pemerintahan yang terbentuk dari hasil pilpres.
Rakyat harus bersikap kritis terhadap pembentukan kabinet dan
postur pemerintahan. Jangan sampai terjebak pada pola “bagi-bagi kekuasaan”
yang bersandar pada politik transaksional.
Tanggung Jawab Moral
Publik juga harus turut memastikan bahwa tugas pemerintah
mendatang bukan untuk melayani kepentingan parpol atau golongan tertentu.
Namun sebaliknya, akuntabilitas kinerja mereka harus benar-benar
diperuntukkan demi kepentingan rakyat.
Itu karena ketika pemerintahan sudah tersandera berbagai
kepentingan politik-ekonomi parpol-parpol pendukungnya, bisa dipastikan kinerja
mereka tidak bakal mencapai titik temu dengan kepentingan publik.
Mandat, tanggung jawab, dan fungsi perwakilan akan diabaikan
demi memelihara kelangsungan hidup kolektif mereka sendiri. Terbukti, pos
kementerian sampai saat ini cukup menjanjikan insentif materiil. Parpol bisa
mendapatkan uang dari berbagai sumber dana negara.
Bahkan, dalam konteks untuk memenuhi kebutuhan finansial, posisi
di kementerian memungkinkan bagi parpol untuk melakukan perburuan rente (rent-seeking). Meraup dana ilegal dari
BUMN, mengamankan akses ke dana-dana nonbudgeter dan proyek-proyek negara
lewat korupsi, suap, dan lain sebagainya.
Kita tidak ingin pembentukan kabinet pemerintahan baru akan
kembali menjadi pergumulan politik terselubung untuk memobilisasi rente tersebut.
Jika hal itu terjadi, konsolidasi demokrasi di negeri ini tidak akan pernah
berakhir. Sebaliknya, yang akan terus berlanjut adalah kerancuan, anomali,
dan kekisruhan politik.
Untuk itu, rakyat sebagai kekuatan civil society harus mengawal, melakukan fungsi pengawasan secara
ketat, menjadi bagian dari pressure
group yang setiap saat bisa mengontrol kinerja pemerintahan baru.
Keterbelahan afiliasi pilihan politik saat pilpres harus berhenti ketika
pemimpin nasional secara resmi telah ditetapkan.
Persoalan kini harus digeser ke arah bagaimana pemerintahan yang
terbentuk nanti memberikan ekspektasi positif bagi Indonesia masa depan yang
lebih adil, makmur, dan sejahtera.
Kebermaknaan demokrasi akan dirasakan manakala mampu
berkontribusi terhadap kesejahteraan rakyat, penciptaan good governance, pemberantasan korupsi, penguatan kultur politik
yang demokratis, budaya kewargaan (civic
culture) dan keadaban (civility),
serta penegakan hukum dan keadilan.
Di sinilah letak tanggung jawab moral rakyat untuk mengembalikan
politik kepada makna sejatinya, yakni wahana mewujudkan kesejahteraan bersama
(bonum commune). Hanya dengan
tanggung jawab moral dan partisipasi politik rakyat melalui pengawasan inilah
demokrasi, perbaikan kondisi, arah, dan masa depan bangsa ini dikawal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar