Selasa, 12 Agustus 2014

Mengawal Demokrasi Kerakyatan

Mengawal Demokrasi Kerakyatan

Joko Wahyono  ;   Analis Politik pada Program Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SINAR HARAPAN, 11 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Hajatan pilpres seharusnya bukan hanya dirayakan dengan “coblosan massal”. Lebih dari itu, pilpres harus dimaknai sebagai momentum pembelajaran demokrasi bagi rakyat melalui penggunaan hak politiknya untuk memilih pemimpin nasional yang diyakini mampu membawa kehidupan bangsa ke arah yang lebih baik.

Di dalamnya melekat sepucuk harapan akan perbaikan kesejahteraan dan terwujudnya Indonesia yang berdaulat baik secara politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Tingginya gairah partisipasi rakyat dalam pilpres kali ini menggambarkan kedewasaan mereka dalam mengawal transisi demokrasi.

Artinya, dengan segala plus-minusnya, demokrasi di negeri ini sudah mulai mengarah kewujudnya yang ideal. Itu karena selain menyuburkan kompetisi, khittah demokrasi sejatinya juga memfasilitasi perluasan partisipasi publik.

Sebagaimana gambaran Lipset (2003), demokrasi mensyaratkan; pertama, kompetisi yang sungguh-sungguh dan meluas di antara individu maupun kelompok. Kedua, partisipasi politik yang melibatkan sebanyak mungkin warga negara dalam pemilihan pemimpin atau kebijakan. Ketiga, kebebasan sipil dan politik yang meliputi kebebasan berbicara, pers, dan berorganisasi sehingga menjamin integritas kompetisi dan partisipasi politik.

Inilah demokrasi kerakyataan. Prosesnya bergerak dari bawah ke atas. Bukan sebaliknya, yakni demokrasi elitis yang hanya dimonopoli segelintir orang (elite politik) sebagai pelaku utama. Meski yang terakhir ini kelompoknya kecil, meminjam bahasanya Gramsci (1981), mereka adalah pemenang wacana atas kuasa mayoritas.

Sementara itu, rakyat di bawah tetap menjadi mayoritas terpinggirkan yang bungkam dan dibisukan. Elitisme demokrasi ini mendistorsi pertukaran gagasan, menafikan “sambung nalar”, mengabaikan diskusi tentang nilai, tentang prioritas antara rakyat dengan wakilnya (pemimpin) yang pada gilirannya akan membunuh partisipasi publik.

Substansi Demokrasi

Padahal, demokrasi memberi ruang yang sama bagi seluruh warga negara. Ruang publik milik masyarakat warga (zivilgesellschaft) dalam demokrasi bersifat terbuka, otonom, dan bebas.

Dalam ajaran klasik tentang demokrasi, rakyat sejatinya berdaulat. Bahkan, rakyat seharusnya memerintah dirinya sendiri tanpa menyerahkan kekuasaannya itu kepada siapa pun dan lembaga apa pun. Kini, “rakyat memerintah dirinya sendiri,” menurut F Budi Hardiman (2009), berarti rakyat tidak hanya menerima atau menolak hasil keputusan pemilu, tetapi juga melakukan mekanisme kontrol atasnya.

Hannah Arendt (1959), memperingatkan bahwa sekalipun kekuasaan di tangan rakyat, itu hanya dimiliki saat hari pemilu. Setelahnya, kekuasaan sepenuhnya berpindah tangan kepada mereka yang memenangi pemilu.

Untuk itu, partisipasi politik rakyat tidak hanya terhenti pada ramai-ramai memilih dalam pilpres. Gelaran pilpres hanyalah satu (tahap awal) dari serangkaian tahapan proses politik menuju demokrasi yang lebih berkualitas dan bermakna bagi keadaban publik.

Kebermaknaan dan kualitas demokrasi adalah ketika ia menyentuh sisi substansialnya. Kalah menang dalam pilpres hanyalah kegaduhan sisi formalitas instrumental dari demokrasi.

Sementara itu, sisi substansial demokrasi terletak pada terwujudnya negara kesejahteraan, terjaminnya HAM, kebebasan yang dilindungi negara, mendapatkan hak hidup yang layak, dan kepemilikan akses terhadap upaya pengembangan potensi dan daya kehidupan setiap warga negara.

Di sinilah mengawal setiap tahapan proses demokrasi ini menjadi lebih urgen ketimbang merayakannya di bilik-bilik suara. Dengan kedaulatannya, rakyat kini harus berperan sebagai pengendali arah dan tujuan pemerintahan yang terbentuk dari hasil pilpres.

Rakyat harus bersikap kritis terhadap pembentukan kabinet dan postur pemerintahan. Jangan sampai terjebak pada pola “bagi-bagi kekuasaan” yang bersandar pada politik transaksional.

Tanggung Jawab Moral

Publik juga harus turut memastikan bahwa tugas pemerintah mendatang bukan untuk melayani kepentingan parpol atau golongan tertentu. Namun sebaliknya, akuntabilitas kinerja mereka harus benar-benar diperuntukkan demi kepentingan rakyat.

Itu karena ketika pemerintahan sudah tersandera berbagai kepentingan politik-ekonomi parpol-parpol pendukungnya, bisa dipastikan kinerja mereka tidak bakal mencapai titik temu dengan kepentingan publik.

Mandat, tanggung jawab, dan fungsi perwakilan akan diabaikan demi memelihara kelangsungan hidup kolektif mereka sendiri. Terbukti, pos kementerian sampai saat ini cukup menjanjikan insentif materiil. Parpol bisa mendapatkan uang dari berbagai sumber dana negara.

Bahkan, dalam konteks untuk memenuhi kebutuhan finansial, posisi di kementerian memungkinkan bagi parpol untuk melakukan perburuan rente (rent-seeking). Meraup dana ilegal dari BUMN, mengamankan akses ke dana-dana nonbudgeter dan proyek-proyek negara lewat korupsi, suap, dan lain sebagainya.

Kita tidak ingin pembentukan kabinet pemerintahan baru akan kembali menjadi pergumulan politik terselubung untuk memobilisasi rente tersebut. Jika hal itu terjadi, konsolidasi demokrasi di negeri ini tidak akan pernah berakhir. Sebaliknya, yang akan terus berlanjut adalah kerancuan, anomali, dan kekisruhan politik.

Untuk itu, rakyat sebagai kekuatan civil society harus mengawal, melakukan fungsi pengawasan secara ketat, menjadi bagian dari pressure group yang setiap saat bisa mengontrol kinerja pemerintahan baru. Keterbelahan afiliasi pilihan politik saat pilpres harus berhenti ketika pemimpin nasional secara resmi telah ditetapkan.

Persoalan kini harus digeser ke arah bagaimana pemerintahan yang terbentuk nanti memberikan ekspektasi positif bagi Indonesia masa depan yang lebih adil, makmur, dan sejahtera.

Kebermaknaan demokrasi akan dirasakan manakala mampu berkontribusi terhadap kesejahteraan rakyat, penciptaan good governance, pemberantasan korupsi, penguatan kultur politik yang demokratis, budaya kewargaan (civic culture) dan keadaban (civility), serta penegakan hukum dan keadilan.

Di sinilah letak tanggung jawab moral rakyat untuk mengembalikan politik kepada makna sejatinya, yakni wahana mewujudkan kesejahteraan bersama (bonum commune). Hanya dengan tanggung jawab moral dan partisipasi politik rakyat melalui pengawasan inilah demokrasi, perbaikan kondisi, arah, dan masa depan bangsa ini dikawal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar