Rabu, 06 Agustus 2014

Mewaspadai “Virus” ISIS

                                         Mewaspadai “Virus” ISIS

Biyanto  ;   Dosen UIN Sunan Ampel,
Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
KORAN SINDO, 04 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Seruan berbagai komponen bangsa agar masyarakat tidak terprovokasi ajakan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) harus ditindaklanjuti dengan langkah yang lebih konkret.

Pemerintah bersama kekuatan civil society harus mengambil langkah langkah antisipasi agar kelompok militan tersebut tidak menyebarkan virus radikalisme di Indonesia. Itu karena di negara asalnya, Irak dan Suriah, ISIS dikenal sebagai kelompok yang menempuh cara radikal dalam mewujudkan perjuangannya. Kelompok ISIS pimpinan Abu Bakr Al-Baghdadi juga selalu mengobarkan semangat jihad demi mewujudkan Negara Islam Terpadu yang melintas dari Irak hingga perbatasan Suriah.

Karena itu, tidak berlebihan jika New York Times dalam pemberitaannya menyebut ISIS (Islamic State in Iraq and Syria) sebagai kelompok militan yang harus diwaspadai. Sejak menguasai kota-kota penting di Irak dan Mosul di Tikrit, ISIS terus menjadi perbincangan dunia. Dalam edisi berbahasa Arab, ISIS diterjemahkan dengan Al-Dawlah Al-Islamiyah fi Al-Al- Dawlah Al-Islamiyah fi Al-Iraq wa Al-Sham. Kata Al-Sham merupakan nama klasik untuk Damaskus, pusat kekuasaan Islam semasa kekhalifahan Daulah Umayah. Kini Al-Sham meliputi wilayah Suriah, Israel, Lebanon, dan bagian tenggara Turki.

Dengan demikian, cakupan wilayah Negara Islam Terpadu yang dicitakan ISIS melintasi batas negara-bangsa. Selain menggunakan strategi jihad yang disertai radikalisme, cita-cita ISIS untuk mewujudkan Negara Islam Terpadu bercorak kekhalifahan jelas bertabrakan dengan semangat nasionalisme yang digelorakan para pendiri bangsa. Ironisnya, beberapa kelompok fundamentalis di Tanah Air dikabarkan telah memberikan dukungan bagi perjuangan ISIS. Ini jelas dapat menjadi virus yang berbahaya bagi NKRI, gagasan nasionalisme, dan dakwah Islam yang moderat.

Embrio gagasan nasionalisme dapat dilacak dari spirit Dokter Wahidin Sudirohusodo dan beberapa pelajar sekolah kedokteran saat mendirikan Budi Utomo di Jakarta pada 20 Mei 1908. Tanggal pendirian Budi Utomo itu ditetapkan sebagai permulaan kebangkitan nasional atau gerakan kebangsaan. Sebagai gerakan kebangsaanyangberideologi nasionalis- Jawa, Budi Utomo telah menunjukkan sifat terbuka. Itu dapat diamati melalui penerimaan anggota Budi Utomo terhadap kelompok dari luar. Penting juga dikemukakan hubungan baik tokoh-tokoh Budi Utomo dengan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.

Dahlan bahkan berkesempatan untuk memberikan pelajaran agama pada anggota Budi Utomo. Saat Budi Utomo menyelenggarakan kongres pada 1917, Dahlan diundang secara khusus untuk memberikan ceramah. Hebatnya, kongres Budi Utomo itu diselenggarakan di rumah Dahlan. Peserta kongres ternyata sangat tertarik dengan ceramah Dahlan sehingga di antara mereka meminta untuk memberikan pengajian sekaligus membuka cabang Muhammadiyah di daerahnya.

Fakta ini penting dikemukakan untuk memberikan penegasan bahwa telah terjadi sinergi antara pelopor gerakan nasionalisme dan tokoh-tokoh Islam. Sinergi itu dimungkinkan karena di antara mereka memiliki kesamaan tujuan yakni mengantarbangsamenjadilebih maju, berdaulat, dan terbebas dari segala penindasan. Pertemuan tokoh-tokoh nasionalis dan agamais juga menunjukkan bahwa cita-cita gerakan kebangsaan sejalan dengan ajaran agama. Melalui gerakan kebangsaan, tokoh-tokoh nasionalis berjuang dengan sepenuh hati untuk mencapai kedaulatan bangsa.

Agama juga mengajarkan spirit yang senada dengan cita-cita bangsa seperti ajaran tentang kemerdekaan (al-hurriyah), keadilan (al-al-adalah), musyawarah (syura), egalitarianisme (al-musawa), dan keberagaman (al-tanawwual-tanawwu). Nilai-nilai keagamaan itu sangat relevan dengan keinginan tokoh-tokoh pergerakan yang bercita-cita agar bangsa Indonesia terbebas dari kolonialisme sehingga berdaulat, berkeadilan, dan berkedudukan yang sama dengan bangsa lain.

Melalui kesamaan persepsi itulah, tokoh-tokoh pergerakan, baik yang berlatar belakang nasionalis maupun agamais, bersatu untuk mewujudkan organisasi politik yang dalam konteks modern disebut negara bangsa (nation state). Kesadaran untuk mewujudkan suatu bangsa jelas membutuhkan pengorbanan semua komponen. Apalagi jika berkaca pada realitas kemajemukan bangsa yang multietnik, agama, dan budaya. Dalam konteks inilah kita perlu merenungkan pernyataan teoretikus Prancis, Ernest Renan (1823-1892), ketika mendefinisikan bangsa.

Menurut Renan, bangsa adalah suatu perwujudan solidaritas tingkat tinggi yang dibangun oleh kesediaan berkorban pada masa lalu berikut kesiapan untuk menghadapi masa depan. Ungkapan Renan menegaskan bahwa untuk tetap menjadi suatu bangsa, yang dibutuhkan adalah kemampuan merawat solidaritas dan semangat rela berkorban. Untuk merawat nilai-nilai solidaritas dan pengorbanan yang menjadi ikatan suatu bangsa ternyata tidak mudah. Itu karena kini bermunculan gerakan keagamaan yang bercorak transnasional. Salah satunya ISIS yang saat ini mengundang perhatian dunia.

Meski gerakan keagamaan transnasional terkadang bervariasi, umumnya mereka memiliki pandangan politik yang sama. Doktrin politik yang dianut adalah agama dan negara merupakan satu kesatuan. Ajaran Islam dipahami mencakup persoalan agama dan negara sekaligus (al-din wa aldawlah).

Doktrin ini menekankan Islam sebagai totalitas sistem yang secara universal bersifat kompatibel sehingga harus dilaksanakan di segala waktu dan tempat. Bagi gerakan keagamaan fundamentalis, pemisahan agama dan negara adalah sesuatu yang tidak terbayangkan. Kelompok fundamental juga berpandangan bahwa praktik politik yang harus dijadikan rujukan adalah Islam periode awal yakni pada masa Nabi dan sahabat. Cita-cita kelompok Islam politik ini kemudian diwujudkan melalui perjuangan yang berorientasi pada gerakan transnasional.

Kelompok ini pun berpandangan bahwa sistem khilafah merupakan solusi yang paling tepat untuk menegakkan cita-cita politik umat. Dengan mencitakan dunia yang dipimpin seorang khalifah berarti tidak ada tempat bagi nasionalisme sebab nasionalisme lebih menekankan kesamaan tujuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Gagasan nasionalisme juga mengakui eksistensi keragaman etnik, agama, budaya, dan bahasa sebagai entitas yang memiliki tujuan untuk mewujudkan kebaikan bersama.

Sementara cita-cita politik gerakan transnasional bersifat lintas batas dan didasarkan kesamaan agama. Kini tugas kita adalah mengajak berbagai elemen, terutama pemuda, agar tidak teracuni virus yang diwacanakan ISIS dan kelompok transnasionalisme lainnya. Apalagi sudah jelas bahwa dalam menempuh setiap perjuangannya, mereka selalu menghalalkan segala cara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar