Teologi
Negara Maritim
Rokhmin Dahuri ; Ketua Umum Gerakan Nelayan dan Tani Indonesia (GANTI)
|
KORAN
SINDO, 04 Agustus 2014
Ada tiga alasan utama mengapa Indonesia mestinya menjadi negara
maritim yang maju, kuat, sejahtera, dan berdaulat. Pertama, fakta empiris
bahwa Indonesia merupakan negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia yang
tersusun atas 17.504 pulau (baru 13.466 pulau yang telah diberi nama dan
didaftarkan ke PBB), memiliki 95.181 km garis pantai (terpanjang kedua
setelah Kanada), dan 75% wilayahnya berupa laut (5,8 juta km2) termasuk Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Sebagai catatan, Filipina sebagai negara
kepulauan terbesar kedua di dunia hanya memiliki 7.100 pulau (Aroyo, 2012).
Di wilayah pesisir dan laut itu terkandung kekayaan alam yang
sangat besar dan beragam, baik berupa sumber daya alam (SDA) terbarukan
(seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, dan
produk-produk bioteknologi); SDA tak terbarukan (seperti minyak dan gas bumi,
timah, bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya); energi kelautan (seperti
pasang-surut, gelombang, angin, dan ocean thermal energy conversion/OTEC); maupun
jasa-jasa lingkungan kelautan untuk pariwisata bahari, transportasi laut, dan
sumber keragaman hayati serta plasma nutfah.
Kekayaan SDA dan jasajasa lingkungan kelautan tersebut dapat
kita daya gunakan untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa melalui sedikitnya 11
sektor ekonomi kelautan: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budi daya, (3)
industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5)
pertambangan dan energi, (6) pariwisata bahari, (7) hutan mangrove, (8)
perhubungan laut, (9) sumber daya wilayah pulau-pulau kecil, (10) industri
dan jasa maritim, dan (11) SDA nonkonvensional.
Total nilai ekonomi dari kesebelas sektor ekonomi kelautan itu
diperkirakan mencapai USD1,2 triliun per tahun dan dapat menyediakan lapangan
kerja untuk 40 juta orang. Sampai sekarang potensi ekonomi yang luar biasa
besar ibarat “raksasa yang tertidur “ itu belum dimanfaatkan secara produktif
dan optimal. Kedua, secara historis sebelum penjajahan, melalui Kerajaan
Sriwijaya, Majapahit, dan sejumlah Kesultanan Islam, bangsa Indonesia dengan
kekuatan ekonomi, perdagangan, transportasi, dan hankam laut (sea power)-nya pernah berjaya, cukup
makmur, dan disegani masyarakat dunia kala itu dengan wilayah kekuasaan
hingga Campa (India), sebagian Siam (Thailand), dan Tiongkok.
Ketiga, sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia sekitar
200 juta jiwa, bangsa Indonesia memiliki landasan keyakinan (teologi) yang
kokoh untuk menjadi bangsa maritim yang maju, kuat, dan makmur. Jumlah kata
tentang laut disebutkan dalam Alquran sebanyak 32 kali, sedangkan banyak kata
terkait daratan hanya 13 kali. Ternyata 32 dibagi 45 itu sama dengan 71%,
sedangkan 13 dibagi 45 itu sama dengan 29%. Persis sama dengan fakta bahwa
luas laut dunia memang sekitar 71% dan luas daratan adalah 29% dari seluruh
permukaan bumi.
Ini pasti bukan suatu kebetulan, melainkan design dari Allah SWT
agar manusia lebih mendalami, mendayagunakan, dan mencintai lautan untuk
keperluan hidupnya. Sebagaimana firman-Nya dalam QS An-Nahl, ayat-14, yang
artinya: “Dan Dialah yang menundukkan
lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan daging yang segar (ikan dan seafood
) darinya, dan (dari lautan itu) kamu mengeluarkan perhiasan (mutiara dan
berkah lain) yang kamu gunakan. Kamu (juga) melihat perahu berlayar padanya,
dan agar kamu mencari sebagian karunia-Nya, dan agar kamu bersyukur“.
Pekerjaan Rumah Kelautan
Sayangnya, sejak masa penjajahan sampai sebelum berdiri
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), bangsa Indonesia melupakan jati
dirinya sebagai bangsa maritim terbesar di dunia. Sumber daya kelautan hanya
dipandang dengan “sebelah mata “. Kalaupun ada kegiatan pemanfaatan,
dilakukan secara kurang profesional dan ekstraktif, kurang mengindahkan aspek
kelestariannya.
Laut dipandang sebagai keranjang sampah dari beragam jenis
limbah baik yang berasal dari kegiatan manusia di darat maupun di laut.
Dukungan infrastruktur, permodalan, IPTEK, SDM, dan kelembagaan terhadap
bidang kelautan pada masa lalu sangat rendah. Karena itu, wajar bila pencapaian
hasil pembangunan kelautan pada masa lalu menyisakan begitu banyak pekerjaan
rumah. Saat ini kontribusi seluruh sektor kelautan terhadap PDB hanya sekitar
20%. Padahal negara-negara dengan potensi kekayaan laut yang lebih kecil
ketimbang Indonesia seperti Islandia, Norwegia, Spanyol, Jepang, Korea
Selatan, RRC, Selandia Baru, dan Thailand kontribusi bidang kelautannya
rata-rata sudah di atas 30% PDB.
Gara-gara kekuatan ekonomi, transportasi, dan hankam di laut
kita lemah, biaya logistik Indonesia menjadi yang termahal di dunia, mencapai
26% PDB. Padahal, negara-negara lain lebih rendah dari 15% PDBnya. Lebih dari
75% barang yang kita ekspor harus melalui Pelabuhan Singapura karena hampir
semua pelabuhan Indonesia belum jadi hub port yang memenuhi sejumlah
persyaratan internasional. Selain itu, dalam sistem rantai suplai dunia,
posisi Indonesia juga belum sebagai produsen dan pemasok barang (produk) yang
dibutuhkan masyarakat dunia, melainkan hanya sebagai konsumen (pasar)
berbagai barang dan produk dari bangsa-bangsa lain.
Poros Maritim
Kita bersyukur bahwa presiden dan wapres terpilih dalam Pilpres 9
Juli lalu, Bapak Ir.H. Joko Widodo dan Drs H Muhammad Jusuf Kalla memiliki
visi maritim yang sangat kuat dan jelas. Sebagaimana diungkapkan dalam
pidatonya di atas Kapal Pinisi di laut Teluk Jakarta seusai menerima
keputusan KPU yang menetapkan kemenangan dirinya sebagai presiden RI ke-7,
Jokowi bertekad menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang maju, kuat,
sejahtera, dan berdaulat sehingga dapat menjadi poros maritim dunia yang
mampu menebarkan kesejahteraan, keadilan, dan kedamaian secara berkelanjutan,
bukan saja bagi bangsa Indonesia, melainkan juga bagi seluruh warga dunia.
Untuk mewujudkan citacita luhur tersebut, kita harus membangun
kelautan berbasis inovasi yang inklusif dan ramah lingkungan, menyinergikan
pendekatan kesejahteraan (prosperity
approach) dan pendekatan hankam (security
and defence approach), dan mengembangkan kerja sama regional dan
internasional yang saling menguntungkan. Pembangunan kelautan ke depan harus
mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (rata-rata di atas 7% per
tahun), inklusif dan berkualitas (menciptakan banyak lapangan kerja yang
menyejahterakan rakyat secara berkeadilan), ramah lingkungan, serta
berkelanjutan.
Pada tataran praksis, semua usaha ekonomi dan pembangunan di
sebelas sektor ekonomi kelautan, baik yang sudah ada maupun yang baru akan
dikembangkan, harus menerapkan lima prinsip berikut. Pertama, setiap unit
bisnis kelautan diupayakan memenuhi skala ekonominya supaya keuntungan
(pendapatan) yang diperoleh dapat menyejahterakan pelaku usaha. Kedua,
menggunakan integrated supply chain managementsystem, dari hulu(produksi)
sampai ke hilir (pasar). Ketiga, menggunakan inovasi teknologi dalam setiap
mata rantai sistem bisnis kelautan.
Keempat, penguatan dan pengembangan industri hulu dan hilir,
terutama untuk sektor perikanan tangkap, perikanan budi daya, industri
bioteknologi kelautan, dan ESDM. Ini sangat krusial agar semua produk dan
jasa kelautan Indonesia bernilai tambah dan berdaya saing tinggi, lebih
banyak menyerap tenaga kerja, dan menghasilkan multiplier effects. Kelima,
mengaplikasikan kaidah pembangunan ekonomi ramah lingkungan dan
berkelanjutan.
Dengan menerapkan lima prinsip pembangunan tersebut, segenap
usaha individual dan kawasan industri kelautan yang ada (existing) perlu
direvitalisasi. Pada saat yang sama, klusterklusterindustriterpaduberbasis
kelautan, industri manufaktur, industri teknologi informasi, industri
kreatif, atau industri baru lain dengan pola kawasan ekonomi khusus (KEK)
atau pola lain yang sesuai mesti dikembangkan di wilayah pesisir dan pulau
kecil di sepanjang ALKI dan wilayah perbatasan.
Dengan demikian, akan terbangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi
(kemakmuran) baru yang tersebar secara proporsional di seluruh wilayah NKRI
yang berfungsi sebagai sabuk kesejahteraan (prosperity belt ) dan sekaligus
sebagai sabuk kedaulatan (sovereignty belt ). Untuk mendukung pembangunan
ekonomi kelautan semacam itu, infrastruktur dan konektivitas maritim (tol
laut) mestidiperbaikidandikembangkan, yang meliputi armada kapal pengangkut
barang maupun penumpang, pelabuhan, dan industri galangan dan perawatan
kapal.
Bankmaritimyangkhusus untuk membiayai pembangunan dan bisnis
kelautan harus dibentuk mulai awal tahun depan. Program pendidikan,
pelatihan, dan penyuluhan harus disempurnakan dan dikembangkan agar mampu
menyediakan sumber daya manusia (SDM) yang kompeten dan unggul di semua aspek
kelautan. Kegiatan penelitian dan pengembangan( R& D) kelautan mesti
ditingkatkan supaya kita mampu menghasilkan dan mengaplikasikan teknologi
karya bangsa sendiri sehingga daya saing dan kedaulatan bangsa semakin
meningkat dan kokoh.
Iklim investasi dan kemudahan berbisnis harus dibuat atraktif
dan kondusif. Kekuatan hankam laut dan budaya maritim harus terus
ditingkatkan. Dengan peta jalan pembangunan kelautan seperti di atas,
Indonesia tidak hanya bakal menjadi negara maritim yang besar, kuat, maju,
makmur, dan berdaulat, tetapi juga akan menjadi poros maritim dunia dalam
waktu tidak terlalu lama, pada 2025 insya Allah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar