Rabu, 06 Agustus 2014

Teologi Negara Maritim

                                           Teologi Negara Maritim

Rokhmin Dahuri  ;   Ketua Umum Gerakan Nelayan dan Tani Indonesia (GANTI)
KORAN SINDO, 04 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Ada tiga alasan utama mengapa Indonesia mestinya menjadi negara maritim yang maju, kuat, sejahtera, dan berdaulat. Pertama, fakta empiris bahwa Indonesia merupakan negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia yang tersusun atas 17.504 pulau (baru 13.466 pulau yang telah diberi nama dan didaftarkan ke PBB), memiliki 95.181 km garis pantai (terpanjang kedua setelah Kanada), dan 75% wilayahnya berupa laut (5,8 juta km2) termasuk Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Sebagai catatan, Filipina sebagai negara kepulauan terbesar kedua di dunia hanya memiliki 7.100 pulau (Aroyo, 2012).

Di wilayah pesisir dan laut itu terkandung kekayaan alam yang sangat besar dan beragam, baik berupa sumber daya alam (SDA) terbarukan (seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, dan produk-produk bioteknologi); SDA tak terbarukan (seperti minyak dan gas bumi, timah, bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya); energi kelautan (seperti pasang-surut, gelombang, angin, dan ocean thermal energy conversion/OTEC); maupun jasa-jasa lingkungan kelautan untuk pariwisata bahari, transportasi laut, dan sumber keragaman hayati serta plasma nutfah.

Kekayaan SDA dan jasajasa lingkungan kelautan tersebut dapat kita daya gunakan untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa melalui sedikitnya 11 sektor ekonomi kelautan: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budi daya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) pertambangan dan energi, (6) pariwisata bahari, (7) hutan mangrove, (8) perhubungan laut, (9) sumber daya wilayah pulau-pulau kecil, (10) industri dan jasa maritim, dan (11) SDA nonkonvensional.

Total nilai ekonomi dari kesebelas sektor ekonomi kelautan itu diperkirakan mencapai USD1,2 triliun per tahun dan dapat menyediakan lapangan kerja untuk 40 juta orang. Sampai sekarang potensi ekonomi yang luar biasa besar ibarat “raksasa yang tertidur “ itu belum dimanfaatkan secara produktif dan optimal. Kedua, secara historis sebelum penjajahan, melalui Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, dan sejumlah Kesultanan Islam, bangsa Indonesia dengan kekuatan ekonomi, perdagangan, transportasi, dan hankam laut (sea power)-nya pernah berjaya, cukup makmur, dan disegani masyarakat dunia kala itu dengan wilayah kekuasaan hingga Campa (India), sebagian Siam (Thailand), dan Tiongkok.

Ketiga, sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia sekitar 200 juta jiwa, bangsa Indonesia memiliki landasan keyakinan (teologi) yang kokoh untuk menjadi bangsa maritim yang maju, kuat, dan makmur. Jumlah kata tentang laut disebutkan dalam Alquran sebanyak 32 kali, sedangkan banyak kata terkait daratan hanya 13 kali. Ternyata 32 dibagi 45 itu sama dengan 71%, sedangkan 13 dibagi 45 itu sama dengan 29%. Persis sama dengan fakta bahwa luas laut dunia memang sekitar 71% dan luas daratan adalah 29% dari seluruh permukaan bumi.

Ini pasti bukan suatu kebetulan, melainkan design dari Allah SWT agar manusia lebih mendalami, mendayagunakan, dan mencintai lautan untuk keperluan hidupnya. Sebagaimana firman-Nya dalam QS An-Nahl, ayat-14, yang artinya: “Dan Dialah yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan daging yang segar (ikan dan seafood ) darinya, dan (dari lautan itu) kamu mengeluarkan perhiasan (mutiara dan berkah lain) yang kamu gunakan. Kamu (juga) melihat perahu berlayar padanya, dan agar kamu mencari sebagian karunia-Nya, dan agar kamu bersyukur“.

Pekerjaan Rumah Kelautan

Sayangnya, sejak masa penjajahan sampai sebelum berdiri Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), bangsa Indonesia melupakan jati dirinya sebagai bangsa maritim terbesar di dunia. Sumber daya kelautan hanya dipandang dengan “sebelah mata “. Kalaupun ada kegiatan pemanfaatan, dilakukan secara kurang profesional dan ekstraktif, kurang mengindahkan aspek kelestariannya.

Laut dipandang sebagai keranjang sampah dari beragam jenis limbah baik yang berasal dari kegiatan manusia di darat maupun di laut. Dukungan infrastruktur, permodalan, IPTEK, SDM, dan kelembagaan terhadap bidang kelautan pada masa lalu sangat rendah. Karena itu, wajar bila pencapaian hasil pembangunan kelautan pada masa lalu menyisakan begitu banyak pekerjaan rumah. Saat ini kontribusi seluruh sektor kelautan terhadap PDB hanya sekitar 20%. Padahal negara-negara dengan potensi kekayaan laut yang lebih kecil ketimbang Indonesia seperti Islandia, Norwegia, Spanyol, Jepang, Korea Selatan, RRC, Selandia Baru, dan Thailand kontribusi bidang kelautannya rata-rata sudah di atas 30% PDB.

Gara-gara kekuatan ekonomi, transportasi, dan hankam di laut kita lemah, biaya logistik Indonesia menjadi yang termahal di dunia, mencapai 26% PDB. Padahal, negara-negara lain lebih rendah dari 15% PDBnya. Lebih dari 75% barang yang kita ekspor harus melalui Pelabuhan Singapura karena hampir semua pelabuhan Indonesia belum jadi hub port yang memenuhi sejumlah persyaratan internasional. Selain itu, dalam sistem rantai suplai dunia, posisi Indonesia juga belum sebagai produsen dan pemasok barang (produk) yang dibutuhkan masyarakat dunia, melainkan hanya sebagai konsumen (pasar) berbagai barang dan produk dari bangsa-bangsa lain.

Poros Maritim

Kita bersyukur bahwa presiden dan wapres terpilih dalam Pilpres 9 Juli lalu, Bapak Ir.H. Joko Widodo dan Drs H Muhammad Jusuf Kalla memiliki visi maritim yang sangat kuat dan jelas. Sebagaimana diungkapkan dalam pidatonya di atas Kapal Pinisi di laut Teluk Jakarta seusai menerima keputusan KPU yang menetapkan kemenangan dirinya sebagai presiden RI ke-7, Jokowi bertekad menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang maju, kuat, sejahtera, dan berdaulat sehingga dapat menjadi poros maritim dunia yang mampu menebarkan kesejahteraan, keadilan, dan kedamaian secara berkelanjutan, bukan saja bagi bangsa Indonesia, melainkan juga bagi seluruh warga dunia.

Untuk mewujudkan citacita luhur tersebut, kita harus membangun kelautan berbasis inovasi yang inklusif dan ramah lingkungan, menyinergikan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) dan pendekatan hankam (security and defence approach), dan mengembangkan kerja sama regional dan internasional yang saling menguntungkan. Pembangunan kelautan ke depan harus mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (rata-rata di atas 7% per tahun), inklusif dan berkualitas (menciptakan banyak lapangan kerja yang menyejahterakan rakyat secara berkeadilan), ramah lingkungan, serta berkelanjutan.

Pada tataran praksis, semua usaha ekonomi dan pembangunan di sebelas sektor ekonomi kelautan, baik yang sudah ada maupun yang baru akan dikembangkan, harus menerapkan lima prinsip berikut. Pertama, setiap unit bisnis kelautan diupayakan memenuhi skala ekonominya supaya keuntungan (pendapatan) yang diperoleh dapat menyejahterakan pelaku usaha. Kedua, menggunakan integrated supply chain managementsystem, dari hulu(produksi) sampai ke hilir (pasar). Ketiga, menggunakan inovasi teknologi dalam setiap mata rantai sistem bisnis kelautan.

Keempat, penguatan dan pengembangan industri hulu dan hilir, terutama untuk sektor perikanan tangkap, perikanan budi daya, industri bioteknologi kelautan, dan ESDM. Ini sangat krusial agar semua produk dan jasa kelautan Indonesia bernilai tambah dan berdaya saing tinggi, lebih banyak menyerap tenaga kerja, dan menghasilkan multiplier effects. Kelima, mengaplikasikan kaidah pembangunan ekonomi ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Dengan menerapkan lima prinsip pembangunan tersebut, segenap usaha individual dan kawasan industri kelautan yang ada (existing) perlu direvitalisasi. Pada saat yang sama, klusterklusterindustriterpaduberbasis kelautan, industri manufaktur, industri teknologi informasi, industri kreatif, atau industri baru lain dengan pola kawasan ekonomi khusus (KEK) atau pola lain yang sesuai mesti dikembangkan di wilayah pesisir dan pulau kecil di sepanjang ALKI dan wilayah perbatasan.

Dengan demikian, akan terbangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi (kemakmuran) baru yang tersebar secara proporsional di seluruh wilayah NKRI yang berfungsi sebagai sabuk kesejahteraan (prosperity belt ) dan sekaligus sebagai sabuk kedaulatan (sovereignty belt ). Untuk mendukung pembangunan ekonomi kelautan semacam itu, infrastruktur dan konektivitas maritim (tol laut) mestidiperbaikidandikembangkan, yang meliputi armada kapal pengangkut barang maupun penumpang, pelabuhan, dan industri galangan dan perawatan kapal.

Bankmaritimyangkhusus untuk membiayai pembangunan dan bisnis kelautan harus dibentuk mulai awal tahun depan. Program pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan harus disempurnakan dan dikembangkan agar mampu menyediakan sumber daya manusia (SDM) yang kompeten dan unggul di semua aspek kelautan. Kegiatan penelitian dan pengembangan( R& D) kelautan mesti ditingkatkan supaya kita mampu menghasilkan dan mengaplikasikan teknologi karya bangsa sendiri sehingga daya saing dan kedaulatan bangsa semakin meningkat dan kokoh.

Iklim investasi dan kemudahan berbisnis harus dibuat atraktif dan kondusif. Kekuatan hankam laut dan budaya maritim harus terus ditingkatkan. Dengan peta jalan pembangunan kelautan seperti di atas, Indonesia tidak hanya bakal menjadi negara maritim yang besar, kuat, maju, makmur, dan berdaulat, tetapi juga akan menjadi poros maritim dunia dalam waktu tidak terlalu lama, pada 2025 insya Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar