Merdeka
dari Kapitalisme
Thomas Koten ;
Penulis, Direktur Social
Development Center
|
REPUBLIKA,
12 Agustus 2014
Negeri
ini dikenal di berbagai belahan dunia sebagai negeri yang sangat kaya akan
sumber daya alamnya. Secara geografis pun, negeri ini dikenal sangat indah.
Itulah kemudian, sang pujangga dari ranah Minang, Buya Hamka, melukiskannya
sebagai, "Sepotong surga yang ditempatkan Tuhan di bumi." Demikian
juga Koes Plus Bersaudara dalam syair lagunya mengibaratkan negeri ini
sebagai, "Negeri kolam susu, tongkat kayu pun jadi tanaman."
Di
atas kesadaran tentang realitas inilah para founding fathers kita membuat
konstitusi tentang cara pengelolaan negara yang pas untuk kesejahteraan rakyat, seperti tentang bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan
untuk kemakmuran rakyat. Dalam Pasal 33 Ayat 4 UUD'45 juga ditegaskan,
perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan.
Tujuannya
adalah, pertama, supaya para pemimpin bangsa dapat mengelola kekayaan alam
ini secara benar demi kesejahteraan seluruhnya, bukan untuk kepentingan
segelintir orang. Kedua, supaya pihak manapun tidak boleh memanfaatkan
kekayaan alam di negeri ini untuk kepentingannya sendiri.
Penjajahan kapitalisme
neoliberal
Hal
yang menjadi ironis pada saat Indonesia merayakan hari kemerdekaan yang ke-69
ini adalah bukan saja belum terciptanya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat
seluruhnya, melainkan kekayaan alam yang menjadi kekuatan bangsa itu semakin
digerogoti oleh pihak asing berbenderakan kapitalisme neoliberal. Pembangunan
ekonomi yang bersemangatkan demokrasi ekonomi yang berpedoman pada UUD'45
semakin diterjang globalisasi ekonomi berwajah neoliberal yang rakus dan
brutal.
Karena
itu, kini Indonesia semakin kehilangan kedaulatannya dalam mengurus negerinya
sendiri. Kehadiran pihak asing atas nama investasi semakin menggerogoti
sumber daya alam negeri ini. Kita pun hanya mengklaim isi bumi Indonesia
sebagai milik kita, tetapi faktanya bukan. Karena, semua itu sudah digadaikan
kepada para kapitalis atas nama investasi. Kekayaan alam di bumi pertiwi ini
digiring ke negara-negara kapitalis. Freeport dan Block Cepu adalah contoh
konkret bahwa bumi ini de jure milik kita, tetapi de facto milik
negara-negara kapitalis.
Kapitalisme
neoliberal adalah paham ekonomi yang mengangkat bendera dengan mengusung
konsep pasar bebas. Dari kebebasan mengaktualisasi potensi diri dan potensi
alam itulah diharapkan dapat tercipta kesejahteraan bagi semua. Akan tetapi,
paham ini melupakan sifat dasar manusia yang cenderung egoistik sehingga yang
terjadi adalah membuncahnya keserakahan yang kian menguras energi bumi
Indonesia.
Apakah
pemimpin kita terus terlena dalam situasi ini? Ingat, penjajahan ala
investasi saat ini begitu ganas, bahkan jauh lebih ganas daripada zaman
penjajahan dulu. Pada zaman penjajahan, Indonesia hanya dijajah oleh satu-dua
negara, tetapi kini dijajah oleh banyak negara kapitalis neoliberal sehingga
kerugian yang diderita Indonesia kini jauh lebih besar daripada zaman
penjajahan.
Ingat
juga bahwa bercokolnya kapitalisme neoliberal itu kian memperparah keadaan
Indonesia dengan terus menyuburkan berbagai bentuk korupsi di tataran elite
negeri. Karena, bercokolnya kapitalisme neoliberalisme disebabkan pula oleh
mentalitas korup yang tumbuh subur di kalangan elite negeri. Bukan tidak
mungkin masuknya dana investasi ke negeri ini dengan menguasai lahan-lahan
pertambangan, perkebunan, dan lain-lain tidak terlepas dari cara kontrak
kerja yang berbau amis suap dan korupsi antara pihak asing dan kaum elite
negeri.
Tugas pemimpin baru
Apa
pun alasannya, penguasaan kekayaan alam Indonesia oleh pihak asing harus
segera dihentikan. Penjajahan gaya baru ini harus diperangi. Segala bentuk
undang-undang hasil amendemen dan kontrak-kontrak karya dengan pihak asing
yang merugikan Indonesia dan menguntungkan pihak asing harus ditinjau lagi.
Demokrasi ekonomi yang diamanatkan UUD'45 sebelum amendemen harus
dikembangkan.
Perlu
dicatat, para korporat berwatak kapitalis neoliberal yang menanamkan
investasi besar-besaran di negeri ini dengan dalih ikut menyejahterakan
rakyat dengan terlibat dalam penciptaan lapangan kerja, tidak selamanya
benar. Seperti ditulis Adam Smith, korporasi yang berwatak kapitalisme tidak
bertujuan menciptakan lapangan kerja untuk kesejahteraan para pekerja karena
mereka mempekerjakan orang (semurah mungkin) demi mencetak keuntungan.
Itulah
tugas pemimpin baru untuk memerdekakan bangsa ini dari penjajahan gaya baru
ini. Hingga kini, belum ada pemimpin bangsa yang memiliki political will yang
benar-benar mengarusutamakan rakyat sehingga kesejahteraan rakyat pun masih
bagaikan mimpi besar yang belum terwujud. Yang terlihat, para pemimpin kian
makmur, sedangkan rakyat kian nestapa.
Dengan
demikian, bagi rakyat kecil, meski bangsa ini sudah merdeka dari kolonialisme
dengan telah memproklamasikan kemerdekaannya 69 tahun lalu, belum benar-benar
merasakan kemerdekaan yang esensial. Setiap kali pemimpin baru dilahirkan
lewat pilpres, harapan kemerdekaan yang esensial serta-merta membuncah di
hadapan rakyat, tetapi harapan itu kembali terkubur dan terus terkubur.
Untunglah
harapan tentang kemerdekaan yang esensial itu masih tersisa dalam genggaman
rakyat dan kembali digantungkan ke pundak pemimpin terpilih. Kalau pemimpin
baru ini pun kembali membawa kemerdekaan yang esensial bagi rakyat kecil,
dengan terus membiarkan bercokolnya penjajahan gaya baru oleh para kapitalis
neoliberal itu, rakyat akan kembali mencibir dan meninggalkannya, sambil
menunggu tibanya sang waktu untuk menghadirkan lagi pemimpin baru dambaan
rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar