Islamic
States Vs Islam Nusantara
Dion Maulana Prasetya ;
Peneliti Center for Middle
Eastern Studies UMM
|
REPUBLIKA,
12 Agustus 2014
Bersamaan
dengan isu panas sengketa pilpres di Mahkamah Konstitusi, kegaduhan muncul di
tengah-tengah masyarakat dengan maraknya berita mengenai penyebaran paham
ISIS (Islamic State of Iraq and Syria).
Awalnya aksi ISIS hanya dapat disaksikan di layar kaca karena terjadi di
wilayah negara Irak dan Suriah. Namun semenjak foto seseorang demonstran
mengibarkan bendera ISIS di acara kepedulian untuk Palestina beredar luas di
jejaring internet, publik mulai waspada mengenai keberadaan organisasi
tersebut di Indonesia.
Tulisan
ini tidak berusaha menganalisis asal-usul ISIS (di beberapa sumber disebutkan
merupakan bentukan Amerika Serikat) maupun kepentingan ISIS di Indonesia.
Tulisan ini juga bukan dimaksudkan untuk menjelaskan hubungan antara isu
sengketa pilpres dan merebaknya ISIS di Indonesia. Keduanya berada di luar
jangkauan penulis. Secara sederhana, penulis berusaha untuk memberikan
kontribusi atas upaya yang bisa diambil oleh pemerintah dan pihak-pihak
terkait dalam mengadang berkembangnya ideologi ISIS (dan ideologi-ideologi
radikal lainnya) di Indonesia.
Perang antarwacana
Penulis
bersama dengan mayoritas anak bangsa lainnya sepakat bahwa cara-cara koersif
semata tidak akan menyelesaikan permasalahan radikalisme sampai ke akarnya.
Bahkan tindakan preventif pun, seperti upaya deradikalisasi yang dilakukan
oleh BNPT, masih bisa dipertanyakan efektivitasnya. Upaya-upaya jangka pendek
tersebut, selain kurang efektif, juga bisa berdampak kontraproduktif. Satu
hal yang patut disadari adalah bahwa kita sedang berada di era perang antar
wacana. Di mana wacana hanya bisa dilawan dengan wacana.
Perang
antarwacana menemukan puncaknya di era teknologi, di mana arus informasi
bergerak begitu cepat dan tidak mengenal batas-batas geografis-teritorial.
Begitu cepatnya informasi berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dari
satu isu ke isu yang lain, menyisakan sedikit sekali waktu—atau bahkan tidak
sama sekali—bagi masyarakat untuk berpikir, mencerna, dan memverifikasi
kebenaran informasi yang diterimanya. Hal ini yang menyebabkan begitu
mudahnya ideologi radikal menyebar dan diyakini kebenarannya oleh sebagian
golongan masyarakat. Terutama mereka yang tidak memiliki budaya baca kuat,
tidak terbiasa memverifikasi informasi, dan mereka yang terputus dari akar
sejarah.
Sebagai
contoh, sehari pascapenangkapan terduga teroris di Ngawi, penulis menemukan
wacana tandingan atas tindakan cepat Kepolisian Indonesia dalam menjawab
keresahan masyarakat atas berkembangnya paham ISIS di Indonesia yang beredar
di jejaring sosial. Wacana tandingan tersebut adalah wacana konspirasi
pengalihan isu (baik isu Palestina dan juga pilpres) yang dilakukan oleh
pihak intelijen, dengan mengorbankan (baca: menangkap) tokoh-tokoh pejuang
syariat Islam. Wacana ini sulit untuk diverifikasi kebenarannya dan
jelas-jelas terputus dari analisis sejarah perkembangan Islam di nusantara.
Namun, karena berpanji identitas-sektarian, masyarakat tertentu dengan mudah
menerimanya sebagai kebenaran, tanpa mempertimbangkan validitas data dan
perjuangan para pendakwah dalam mengislamkan Nusantara di masa lalu.
Sejarah Islam
nusantara
Bangsa
ini selalu gagap jika dihadapkan dengan sejarahnya sendiri, terutama
pasca-Orde Baru. Selain karena proyek besar pengaburan sejarah nusantara oleh
penguasa kolonial selama ratusan tahun, para sarjana—terutama di bidang ilmu
sosial, politik, dan sejarah—nampaknya masih enggan menggarap sejarah
nusantara. Pemerintah juga seakan tidak peka terhadap urgensi pengembangan
studi sejarah nusantara. Dalam konteks sejarah penyebaran Islam di nusantara
saja, contohnya, masyarakat masih dibingungkan dengan keberadaan dan peran
Wali Songo.
Beruntung
Indonesia masih memiliki para intelektual Muslim yang paham betul akan
pentingnya sejarah penyebaran Islam di nusantara, terutama mengenai peran
Wali Songo. Dari kalangan Nahdlatul Ulama, buku Atlas Walisongo karya Agus Sunyoto seakan menjadi secercah cahaya
studi sejarah Islam nusantara. Buku yang dinobatkan sebagai "Buku Terbaik Nonfiksi Dewasa 2014"
tersebut menjawab keraguan masyarakat
akan keabsahan peran Wali Songo di nusantara. Dari kalangan Muhammadiyah,
buku-buku karangan Abdul Munir Mulkan, utamanya mengenai Syekh Siti Jenar,
juga menjadi kontribusi besar dalam pengembangan khasanah Islam nusantara.
Berdasarkan
penelitian mendalam Agus Sunyoto, upaya untuk mengislamkan nusantara sudah
dimulai sejak abad ke-7 Masehi, namun selalu mengalami kegagalan. Hal itu
berlangsung selama 800 tahun. Baru pada masa Wali Songo, Islam dapat dianut
secara massal di bumi nusantara. Kunci sukses Wali Songo dalam menyebarkan
ajaran Rasul adalah metodenya yang menyelaraskan Islam dengan kultur lokal,
tentunya tanpa harus mengorbankan aspek akidah.
Dua
organisasi Islam terbesar di Indonesia tersebut, Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah, tampaknya paham mengenai fakta tersebut. Itulah sebabnya konsep
NKRI dengan Pancasila sebagai landasannya, menjadi hal yang final bagi NU dan
Muhammadiyah. Isi menjadi lebih penting daripada kemasan.
Perang
antarwacana ini, khususnya yang berkaitan dengan isu agama dan berpotensi
memecah belah bangsa, harus segera direspons secara serius, baik oleh
pemerintah maupun para intelektual. Tidak hanya respons yang berorientasi
jangka pendek, pemerintah harus segera memikirkan grand design kebijakan
mengenai penulisan sejarah nusantara, utamanya berkaitan dengan sejarah penyebaran
Islam, beserta penerapannya dalam kurikulum pendidikan. Di sisi lain, para
sarjana ilmu sosial, politik, dan sejarah, juga diharapkan perannya dalam
menggali khasanah sejarah nusantara.
Terlepas
dari kontroversi asal-usul ISIS, kita wajib waspada terhadap ideologi apa pun
yang mengancam keutuhan NKRI. Negara ini dibangun di atas pengorbanan para
pejuang, termasuk para tokoh agama, juga para santri, dalam melawan segala
macam bentuk penjajahan dan pembodohan. Diperlukan peran semua pihak agar
anak cucu kita kelak tidak mengenal NKRI sebagai suatu negara yang dulu
pernah ada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar