Selasa, 26 Agustus 2014

(Dis)fungsi Sosial Pendidikan Nasional

(Dis)fungsi Sosial Pendidikan Nasional

JC Pramudia Natal  ;   Pendidik dan Pemerhati Pendidikan
SATUHARAPAN.COM, 25 Agustus 2014
                                                


Dimensi sosial memainkan peranan penting di dalam perkembangan peserta didik. Dari Vygotsky hingga David Perkins, para filsuf dan ahli pendidikan menekankan bahwa praktik pendidikan yang melibatkan fungsi sosial peserta didik berdampak positif bagi peserta didik, secara kognitif dan terutama secara psikologi. Ironis, justru di negara yang mengagung-agungkan budaya toleransi, tenggang rasa, dan terutama gotong royong, pendidikan dicerabut dari fungsi sosialnya dan didegradasikan serendah-rendahnya ke taraf homo homini lupus, baik dalam aspek kurikulum atau dalam aspek lingkungan pengajaran dan pembelajaran.

Sekolah, yang seharusnya menjadi tempat pengembangan akal budi nurani, jatuh menjadi ajang perang kepentingan antara pemerintah dan manajemen sekolah sebagai perumus kebijakan di satu sisi dan orang tua murid sebagai penanggung jawab utama peserta didik. Di antara kedua pihak tersebut, peserta didik dengan segala potensi dan motivasi mereka mengikuti ke mana arus lebih kuat menghanyutkan. Di sekolah peserta didik dipaksa memeras otak dan melatih diri jauh melebihi beban ideal kognitif-psikologi mereka dengan bantuan tenaga yang tidak kompeten, di rumah peserta didik dicekcoki dengan ajaran dan norma yang pantang mereka bantah, bahkan dipertanyakan 

Makhluk sosial seperti apa yang kita harapkan lahir dari situasi kondisi seperti ini?



Dari Komunitas Sosial menjadi Gerombolan Serigala

Salah satu standar yang digunakan Vygotsky untuk menentukan bahwa seorang peserta didik memahami materi ajar adalah ketika dia mampu mengajari rekan belajarnya mengenai materi tersebut. Hal ini tidak berarti bahwa peserta didik tersebut sudah tidak perlu belajar, namun dia sudah menguasai materi ajar tingkat tertentu dibandingkan rekan lainnya yang mungkin masih berkutat dengan tingkat pelatihan yang lebih mudah.

Situasi kelas dengan variasi kemampuan seperti ini adalah keadaan lumrah di sebagian besar sekolah di dunia (bahkan di sekolah atau lembaga pendidikan yang peserta didiknya melalui ujian saringan masuk yang ketat). Dengan demikian seyogyanya ruang kelas adalah sebuah lokakarya kerja kelompok dengan tata kelompok yang mencampurkan antara peserta didik berpemahaman mendalam dengan peserta didik berpengetahuan awal.

Sayangnya aktivitas kelas juga ditentukan oleh tujuan yang harus dicapai peserta didik, pengajar, dan sekolah. Tujuan pemahaman materi pelajaran memberi ruang gerak guru untuk membebaskan kreativitas dan kolaborasi peserta didik, namun tujuan pencapaian nilai tinggi di dalam ujian berstandar menuntut hal lain.  Di sini ruang gerak guru beserta kreativitas dan kolaborasi peserta didik dibatasi hanya sebatas mencapai nilai 100. Kondisi ini yang menggelayuti Indonesia.

Kurikulum Indonesia mengenal ujian berstandar nasional atau Ujian Nasional (UN) bagi peserta didik setingkat SMP dan SMU. Menurut UU UN ini seharusnya menjadi ajang evaluasi peserta didik, guru, beserta sekolah pelaksana. Namun pemerintah memberi embel-embel lain bagi ujian ini dengan masuknya nilai UN sebagai komponen penentu kelulusan peserta didik. Tanpa perannya sebagai komponen kelulusan UN sudah menjadi beban tersendiri bagi sekolah-sekolah dengan peran evaluatifnya yang memaksa sekolah untuk memastikan peserta didik lulus dengan nilai memuaskan sehingga sekolah juga mendapatkan penilaian yang memuaskan dari pemerintah. Hal ini diperparah dengan masuknya UN sebagai komponen kelulusan, sekolah seolah-seolah memakaikan kacamata kuda pencapaian lulus UN sebagai penentu utama aktivitas dan keberhasilan belajar siswa.

Konsekuensi dari represi kurikulum ini adalah guru dan siswa melahirkan kolaborasi dalam bentuk lain. Bocoran jawaban, pesan singkat berantai mengenai jawaban, diktasi jawaban oleh guru, adalah sebuah kreasi sampingan dari UN yang mematikan aktivitas sosial pembelajaran di kelas. Alih-alih menjadi laboratorium lokakarya sosial yang melatih kemampuan empati sosial murid melalui kolaborasi ilmiah, sekolah justru menjadi sebuah sarang pemloncoan gerombolan-gerombolan serigala yang menghalalkan segala cara demi memastikan mangsa utama teraih, lulus UN 100%. Toh, di sekolah yang mengutamakan kejujuran dan berhasil menyelamatkan moral segenap instrument sekolah dengan tidak mementingkan lulus 100%, perkembangan kreativitas kognitif peserta didik dan pengajar sudah ditumbalkan demi menghapalkan apa jawaban yang benar.

Hantu itu Bernama Budaya Nilai

Belum genap 100 tahun ketika Sutan Takdir Alisjahbana menyerukan bahwa bangsa Indonesia harus meninggalkan segala tata-adat-nilai Nusantara yang kuno dan berpaling kepada nilai-nilai (yang disebut) barat yang (kala itu dinilai) modern. Kini di masa pendidikan mulai berpaling dari ranah pelatihan kognitif kepada pembangunan karakter kenangan akan seruan STA tersebut menyeruak kembali. Tentu saja kenangan tersebut menyeruak dalam bingkai lebih kritis akan nilai-nilai yang hendak diacu.

STA menyarankan supaya Indonesia mengacu kepada nilai-nilai Barat, yang nilai-nilai tersebut juga tidak lepas dari kritikan. Dengan berfokus kepada pendidikan, Sir Ken Robinson (reformator pendidikan Inggris Raya) dalam kuliahnya di TED, mendekonstruksi bagaimana pendidikan yang dianggap modern justru dibangun dengan fondasi nilai-nilai kuno revolusi Industri. Bel masuk, sistem angkatan/kelas, berbaris rapi sebelum masuk, penyeragaman pakaian, bahkan hingga sistem nilai numerikal beserta kastanisasi antara bidang matematika-eksakta dengan sosial-budaya, itu semua adalah buah tangan revolusi industri terhadap pendidikan dengan karakternya yang mendudukkan buruh operasional di puncak kebutuhan mata pencaharian. Perkembangan teknologi dan peradaban abad 21 justru menunjukkan pergeseran yang menunjukkan bahwa dunia lebih membutuhkan seorang kolaborator yang kreatif, inovatif, solutif, sosial, yang fasih dengan tataran operasional namun dewasa di dalam tataran konseptual.

Pergeseran budaya nilai tersebut menghasilkan rantai efek terhadap nilai-nilai kekeluargaan. Kebutuhan akan manusia yang dewasa dan adaptif mengakibatkan keluarga barat memulai proses pendewasaan sejak dini. Keluarga-keluarga dengan ayah-ibu yang berpendidikan tinggi umumnya cenderung mendidik anaknya dengan keseimbangan antara disiplin dan kasih sayang sejak usia dini. Adalah wajar untuk melihat anak-anak di bawah usia satu tahun berenang, merangkak  di alam bebas dalam awasan orang tua mereka. Di usia sekolah menengah, anak dilibatkan dalam dialog dan terutama didengarkan pendapatnya mengenai hal-hal keseharian. Menginjak sekolah menengah atas anak-anak tersebut sudah mampu memiliki program hidup mereka sendiri. Dalam seluruh perkembangannya anak--anak memiliki ruang eksplorasi luas sembari dipenuhi kebutuhannya akan rasa aman oleh orang tua mereka.

Hal yang cukup kontras terjadi terhadap orang tua Indonesia. Indonesia atau Nusantara tumbuh di dalam alam mitologis yang kuat. Berbagai studi, terutama terhadap masyarakat Jawa sebagai mayoritas masyarakat Nusantara, menunjukkan tendensi masyarakat Indonesia untuk meninabobokan anaknya (Hildred GeertzKeluarga Jawa, Clifford GeertzKebudayaan Jawa). Anak tidak diperkenankan menginjak tanah sampai usia tertentu, anak tidak diperkenankan lama-lama menangis atau dalam situasi tertekan, anak hampir selalu harus berada di dalam gendongan, tangan manis X tangan pahit (jika ada), bahkan anak dianggap belum manusia/durung manungsa hingga usia tertentu (Franz Magnis-Suseno – Kebudayaan Jawa). Dengan keadaan mayoritas orang tua Indonesia saat ini adalah orang tua produktif (ayah-ibu bekerja) anak-anak diasuh oleh pengasuh eksternal atau nenek-kakek yang jauh lebih kuat dalam memeluk nilai-nilai lama di atas. Akibatnya Hingga bangku SMU anak acap tidak memiliki kepekaan akan fase yang mereka alami, karena keputusan mengenai hidup mereka sudah dibuat oleh orang tua. Tidak ada generasi muda di masyarakat Indonesia, yang ada adalah hegemoni masa lalu.
     
Gegar Sosial Budaya

Dalam reaksinya terhadap kontroversi pelaksanaan UN, wagub DKI Jakarta Basuki Tjahja, berkomentar pedas “Apakah lulus UN memastikan bahwa kamu menjadi seseorang yang berkarakter?” Jawaban terhadap pertanyaan ini menjadi lebih rumit berkaca dari situasi yang sudah digambarkan penulis di atas.

Dunia pendidikan Indonesia, terutama bagi guru dan murid, saat ini terhimpit dan terombang-ambing dua buah nilai budaya agung yang sudah berakar kuat. Pemerintah melalui DikNas dan sekolah memaksakan budaya oportunis kepada peserta didik, sementara di rumah peserta didik dicekoki dengan tata-adat-nilai yang membuai manja mereka. Sebuah impian akan generasi muda Indonesia berkarakter dewasa dan mandiri masih jauh dari panggang berkaca dari situasi ini. Bahkan lebih kritis, seyogyanya kita mempertimbangkan kesehatan sosial kita, terutama di dalam ranah pendidikan generasi muda.

Sejauh tulisan ini tidak ada solusi baru yang ditawarkan, hanya secercah lilin untuk menerangi kegelapan permasalahan sehingga mereka, praktisi pendidikan (pendidik dan peserta didik), memahami tantangan apa yang harus mereka lalui demi mencapai cita-cita lulus pendidikan nasional, dan terutama hidup bersosial di, Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar