(Dis)fungsi
Sosial Pendidikan Nasional
JC Pramudia Natal ; Pendidik dan Pemerhati
Pendidikan
|
SATUHARAPAN.COM,
25 Agustus 2014
Dimensi sosial memainkan peranan penting di
dalam perkembangan peserta didik. Dari Vygotsky hingga David Perkins, para
filsuf dan ahli pendidikan menekankan bahwa praktik pendidikan yang
melibatkan fungsi sosial peserta didik berdampak positif bagi peserta didik,
secara kognitif dan terutama secara psikologi. Ironis, justru di negara yang
mengagung-agungkan budaya toleransi, tenggang rasa, dan terutama gotong
royong, pendidikan dicerabut dari fungsi sosialnya dan didegradasikan
serendah-rendahnya ke taraf homo homini lupus, baik dalam aspek kurikulum atau
dalam aspek lingkungan pengajaran dan pembelajaran.
Sekolah, yang seharusnya menjadi tempat
pengembangan akal budi nurani, jatuh menjadi ajang perang kepentingan antara
pemerintah dan manajemen sekolah sebagai perumus kebijakan di satu sisi dan
orang tua murid sebagai penanggung jawab utama peserta didik. Di antara kedua
pihak tersebut, peserta didik dengan segala potensi dan motivasi mereka
mengikuti ke mana arus lebih kuat menghanyutkan. Di sekolah peserta didik
dipaksa memeras otak dan melatih diri jauh melebihi beban ideal
kognitif-psikologi mereka dengan bantuan tenaga yang tidak kompeten, di rumah
peserta didik dicekcoki dengan ajaran dan norma yang pantang mereka bantah,
bahkan dipertanyakan
Makhluk sosial seperti apa yang kita harapkan
lahir dari situasi kondisi seperti ini?
Dari Komunitas Sosial
menjadi Gerombolan Serigala
Salah satu standar yang digunakan Vygotsky
untuk menentukan bahwa seorang peserta didik memahami materi ajar adalah
ketika dia mampu mengajari rekan belajarnya mengenai materi tersebut. Hal ini
tidak berarti bahwa peserta didik tersebut sudah tidak perlu belajar, namun
dia sudah menguasai materi ajar tingkat tertentu dibandingkan rekan lainnya
yang mungkin masih berkutat dengan tingkat pelatihan yang lebih mudah.
Situasi kelas dengan variasi kemampuan seperti
ini adalah keadaan lumrah di sebagian besar sekolah di dunia (bahkan di
sekolah atau lembaga pendidikan yang peserta didiknya melalui ujian saringan
masuk yang ketat). Dengan demikian seyogyanya ruang kelas adalah sebuah
lokakarya kerja kelompok dengan tata kelompok yang mencampurkan antara
peserta didik berpemahaman mendalam dengan peserta didik berpengetahuan awal.
Sayangnya aktivitas kelas juga ditentukan oleh
tujuan yang harus dicapai peserta didik, pengajar, dan sekolah. Tujuan
pemahaman materi pelajaran memberi ruang gerak guru untuk membebaskan
kreativitas dan kolaborasi peserta didik, namun tujuan pencapaian nilai
tinggi di dalam ujian berstandar menuntut hal lain. Di sini ruang gerak guru beserta
kreativitas dan kolaborasi peserta didik dibatasi hanya sebatas mencapai
nilai 100. Kondisi ini yang menggelayuti Indonesia.
Kurikulum Indonesia mengenal ujian berstandar
nasional atau Ujian Nasional (UN) bagi peserta didik setingkat SMP dan SMU.
Menurut UU UN ini seharusnya menjadi ajang evaluasi peserta didik, guru,
beserta sekolah pelaksana. Namun pemerintah memberi embel-embel lain bagi
ujian ini dengan masuknya nilai UN sebagai komponen penentu kelulusan peserta
didik. Tanpa perannya sebagai komponen kelulusan UN sudah menjadi beban
tersendiri bagi sekolah-sekolah dengan peran evaluatifnya yang memaksa
sekolah untuk memastikan peserta didik lulus dengan nilai memuaskan sehingga
sekolah juga mendapatkan penilaian yang memuaskan dari pemerintah. Hal ini
diperparah dengan masuknya UN sebagai komponen kelulusan, sekolah
seolah-seolah memakaikan kacamata kuda pencapaian lulus UN sebagai penentu
utama aktivitas dan keberhasilan belajar siswa.
Konsekuensi dari represi kurikulum ini adalah
guru dan siswa melahirkan kolaborasi dalam bentuk lain. Bocoran jawaban,
pesan singkat berantai mengenai jawaban, diktasi jawaban oleh guru, adalah
sebuah kreasi sampingan dari UN yang mematikan aktivitas sosial pembelajaran
di kelas. Alih-alih menjadi laboratorium lokakarya sosial yang melatih
kemampuan empati sosial murid melalui kolaborasi ilmiah, sekolah justru
menjadi sebuah sarang pemloncoan gerombolan-gerombolan serigala yang
menghalalkan segala cara demi memastikan mangsa utama teraih, lulus UN 100%.
Toh, di sekolah yang mengutamakan kejujuran dan berhasil menyelamatkan moral
segenap instrument sekolah dengan tidak mementingkan lulus 100%, perkembangan
kreativitas kognitif peserta didik dan pengajar sudah ditumbalkan demi
menghapalkan apa jawaban yang benar.
Hantu itu Bernama
Budaya Nilai
Belum genap 100 tahun ketika Sutan Takdir
Alisjahbana menyerukan bahwa bangsa Indonesia harus meninggalkan segala
tata-adat-nilai Nusantara yang kuno dan berpaling kepada nilai-nilai (yang
disebut) barat yang (kala itu dinilai) modern. Kini di masa pendidikan mulai
berpaling dari ranah pelatihan kognitif kepada pembangunan karakter kenangan
akan seruan STA tersebut menyeruak kembali. Tentu saja kenangan tersebut
menyeruak dalam bingkai lebih kritis akan nilai-nilai yang hendak diacu.
STA menyarankan supaya Indonesia mengacu
kepada nilai-nilai Barat, yang nilai-nilai tersebut juga tidak lepas dari
kritikan. Dengan berfokus kepada pendidikan, Sir Ken Robinson (reformator
pendidikan Inggris Raya) dalam kuliahnya di TED, mendekonstruksi bagaimana
pendidikan yang dianggap modern justru dibangun dengan fondasi nilai-nilai
kuno revolusi Industri. Bel masuk, sistem angkatan/kelas, berbaris rapi
sebelum masuk, penyeragaman pakaian, bahkan hingga sistem nilai numerikal
beserta kastanisasi antara bidang matematika-eksakta dengan sosial-budaya,
itu semua adalah buah tangan revolusi industri terhadap pendidikan dengan
karakternya yang mendudukkan buruh operasional di puncak kebutuhan mata
pencaharian. Perkembangan teknologi dan peradaban abad 21 justru menunjukkan
pergeseran yang menunjukkan bahwa dunia lebih membutuhkan seorang kolaborator
yang kreatif, inovatif, solutif, sosial, yang fasih dengan tataran
operasional namun dewasa di dalam tataran konseptual.
Pergeseran budaya nilai tersebut menghasilkan
rantai efek terhadap nilai-nilai kekeluargaan. Kebutuhan akan manusia yang
dewasa dan adaptif mengakibatkan keluarga barat memulai proses pendewasaan
sejak dini. Keluarga-keluarga dengan ayah-ibu yang berpendidikan tinggi
umumnya cenderung mendidik anaknya dengan keseimbangan antara disiplin dan
kasih sayang sejak usia dini. Adalah wajar untuk melihat anak-anak di bawah
usia satu tahun berenang, merangkak di
alam bebas dalam awasan orang tua mereka. Di usia sekolah menengah, anak
dilibatkan dalam dialog dan terutama didengarkan pendapatnya mengenai hal-hal
keseharian. Menginjak sekolah menengah atas anak-anak tersebut sudah mampu
memiliki program hidup mereka sendiri. Dalam seluruh perkembangannya
anak--anak memiliki ruang eksplorasi luas sembari dipenuhi kebutuhannya akan
rasa aman oleh orang tua mereka.
Hal yang cukup kontras terjadi terhadap orang
tua Indonesia. Indonesia atau Nusantara tumbuh di dalam alam mitologis yang
kuat. Berbagai studi, terutama terhadap masyarakat Jawa sebagai mayoritas
masyarakat Nusantara, menunjukkan tendensi masyarakat Indonesia untuk
meninabobokan anaknya (Hildred Geertz
– Keluarga Jawa, Clifford Geertz – Kebudayaan Jawa). Anak tidak diperkenankan menginjak tanah sampai
usia tertentu, anak tidak diperkenankan lama-lama menangis atau dalam situasi
tertekan, anak hampir selalu harus berada di dalam gendongan, tangan manis X
tangan pahit (jika ada), bahkan anak dianggap belum manusia/durung manungsa
hingga usia tertentu (Franz
Magnis-Suseno – Kebudayaan Jawa). Dengan keadaan mayoritas orang tua
Indonesia saat ini adalah orang tua produktif (ayah-ibu bekerja) anak-anak
diasuh oleh pengasuh eksternal atau nenek-kakek yang jauh lebih kuat dalam
memeluk nilai-nilai lama di atas. Akibatnya Hingga bangku SMU anak acap tidak
memiliki kepekaan akan fase yang mereka alami, karena keputusan mengenai
hidup mereka sudah dibuat oleh orang tua. Tidak ada generasi muda di
masyarakat Indonesia, yang ada adalah hegemoni masa lalu.
Gegar Sosial Budaya
Dalam reaksinya terhadap kontroversi
pelaksanaan UN, wagub DKI Jakarta Basuki Tjahja, berkomentar pedas “Apakah
lulus UN memastikan bahwa kamu menjadi seseorang yang berkarakter?” Jawaban
terhadap pertanyaan ini menjadi lebih rumit berkaca dari situasi yang sudah
digambarkan penulis di atas.
Dunia pendidikan Indonesia, terutama bagi guru
dan murid, saat ini terhimpit dan terombang-ambing dua buah nilai budaya
agung yang sudah berakar kuat. Pemerintah melalui DikNas dan sekolah
memaksakan budaya oportunis kepada peserta didik, sementara di rumah peserta
didik dicekoki dengan tata-adat-nilai yang membuai manja mereka. Sebuah
impian akan generasi muda Indonesia berkarakter dewasa dan mandiri masih jauh
dari panggang berkaca dari situasi ini. Bahkan lebih kritis, seyogyanya kita
mempertimbangkan kesehatan sosial kita, terutama di dalam ranah pendidikan
generasi muda.
Sejauh tulisan ini tidak ada solusi baru yang
ditawarkan, hanya secercah lilin untuk menerangi kegelapan permasalahan
sehingga mereka, praktisi pendidikan (pendidik dan peserta didik), memahami
tantangan apa yang harus mereka lalui demi mencapai cita-cita lulus
pendidikan nasional, dan terutama hidup bersosial di, Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar