Menyelamatkan
TKW Kita
Ahmad Sahidah ;
Dosen Filsafat dan Etika
di Universitas Utara Malaysia
|
SUARA
MERDEKA, 11 Agustus 2014
PENGUNGKAPAN kasus pemerasan terhadap tenaga kerja Indonesia
(TKI) di Bandara Soekarno-Hatta mengejutkan banyak orang. Andai Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) tak bergerak, mungkin praktik ini akan terus
berlangsung.
Kasus itu bahkan menampilkan fakta baru bahwa Badan Nasional
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) yang semestinya
melindungi buruh migran justru hanya sibuk mengurus kartu tenaga kerja luar
negeri (KTKLN). Kesaksian Mutmainnah, bekas TKW di Taiwan dan Malaysia,
memperlihatkan kebobrokan petugas. Bagaimanapun, peran LSM, seperti Migrant Care, sangat penting untuk
mendorong pemerintah bekerja keras agar tidak ada lagi TKW diperas di
bandara.
Setelah sekian tahun menunggu, praktik pemerasan diungkap KPK.
Tapi di tengah pengusutan tindak rasuah, polisi membebaskan 18 orang yang
diduga memeras pahlawan devisa. Bukti tak cukup, dalihnya. Karena itu,
kesaksian bekas pahlawan devisa diharapkan bisa menguak kejahatan kemanusiaan
ini. Dengan pemaparan foto-foto tersangka, buruh migran bisa kembali
mengenali mereka yang mererasnya.
Sejatinya, pemerintah telah berusaha membela warga yang bekerja
di luar negeri. Kasus yang menimpa Winfaidah, TKW di Malaysia, mendapatkan
perhatian SBY dengan menelepon korban. Konjen Chilman Arisman juga
mendampingi korban hingga akhirnya majikannya dihukum 8 tahun. Berbeda dari
kasus Nirmala Bonat yang butuh beberapa tahun untuk mendapatkan keputusan
pengadilan, Muniandy, majikan Winfaidah, segera diadili tak lama setelah
ditangkap. Lagi-lagi, pembelaan terhadap mereka tak mudah dan melalui jalan
berliku.
Bagaimana tindakan serupa untuk korban di dalam negeri?
Penghentian pengiriman TKW 2 tahun lalu hakikatnya merupakan respons
pemerintah terkait banyaknya TKW yang menghadapi masalah, seperti gaji tak
dibayar, penyiksaan, hingga pemerkosaan. Meskipun setelah dua tahun
moratorium dicabut, pengiriman TKI sektor penata laksana rumah tangga
(istilah penghalus untuk TKW) tidak lagi mudah. Pemerintah telah meneken MoU
dengan negara penerima untuk memastikan pekerja mendapatkan hak-haknya dan
perlindungan.
Mungkin di atas kertas semua bisa diatur dan pekerja tidak akan
dihadapkan dengan masalah, namun kenyataannya pahit. Kita bisa bersikap tegas
terhadap negara lain, namun membiarkan pemerasan di dalam negeri ketika
begitu banyak korban justru berurusan dengan lembaga yang semestinya
melindungi.
Demikian pula, mengingat kita mempunyai ratusan ribuan TKW di
Malaysia, rumah perlindungan (selter) Konjen RI di Jalan Burmah Pulau Pinang
tidak pernah sepi dari TKWyang bermasalah dengan majikan. Ruangan yang tidak
seberapa luas di belakang kantor wakil kita itu didiami oleh hampir 100-an
orang. Apabila 1-2 orang dipulangkan ke Indonesia setelah kasusnya selesai, 2
TKW lain datang untuk mengadukan nasib malang mereka.
Cerita Lain
Saya pernah mengisi pengajian di tengah mereka. Jelas, mereka
hanya ingin pulang ke kampung halaman, tidak ingin berlama-lama di
penampungan. Ironisnya, di negeri sendiri, kita tak mempunyai rumah
perlindungan bagi pekerja perempuan yang dianiaya di negeri sendiri.
Sebenarnya, langkah BNP2TKI menghentikan pengiriman PLRT ke Malaysia sudah
tepat.
Selanjutnya, Kemenakertrans tidak lagi membuka peluang warga
kita bekerja ke luar negeri di bidang pekerjaan domestik. Malah pekerja
perempuan di sektor lain juga perlu ditimbang untuk dihentikan. Semua pihak
harus memikirkan pemulangan ratusan ribu TKW, baik legal maupun ilegal.
Tiga tahun bukan waktu singkat untuk memastikan mereka bisa
pulang dengan tenang. Lalu bagaimana dengan perlindungan pekerja perempuan di
negeri sendiri? Di tengah cerita pilu pekerja perempuan, kita perlu menengok
kisah manis. Misalnya, perempuan berinisial I, yang bekerja ke Malaysia
dengan modal nekat. Tanpa dokumen, ia hanya berbekal alamat kakaknya di
sebuah rumah susun, bertetangga dengan kami, di Pulau Pinang.
Untungnya, ia selamat sampai di Pulau Mutiara dan memilih
bekerja secara ilegal sebagai petugas kebersihan apartemen dengan gaji RM 500
per bulan. Dengan penghasilan tak besar itu, ibu dua anak tersebut mesti
membayar sewa rumah, rekening listrik dan air. Betapa TKW kita tak mudah
mengumpulkan ringgit untuk dikirim ke kampung halaman. Karena itu, upaya KPK
menggandeng Migrant Care dalam
melindungi TKI bisa menjadi upaya menyelamatkan mereka dari tangah-tangah jahat.
Sekarang perempuan asal Kebumen tersebut bekerja di pasaraya. Ia
tidak lagi merasa ketakutan karena telah mengantongi permit (izin bekerja)
setelah pemerintah Malaysia melaksanakan program pemutihan. Berkat kejujuran
dan kerajinannya, majikan yang berdarah Tionghoa memberikan kepercayaan mengelola
warung minuman, tidak hanya mengurus uang tapi juga berbelanja bahan ke
pasar.
Malah, kini ia mengajak suami untuk bekerja di tempat sama dan
menyewa rumah berkamar tiga, berbagi dengan dua keluarga Indonesia lain. Pada
akhirnya, dilema TKW kita perlu segera diurai dengan membuka lapangan kerja
di negeri sendiri. Tentu, dalam proses pemulangan mereka tak boleh ada lagi
petugas memeras di Tanah Air sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar