Demi
Kurikulum 2013
Guntur Cahyono ;
Alumnus Pascasarjana
Universitas Negeri Semarang,
Pemilik
Lembaga Bimbingan Belajar (Bimbel) di Sukoharjo
|
SUARA
MERDEKA, 11 Agustus 2014
Pemberlakuan Kurikulum 2013 (kalangan pendidik kerap menyebut
K13) di sekolah membawa konsekuensi. Pembelajaran yang semula didasarkan pada
mapel tertentu, ke depan ada beberapa perubahan berkenaan bidang studi.
Perubahan sistem ini tentu mengubah pola yang sudah lama berjalan di sekolah.
Bahkan proses belajar di rumah pun mengalami perubahan.
Perubahan itu tidak hanya membingungkan pihak sekolah karena
belum semua guru menguasai materi tentang petunjuk teknis pelaksanaan
kurikulum baru. Bahkan orang tua makin tidak mengerti dengan perubahan itu
mengingat mereka bersama anak hanya ditempatkan sebagai objek didik. Padahal
justru orang tua perlu diajak diskusi karena hal itu menyangkut keberadaan
putra-putri mereka di sekolah. Orang tua siswa tidak memiliki informasi
lengkap terkait perubahan tersebut.
Pelaku usaha bimbel pun tidak mengerti apa yang hendak
disampaikan kepada orang tua berkait permasalahan itu. Misalnya mengenai
perubahan pola penilaian baik format maupun sistemnya. Jika orang tua tidak
diberi arahan dan pengertian yang cukup, mustahil mereka memahami apa yang
tertera pada buku rapor putraputrinya. Tidak berhenti sampai di situ
mengingat K13 ìmemaksaî siswa mengubah pola belajar. Pelaku usaha bimbel pun
harus memahami secara mandiri.
Pasalnya, tak mungkin sekolah memakai kurikulum terbaru,
sementara bimbel masih mengacu kurikulum lama. Walaupun secara prinsip tidak
ada perubahan signifikan pada isi materi, pola belajar yang hendak
dilaksanakan di bimbel harus seiring sejalan dengan proses belajar di
sekolah. Proses belajar secara khusus hanya berkaitan dengan pendekatan dan
metode proses belajar. Maka fokus dan kompetensi yang ingin dicapai juga ada
perubahan.
Jika kurikulum lama belajar lebih pada teks bacaan, ke depan
diajak memahami konteks dari bacaan dan lebih banyak diskusi untuk menemukan
titik temu pengetahuan.
Konsekuensinya, pola evaluasinya pun bukan ”salah” atau ”benar”
melainkan lebih mengasah tentang pengetahuan berdasarkan pengalaman siswa.
Jika bimbel selama ini mengajarkan menyelesaikan soal secara praktis tentu
pola ini harus t bergeser ke ranah berbeda demi membangun karakter siswa
sesuai yang diharapkan K13.
Kompleksitas Materi
Bimbel sebagai lembaga pendidikan nonformal tetap memiliki
kepentingan untuk mengantarkan siswa mencapai kompetensi yang ditentukan.
Kekhawatiran orang tua tentang penerapan Kurikulum 2013 harus mampu dijawab
oleh bimbel. Tidak sedikit dari orang tua mengalami kebingungan mau seperti
apa belajar putra-putrinya.
Belum lagi dengan keberadaan buku teks yang dipakai siswa. Belum
adanya buku teks siswa juga sangat memengaruhi orang tua sehingga pada
akhirnya bimbel perlu menyediakan secara khusus buku teks sebagai acuan
proses belajar. Memanglah cukup sulit memerankan sesuatu yang tidak lengkap
konsepnya. Selama ini bimbel dianggap lembaga yang dipersalahkan berkenaaan
pola belajar anak di rumah.
Seperti disampaikan pakar pendidikan Universitas Pendidikan
Indonesia Prof Dr H Said Hamid Hasan MA yang dikutip situs online, ”bimbel hanya mengajarkan siswa memilih
jalan pintas dalam mengisi soal UN.” Pendapat itu tidak beralasan karena
pemerintah juga melakukan tipologi yang salah terhadap sekolah dengan
melaksanakan UN. Kreativitas dan pola berpikir adalah bagian belajar yang
dikembangkan oleh bimbel.
Bukan tidak mungkin dengan kehadiran Kurikulum 2013 bimbel akan
kembali memegang peranan penting dalam kesuksesan belajar siswa di sekolah.
Jika guru dan orang tua bingung dengan penerapan Kurikulum 2013 maka bimbel
tidak perlu ikut-ikutan bingung menghadapinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar