Senin, 11 Agustus 2014

Demi Kurikulum 2013

Demi Kurikulum 2013

Guntur Cahyono  ;   Alumnus Pascasarjana Universitas Negeri Semarang,
Pemilik Lembaga Bimbingan Belajar (Bimbel) di Sukoharjo
SUARA MERDEKA, 11 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Pemberlakuan Kurikulum 2013 (kalangan pendidik kerap menyebut K13) di sekolah membawa konsekuensi. Pembelajaran yang semula didasarkan pada mapel tertentu, ke depan ada beberapa perubahan berkenaan bidang studi. Perubahan sistem ini tentu mengubah pola yang sudah lama berjalan di sekolah. Bahkan proses belajar di rumah pun mengalami perubahan.

Perubahan itu tidak hanya membingungkan pihak sekolah karena belum semua guru menguasai materi tentang petunjuk teknis pelaksanaan kurikulum baru. Bahkan orang tua makin tidak mengerti dengan perubahan itu mengingat mereka bersama anak hanya ditempatkan sebagai objek didik. Padahal justru orang tua perlu diajak diskusi karena hal itu menyangkut keberadaan putra-putri mereka di sekolah. Orang tua siswa tidak memiliki informasi lengkap terkait perubahan tersebut.

Pelaku usaha bimbel pun tidak mengerti apa yang hendak disampaikan kepada orang tua berkait permasalahan itu. Misalnya mengenai perubahan pola penilaian baik format maupun sistemnya. Jika orang tua tidak diberi arahan dan pengertian yang cukup, mustahil mereka memahami apa yang tertera pada buku rapor putraputrinya. Tidak berhenti sampai di situ mengingat K13 ìmemaksaî siswa mengubah pola belajar. Pelaku usaha bimbel pun harus memahami secara mandiri.

Pasalnya, tak mungkin sekolah memakai kurikulum terbaru, sementara bimbel masih mengacu kurikulum lama. Walaupun secara prinsip tidak ada perubahan signifikan pada isi materi, pola belajar yang hendak dilaksanakan di bimbel harus seiring sejalan dengan proses belajar di sekolah. Proses belajar secara khusus hanya berkaitan dengan pendekatan dan metode proses belajar. Maka fokus dan kompetensi yang ingin dicapai juga ada perubahan.

Jika kurikulum lama belajar lebih pada teks bacaan, ke depan diajak memahami konteks dari bacaan dan lebih banyak diskusi untuk menemukan titik temu pengetahuan.

Konsekuensinya, pola evaluasinya pun bukan ”salah” atau ”benar” melainkan lebih mengasah tentang pengetahuan berdasarkan pengalaman siswa. Jika bimbel selama ini mengajarkan menyelesaikan soal secara praktis tentu pola ini harus t bergeser ke ranah berbeda demi membangun karakter siswa sesuai yang diharapkan K13.

Kompleksitas Materi

Bimbel sebagai lembaga pendidikan nonformal tetap memiliki kepentingan untuk mengantarkan siswa mencapai kompetensi yang ditentukan. Kekhawatiran orang tua tentang penerapan Kurikulum 2013 harus mampu dijawab oleh bimbel. Tidak sedikit dari orang tua mengalami kebingungan mau seperti apa belajar putra-putrinya.

Belum lagi dengan keberadaan buku teks yang dipakai siswa. Belum adanya buku teks siswa juga sangat memengaruhi orang tua sehingga pada akhirnya bimbel perlu menyediakan secara khusus buku teks sebagai acuan proses belajar. Memanglah cukup sulit memerankan sesuatu yang tidak lengkap konsepnya. Selama ini bimbel dianggap lembaga yang dipersalahkan berkenaaan pola belajar anak di rumah.

Seperti disampaikan pakar pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia Prof Dr H Said Hamid Hasan MA yang dikutip situs online, ”bimbel hanya mengajarkan siswa memilih jalan pintas dalam mengisi soal UN.” Pendapat itu tidak beralasan karena pemerintah juga melakukan tipologi yang salah terhadap sekolah dengan melaksanakan UN. Kreativitas dan pola berpikir adalah bagian belajar yang dikembangkan oleh bimbel.

Bukan tidak mungkin dengan kehadiran Kurikulum 2013 bimbel akan kembali memegang peranan penting dalam kesuksesan belajar siswa di sekolah. Jika guru dan orang tua bingung dengan penerapan Kurikulum 2013 maka bimbel tidak perlu ikut-ikutan bingung menghadapinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar