Mengenal
Israel
Hasbi Sidik ;
Dosen Ilmu Hubungan
Internasional Universitas Lampung
|
REPUBLIKA,
11 Agustus 2014
"I also will bring
them back to the land that I gave to their forefather and they shall possess
it." (Aku juga akan membawa mereka kembali ke tanah yang telah Aku berikan
kepada nenek moyang mereka dan mereka akan memilikinya). (Yeremia 30; 3) (Jeremiah 30;3).
Kalimat di atas tidak pernah sebelumnya menjadi dasar pembentukan
negara Israel saat ini. Sebaliknya, Theodor Herlz, Yahudi Alsatian yang
menjadi pendiri Zionis Israel,
terang-terangan menyatakan penggunaan penderitaan Yahudi sebagai basis
konstruksi ideologi Zionisnya. Ironisnya, energi ini yang kemudian menciptakan
mereka lebih buas dan terorganisasi dengan baik. Mengabaikan prinsip-prinsip
kemanusiaan universal dan menertawakan hukum internasional yang berlaku.
Israel melenggang mulus menggempur Jalur Gaza.
Mungkinkah berubah
Untuk menjawab pertanyaan itu, maka kita harus melihat ke dalam
negeri Israel. Menyerang Gaza adalah salah satu dari kebijakan luar negeri
yang berakar dari kepentingan nasional. Sebagai acuan utama, tentu saja
kepentingan nasional tidak lepas bagaimana ia diproduksi atau dihasilkan.
Oleh karena itu, ada beberapa instrumen atau alat baca yang bisa digunakan.
Di antaranya konstitusi negara, dinamika, dan proses politik dalam negeri,
termasuk bentuk lembaga eksekutif dan legislatifnya.
Mengaku sebagai salah satu negara demokratis, Israel sampai saat
ini bahkan belum mempunyai draf konstitusi meskipun memiliki beberapa hukum
dasar. Hukum dasar inilah yang kemudian dikembangkan sebagai basis
kebijakan-kebijakan Israel. Termasuk kebijakan luar negerinya. Ada 11 hukum
dasar, di antaranya mengenai kepala negara, Knesset /DPR, pemerintahan,
peradilan, pertahanan, Ibu Kota Yerusalem, tanah Israel, pengawas keuangan,
ekonomi, kemerdekaan dan kebebasan manusia, serta kebebasan pendudukan.
Dari beberapa hukum dasar di atas, maka kita ambil sejumlah
hukum dasar penting yang bisa menjawab. Pertama, Deklarasi 14 Mei 1948
mengenai Tanah Israel atau dikenal dengan Eretz-Israel. Berpijak dari
Resolusi Umum PBB 29 November 1947 yang menetapkan negara Yahudi perlu di
bentuk di Eretz-Israel, mereka dengan tegas mengakui bahwa mereka adalah
komunitas Yahudi sekaligus gerakan Zionis. Dengan kata lain, Zionis sebagai
ideologi politik menjadi representasi nyata nilai keyakinan Yahudi. Meskipun
beberapa komunitas Yahudi menolak penafsiran ini, namun tafsir pernyataan ini
mengukuhkan bahwa tujuan negara dibentuk adalah merebut Eretz-Israel, yang
diklaim diduduki oleh bangsa Palestina.
Kedua, pembebasan pendudukan. Hukum dasar ini menyatakan bahwa
hak dasar di Israel ditegakkan berasas nilai-nilai kemanusiaan, kesucian
kehidupan dan prinsip bahwa semua manusia bebas. Selanjutnya, Israel
menyatakan tidak ada kekerasan dalam pendudukan kecuali melalui hukum yang
sesuai dengan nilai negara Israel atau di undangkan untuk tujuan tertentu.
Mengacu pada hukum ini, maka semakin jelas jika Israel memang memandang
perluasan wilayah dan pendudukan Gaza sebagai hal legal dan dibenarkan. Norma
dan nilai internasional tidak bisa dan tidak berlaku. Sebaliknya, prinsip dan
asas kemanusiaan ditujukan hanya untuk warga Israel. Menjadi masuk akal
ketika Divisi Hukum Internasional (ILD) dari kantor pengacara militer Israel
menyatakan bahwa sipil Palestina yang mencoba melindungi miliknya, seperti
rumah, dimaknai ikut serta dalam peperangan. Pernyataan ini juga berarti
Israel mempunyai hak untuk memerintahkan warga keluar rumahnya, menghancurkan
rumah dan seluruh aset karena itu bagian dari kepemilikan sejarah Israel.
Ketiga, Knesset atau Dewan Perwakilan Rakyat. Israel memiliki
sistem perwakilan proporsional dan setiap partai bertarung untuk dapat masuk
Knesset yang total anggotanya berjumlah 120 orang. Knesset dibagi atas dua,
yaitu Pleno di mana semua anggota Knesset ikut menjadi anggotanya dan Komite
Knesset. Di sinilah digodok berbagai kebijakan dan undang-undang.
Ada 34 partai yang bertarung. Namun, saat ini cuma ada 12 partai
politik yang duduk di pemerintahan dengan tiga peraih kursi terbanyak adalah
Partai Likud, Labor, dan Jewish Home. Partai Likud dipimpin oleh Benjamin
Netanyahu dan beraliran konservatif beraliran keras ala Zeb Jabostinky,
seorang pemimpin revisionis Zionis. Sedangkan Partai Labor, di pimpin Shelly
Yachimovic, berideologi Zionis demokratis sosial. Terakhir adalah Jewish Home
di bawah komando Naftali Benne yang berbasis Zionis religius dan Judaisme
Ortodoks Modern. Ketiga partai besar itu menolak kemerdekaan Palestina dan
memandang setiap bentuk perjuangan seperti Hamas, PLO, dan lainnya adalah
organisasi teroris. Meskipun ada beberapa partai yang lebih luwes dan
kooperatif, seperti halnya Partai Kadima yang dibentuk oleh Ariel Sharon,
namun mereka cuma mempunyai dua kursi di Knesset 19 atau hasil pemilihan 2013
tahun lalu.
Dari postur politik yang ada termasuk produk putusan-putusan
Knesset, maka harapan munculnya kebijakan-kebijakan luar negeri Israel dari
faktor domestik yang membuka jalan perdamaian di kawasan Gaza seakan menjadi
keniscayaan.
Langkah selanjutnya
Ada beberapa langkah utama, pertama menegaskan bahwa konflik
Israel dan Palestina bukanlah isu agama, melainkan serangkaian tindakan
kejahatan hak asasi manusia. Ini menjadi penting karena langkah ini
memperluas jangkauan isu, baik domestik maupun Internasional. Selama ini isu
Palestina cuma berpusat di dunia Islam, padahal Palestina bukan hanya Islam,
namun juga ada pemeluk agama lain yang ditindas. Upaya ini dilakukan untuk
mengimbangi sebaran informasi Israel di negara-negara barat dan Asia Timur.
Langkah ini juga memperkuat upaya Palestina menyeret Israel ke Pengadilan
Internasional (ICC).
Kedua, memperkuat akses bantuan kemanusiaan dan menggalang
kekuatan finansial bagi Palestina. Tujuan Israel jelas bukan untuk
memperlemah Hamas, namun dikonstruksi untuk merampas rumah, tanah, dan lahan
penduduk sipil. Strategi buas ini juga secara sistemastis memperkecil ruang
gerak, membatasi suplai energi dan bantuan bagi sipil Palestina. Ehud Olmert
dengan meyakinkan menyitir kalimat Caligula, "Biarkan mereka membenci sepanjang mereka menderita."
Semua upaya di atas tentu belum cukup untuk mengakhiri
penindasan ini. Proses diplomasi dan penyelesaian membutuhkan jalan berliku.
Namun, mengutip kalimat Uskup Desmond Tutu, "If you are neutral in situations of injustice, you have chosen
the side of the oppressor" (Jika
Anda netral dalam situasi ketidakadilan, Anda telah memilih berada di pihak
penindas). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar