Mengatasi
Persoalan Struktural
Muhammad Syarkawi Rauf ;
Dosen FEB Unhas;
Anggota
Jaringan Peneliti Ekonomi Indonesia Timur (Japeit)
|
KOMPAS,
02 Agustus 2014
Komisi
Pemilihan Umum telah menetapkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai
presiden dan wakil presiden terpilih. Penetapan ini tidak boleh membuat
euforia berlebihan karena pekerjaan rumah pemerintahan baru tidaklah ringan.
Salah
satunya adalah mengatasi masalah struktural terkait rendahnya produktivitas
angkatan kerja dan lemahnya inovasi teknologi. Pemerintahan baru dituntut
segera membawa Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah.
Caranya: mempercepat transformasi ekonomi nasional, dari perekonomian yang
digerakkan eksploitasi sumber daya alam (SDA) ke perekonomian berbasis
inovasi dan produktivitas.
Hal
ini sejalan dengan publikasi Bank Dunia terbaru, ”Development Policy Review 2014, Indonesia: Avoiding The Trap”.
Di sana dipaparkan bahwa Indonesia bisa terhindar dari jebakan negara
berpendapatan menengah jika mampu menggeser model pertumbuhan ekonominya ke
model pertumbuhan berbasis produktivitas.
Produktivitas rendah
Hingga
saat ini, masalah struktural menyebabkan perekonomian Indonesia terjebak
selama 29 tahun sebagai lower middle
income trap dengan pendapatan per kapita 3.000 sampai 7.250 dollar AS per
tahun. Bahkan, Indonesia rentan turun kasta menjadi negara miskin ketika
terjadi gejolak eksternal, seperti krisis ekonomi 1997/1998.
Masalah
struktural perekonomian Indonesia ditandai oleh terhambatnya mobilisasi
tenaga kerja dari sektor produktivitas rendah ke sektor produktivitas tinggi.
Inovasi juga tidak berjalan karena kurangnya insentif bagi swasta
berpartisipasi dalam kegiatan penelitian dan pengembangan.
Akibatnya,
pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih didorong akumulasi modal dan penambahan
lapangan kerja baru. Sementara itu, total
factor productivity (TFP) memberikan kontribusi kecil. TFP adalah intangible factor yang dikaitkan
dengan kualitas sumber daya manusia dan pengembangan teknologi.
Fakta
menunjukkan bahwa kontribusi TFP dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya
sekitar 33 persen selama 2000- 2007. Hal ini kontras dengan Tiongkok dan
Korea yang lebih dari 50 persen pertumbuhan ekonominya didorong kemajuan
teknologi dan angkatan kerja berkualitas (Bank Dunia, 2014).
Pengalaman
Tiongkok yang memprioritaskan pengembangan SDM mampu mengakselerasi
pertumbuhan produktivitas pekerjanya, dari rata-rata 7,4 persen pada
1995-2000 menjadi 8,6 persen pada 2000-2005 dan 10,7 persen pada 2005-2010.
Ini berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Tiongkok menjadi rata-rata 8,3
persen pada 1995- 2000, 9,3 persen pada 2000-2005, dan 10,6 persen pada
2005-2010 (Bank Pembangunan Asia, 2013).
Kondisi
ini kontras dengan Indonesia yang tumbuh rata-rata 7,6 persen pada 1990-1995
menjadi 0,8 persen pada 1995-2000 (periode krisis), 4,6 persen pada
2000-2005, dan 5,5 persen pada 2005-2010. Hal ini sejalan dengan pelambatan
pertumbuhan produktivitas pekerja nasional, dari 7,5 persen pada 1990-1995
menjadi 1,4 persen pada 1995- 2000 (periode krisis), 3,6 persen pada
2000-2005, dan 2,2 persen pada 2005-2010 (Bank Pembangunan Asia, 2013).
Inovasi teknologi
Persoalan
fundamental lainnya adalah lambannya inovasi teknologi yang tercermin dari
kurangnya pendaftaran hak paten. Akibatnya, kegiatan industri manufaktur di
dalam negeri sangat bergantung pada impor barang modal yang berkontribusi
terhadap defisit neraca transaksi berjalan.
Kemampuan
inovasi nasional yang rendah tercermin dari persentase anggaran untuk
kegiatan penelitian dan pengembangan terhadap produk domestik bruto (PDB)
yang hanya 0,05 persen. Bandingkan dengan Tiongkok yang sudah mencapai 1,5
persen dari PDB-nya, India 0,8 persen, Malaysia 0,64 persen, dan Thailand
0,25 persen (Bank Pembangunan Asia, 2013).
Jumlah
penduduk Indonesia yang bekerja dalam bidang penelitian dan pengembangan juga
sangat kecil, yaitu lebih kecil daripada Tiongkok yang mencapai 1.070 orang,
India 137 orang, Malaysia 372 orang, dan Thailand 311 orang per satu juta
penduduk. Akibatnya, pendaftaran hak paten di Tiongkok tumbuh rata-rata 35
persen per tahun, dari 15.600 menjadi 122.000, selama periode 1999-2006 (WIPO Statistics Database, 2011).
Sejalan
dengan fakta di atas, Indonesia membutuhkan paket reformasi ekonomi yang
fokus pada aspek fundamental. Pertama, menerjemahkan secara operasional
program revolusi mental sehingga dalam jangka panjang menggeser muatan
pendidikan dasar, 80 persen mengajarkan budi pekerti dan 20 persen ilmu
pengetahuan. Hal ini dilakukan bertahap setiap jenjang pendidikan sehingga
muatan pendidikan menjadi 80 persen ilmu pengetahuan dan 20 persen budi
pekerti untuk perguruan tinggi.
Kedua,
Pemerintah Indonesia tak perlu malu belajar pada Malaysia yang saat ini
kandungan teknologi tinggi dalam produk ekspornya tertinggi di Asia, yang
disumbangkan oleh penanaman modal asing berorientasi ekspor yang berpusat di Penang Integrated Industrial Estate.
Pemerintah harus mendorong swasta berinvestasi dalam kegiatan penelitian dan
pengembangan melalui penegakan hukum hak cipta.
Ketiga,
menata ulang pusat-pusat penelitian dan pengembangan dengan merelokasi
sentra-sentra penelitian dan pengembangan komoditas unggulan, seperti kakao
yang saat ini di Jawa Timur ke sentra produksi kakao di Sulawesi Selatan,
Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tengah. Juga mendirikan pusat penelitian dan
pengembangan di setiap wilayah sesuai keunggulan komparatif wilayah
bersangkutan dan memberikan insentif khusus bagi peneliti yang bekerja di
pusat riset komoditi unggulan. Dan, tentu saja, meningkatkan alokasi APBN
untuk penelitian dan pengembangan sehingga menjadi 0,5 persen dari PDB dalam
lima tahun ke depan.
Selamat bekerja Jokowi-JK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar