Minggu, 03 Agustus 2014

Mengatasi Persoalan Struktural

                                Mengatasi Persoalan Struktural

Muhammad Syarkawi Rauf  ;   Dosen FEB Unhas;
Anggota Jaringan Peneliti Ekonomi Indonesia Timur (Japeit)
KOMPAS, 02 Agustus 2014
                                                


Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden terpilih. Penetapan ini tidak boleh membuat euforia berlebihan karena pekerjaan rumah pemerintahan baru tidaklah ringan.

Salah satunya adalah mengatasi masalah struktural terkait rendahnya produktivitas angkatan kerja dan lemahnya inovasi teknologi. Pemerintahan baru dituntut segera membawa Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah. Caranya: mempercepat transformasi ekonomi nasional, dari perekonomian yang digerakkan eksploitasi sumber daya alam (SDA) ke perekonomian berbasis inovasi dan produktivitas.

Hal ini sejalan dengan publikasi Bank Dunia terbaru, ”Development Policy Review 2014, Indonesia: Avoiding The Trap”. Di sana dipaparkan bahwa Indonesia bisa terhindar dari jebakan negara berpendapatan menengah jika mampu menggeser model pertumbuhan ekonominya ke model pertumbuhan berbasis produktivitas.

Produktivitas rendah

Hingga saat ini, masalah struktural menyebabkan perekonomian Indonesia terjebak selama 29 tahun sebagai lower middle income trap dengan pendapatan per kapita 3.000 sampai 7.250 dollar AS per tahun. Bahkan, Indonesia rentan turun kasta menjadi negara miskin ketika terjadi gejolak eksternal, seperti krisis ekonomi 1997/1998.

Masalah struktural perekonomian Indonesia ditandai oleh terhambatnya mobilisasi tenaga kerja dari sektor produktivitas rendah ke sektor produktivitas tinggi. Inovasi juga tidak berjalan karena kurangnya insentif bagi swasta berpartisipasi dalam kegiatan penelitian dan pengembangan.

Akibatnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih didorong akumulasi modal dan penambahan lapangan kerja baru. Sementara itu, total factor productivity (TFP) memberikan kontribusi kecil. TFP adalah intangible factor yang dikaitkan dengan kualitas sumber daya manusia dan pengembangan teknologi.

Fakta menunjukkan bahwa kontribusi TFP dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sekitar 33 persen selama 2000- 2007. Hal ini kontras dengan Tiongkok dan Korea yang lebih dari 50 persen pertumbuhan ekonominya didorong kemajuan teknologi dan angkatan kerja berkualitas (Bank Dunia, 2014).

Pengalaman Tiongkok yang memprioritaskan pengembangan SDM mampu mengakselerasi pertumbuhan produktivitas pekerjanya, dari rata-rata 7,4 persen pada 1995-2000 menjadi 8,6 persen pada 2000-2005 dan 10,7 persen pada 2005-2010. Ini berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Tiongkok menjadi rata-rata 8,3 persen pada 1995- 2000, 9,3 persen pada 2000-2005, dan 10,6 persen pada 2005-2010 (Bank Pembangunan Asia, 2013).  

Kondisi ini kontras dengan Indonesia yang tumbuh rata-rata 7,6 persen pada 1990-1995 menjadi 0,8 persen pada 1995-2000 (periode krisis), 4,6 persen pada 2000-2005, dan 5,5 persen pada 2005-2010. Hal ini sejalan dengan pelambatan pertumbuhan produktivitas pekerja nasional, dari 7,5 persen pada 1990-1995 menjadi 1,4 persen pada 1995- 2000 (periode krisis), 3,6 persen pada 2000-2005, dan 2,2 persen pada 2005-2010 (Bank Pembangunan Asia, 2013). 

Inovasi teknologi
                                                                         
Persoalan fundamental lainnya adalah lambannya inovasi teknologi yang tercermin dari kurangnya pendaftaran hak paten. Akibatnya, kegiatan industri manufaktur di dalam negeri sangat bergantung pada impor barang modal yang berkontribusi terhadap defisit neraca transaksi berjalan.

Kemampuan inovasi nasional yang rendah tercermin dari persentase anggaran untuk kegiatan penelitian dan pengembangan terhadap produk domestik bruto (PDB) yang hanya 0,05 persen. Bandingkan dengan Tiongkok yang sudah mencapai 1,5 persen dari PDB-nya, India 0,8 persen, Malaysia 0,64 persen, dan Thailand 0,25 persen (Bank Pembangunan Asia, 2013).

Jumlah penduduk Indonesia yang bekerja dalam bidang penelitian dan pengembangan juga sangat kecil, yaitu lebih kecil daripada Tiongkok yang mencapai 1.070 orang, India 137 orang, Malaysia 372 orang, dan Thailand 311 orang per satu juta penduduk. Akibatnya, pendaftaran hak paten di Tiongkok tumbuh rata-rata 35 persen per tahun, dari 15.600 menjadi 122.000, selama  periode 1999-2006 (WIPO Statistics Database, 2011).

Sejalan dengan fakta di atas, Indonesia membutuhkan paket reformasi ekonomi yang fokus pada aspek fundamental. Pertama, menerjemahkan secara operasional program revolusi mental sehingga dalam jangka panjang menggeser muatan pendidikan dasar, 80 persen mengajarkan budi pekerti dan 20 persen ilmu pengetahuan. Hal ini dilakukan bertahap setiap jenjang pendidikan sehingga muatan pendidikan menjadi 80 persen ilmu pengetahuan dan 20 persen budi pekerti untuk perguruan tinggi.

Kedua, Pemerintah Indonesia tak perlu malu belajar pada Malaysia yang saat ini kandungan teknologi tinggi dalam produk ekspornya tertinggi di Asia, yang disumbangkan oleh penanaman modal asing berorientasi ekspor yang berpusat di Penang Integrated Industrial Estate. Pemerintah harus mendorong swasta berinvestasi dalam kegiatan penelitian dan pengembangan melalui penegakan hukum hak cipta.

Ketiga, menata ulang pusat-pusat penelitian dan pengembangan dengan merelokasi sentra-sentra penelitian dan pengembangan komoditas unggulan, seperti kakao yang saat ini di Jawa Timur ke sentra produksi kakao di Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tengah. Juga mendirikan pusat penelitian dan pengembangan di setiap wilayah sesuai keunggulan komparatif wilayah bersangkutan dan memberikan insentif khusus bagi peneliti yang bekerja di pusat riset komoditi unggulan. Dan, tentu saja, meningkatkan alokasi APBN untuk penelitian dan pengembangan sehingga menjadi 0,5 persen dari PDB dalam lima tahun ke depan.

Selamat bekerja Jokowi-JK. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar