Agama,
Demokrasi, Kesejahteraan
Abdul Ghopur ;
Intelektual Muda NU,
Direktur
Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB)
|
KOMPAS,
02 Agustus 2014
Jika
ada penganut keagamaan berani bunuh diri—juga membunuh penganut
kepercayaan/paham lain—dan meledakkan bom, maka tesis ”atas nama iman, atas
nama teks” dan ”berperang demi Tuhan, berperang demi agama” sedang mengalami
faktualisasinya!
Inilah
potret mutakhir hari-hari kita menyaksikan bom dan ancaman terorisme tak
berkesudahan di Indonesia. Sebuah zaman yang menandakan lahirnya kekuatan
fundamentalisme agama guna melawan neokapitalisme yang digerakkan Amerika dan
sekutunya. Tentu saja fundamentalisme-terorisme agama dan hegemoni
kapitalisme AS dua kutub antagonis yang berseberangan. Sebab,
fundamentalisme-terorisme agama harus dikecam (ditinggalkan),
fundamentalisme-terorisme demokrasi, yang didesain sehingga melahirkan
perlawanan dan kekejaman sama, juga harus dikutuk.
Dari
fenomena itu, pertanyaannya: efektifkah perlawanan atas nama Tuhan dan atas
nama agama? Manusiawikah memberangus fundamentalisme-terorisme berbasis agama
dengan fundamentalisme-terorisme berbasis demokrasi?
Masyarakat pluralis
Penulis
khawatir, ke depan hubungan antaragama akan menurun dan sampai titik nadir
sebab terorisme-fundamentalisme atas nama demokrasi dan atas nama agama akan
(selalu) menjadi arus besar di masa depan. Konflik-konflik dan persaingan
antardua kekuatan besar itu akan selalu laten dan mengemuka. Terutama jika
para pemimpin, ilmuwan, dan elite masyarakat terjebak nafsu berkuasa dengan
mengesampingkan nafsu kemanusiaan universal.
Identitas dan bahasa politik fundamentalisian amat kuat dimiliki para aktivis penegak masyarakat teks dan
kelompok-kelompok sosial yang mendukungnya. Dalam Islam, misalnya, ada
semangat keberislaman rigid yang dihayati oleh mereka dan dikuatkan atau
dibentuk, lewat doktrin kaffah, yakni keutuhan untuk menjaga dan memasuki
agama (Islam) dengan sebenar-benarnya. Penegakan syariat Islam (misalnya)
adalah suatu kewajiban bagi mereka.
Meski
Indonesia dihuni banyak orang Islam sehingga layak disebut nation-muslim, dan
sebagian mereka setuju dengan ide penegakan syariat Islam oleh konstitusi
negara, tak berarti mereka benar-benar mau melaksanakannya. Dengan
memperhatikan perubahan sosiologis dan pengalaman politis bangsa ini,
keinginan itu tampaknya memang hanya didukung kelompok-kelompok tertentu
dalam fundamentalisme-Islam. Namun, kelompok- kelompok ini seperti angin.
Sekelebat, hampir kuat, hampir nyata, dan ditakdirkan untuk diingat siapa
saja. Sayangnya, ia hadir untuk dipeluk dan ditinggalkan kembali; dibuang dan
dipungut ulang; diimani dan dibongkar balik agar warna kehidupan laksa
pelangi. Karena itu, membuat kedamaian dalam kelompok-kelompok
fundamentalisme seperti memburu angin dalam kelebatnya malam. Bisa dirasa,
tetapi mahasulit direalisasikan.
Pertanyaannya, bagaimana semestinya
masyarakat pluralis harus hidup di Indonesia? Sesungguhnya bangsa Indonesia
adalah ”konsepsi kultural” tentang suatu komunitas yang diimajinasikan
sebagai entitas dari warisan
teritorial jajahan Belanda.
Adapun negara Indonesia adalah
”konsepsi politik”, sebuah entitas yang tumbuh berdasarkan kesadaran politik
untuk merdeka dengan meletakkan individu dalam kerangka kerakyatan. Dalam
kerangka ini, tiap warga dipertautkan dengan suatu komunitas politik dalam
kedudukan yang sederajat di depan hukum, dengan operasi atas prinsip
kekariban dan keadilan. Persoalannya, mengapa prinsip-prinsip kebangsaan,
kenegaraan, dan kewarganegaraan kian hari semakin jauh? Bahkan jauh lebih
menjauh setelah dikobarkannya reformasi, Mei 1998?
Ada
banyak jawaban, tetapi yang terpenting karena, pertama, problem Indonesia
sesungguhnya adalah keberlangsungan manajemen negara pasca kolonial yang tak
mampu menegakkan kedaulatan hukum, memberikan keamanan dan keadilan bagi
warganya. Di dalam ketiadaan keadilan, keamanan (ekonomi, sosial, politik,
beragama, budaya), dan perlindungan hukum bagi individu untuk mengembangkan
diri, orang lebih nyaman berlindung di balik
warga-tribus (tribalisme, premanisme, koncoisme, dan sektarianisme)
ketimbang warga negara.
Persoalan
ekonomi-politik yang bersumber dari manajemen negara yang korup menyisakan
kelangkaan dan ketimpangan alokasi sumber daya di rumah tangga kebangsaan
Indonesia. Jika aparatur negara hanya sibuk mengamankan kekuasaan dan
dapurnya sendiri, individu akan segera berpaling ke sumber-sumber tribus
sebagai upaya menemukan rasa aman. Di sini persoalan ekonomi-politik yang
obyektif disublimasikan ke dalam bentrokan identitas subyektif.
Kedua,
kita belum siap menerima keberagaman. Padahal, keragaman bisa jadi kekayaan
jika negara mampu menjalankan fungsinya sebagai, meminjam istilah Mohammad
Hatta, ”panitia kesejahteraan rakyat”. Ketiga, kita terlalu terfokus pada
pembangunan pusat atau Ibu Kota. Jakarta sebagai ibu kota negara terlalu
dijadikan pusat segalanya. Karena itu, tingkat angkatan kerja, kejahatan, dan
frustrasi selalu meningkat dari tahun ke tahun. Jakarta jadi magnet yang
mencuri kelebihan daerah. Seluruh potensi daerah seakan dipaksa bekerja untuk
Jakarta. Dari Jakarta negara didesain dan diadministrasikan, dari Jakarta
pula negara dinistakan dan difrustrasikan. Seharusnya, Indonesia bukan hanya
Jakarta, Jakarta bukan satu-satunya kota di Indonesia.
Oleh
karena itu, hidup dalam suatu bangsa yang besar dengan keragaman bahasa,
budaya, suku, ras, adat-istiadat, dan agama, kita harus memahami betul
kehidupan politik dalam kerangka ”kebineka tunggal eka-an”. Intinya, menyadari bahwa politik sebagai suatu karsa
untuk menegakkan moralitas dan rasionalitas publik yang bertanggung jawab.
Teori baru
Kita
wajib mengajak semua lapisan mencermati perkembangan masyarakat beragama di
masa depan. Sebab, beragama pada akhirnya tak lain adalah kejadian-kejadian
yang ditulis ulang, diputar ulang dalam rangkaian melingkar, berkelok tak
terhingga dalam multiwajah, kompleks, beragam yang kadang retak dan tak
selalu mulus. Ia disusun ulang dari percakapan- percakapan dan
pikiran-pikiran orang per orang dan diselundupkan ke sel-sel pikiran orang
lain di sekitarnya. Ia membentuk ikatan dan batas, solidaritas dan kewajiban,
ingatan dan cita-cita, kawan dan lawan, imaji dan harapan.
Para
ilmuwan sosial berkewajiban menghadirkan teori-teori baru yang mampu memotret
kehidupan masyarakat dari jantungnya langsung. Dengan potret langsung dari
jantung masyarakat, diharapkan secara umum masyarakat-bangsa ini bisa belajar
untuk ”mengambil hikmah” dari semua peristiwa dengan jernih dan waras. Mana
yang berpotensi bagi kebaikan dikembangkan, sebaliknya yang berpotensi
destruktif segera ditinggalkan.
Di
masa depan diperlukan perilaku intelektual revolusioner dan visioner yang
gagah terhadap pandangan dan perilaku masyarakat yang dianggap unviolence-destruktif-militeristik.
Sebab, masa depan dunia harus dimainkan dengan lebih adil dengan menerapkan
nilai-nilai dari mana pun sepanjang berubah untuk kemanusiaan semesta. Dan,
hanya orang-orang berjiwa revolusioner-menyempal yang berani meneriakkan
dekonstruksi teks-wacana, dekonstruksi kultur, bahkan dekonstruksi
negara-bangsa yang bisa diharapkan. Ali Syariati dan Gramsci menyebut
orang-orang ini sebagai intelektual organik. Dus, iman dan romantisisme pada
teks penting, tetapi penciptaan teks baru jauh lebih penting. Iman pada
demokrasi penting, tetapi jauh lebih penting adalah penciptaan serta
realisasi dari pesan dasar kemanusiaan yang berupa kesejahteraan. Agama,
demokrasi, dan kesejahteraan hidup adalah trisula yang saling bersaing
membunuh, karenanya menjadi pesan dan pekerjaan yang harus segera dipahami
dengan waras agar tidak timpang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar