Minggu, 03 Agustus 2014

Agama, Demokrasi, Kesejahteraan

                            Agama, Demokrasi, Kesejahteraan

Abdul Ghopur  ;   Intelektual Muda NU,
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB)
KOMPAS, 02 Agustus 2014
                                                


Jika ada penganut keagamaan berani bunuh diri—juga membunuh penganut kepercayaan/paham lain—dan meledakkan bom, maka tesis ”atas nama iman, atas nama teks” dan ”berperang demi Tuhan, berperang demi agama” sedang mengalami faktualisasinya!

Inilah potret mutakhir hari-hari kita menyaksikan bom dan ancaman terorisme tak berkesudahan di Indonesia. Sebuah zaman yang menandakan lahirnya kekuatan fundamentalisme agama guna melawan neokapitalisme yang digerakkan Amerika dan sekutunya. Tentu saja fundamentalisme-terorisme agama dan hegemoni kapitalisme AS dua kutub antagonis yang berseberangan. Sebab, fundamentalisme-terorisme agama harus dikecam (ditinggalkan), fundamentalisme-terorisme demokrasi, yang didesain sehingga melahirkan perlawanan dan kekejaman sama, juga harus dikutuk.

Dari fenomena itu, pertanyaannya: efektifkah perlawanan atas nama Tuhan dan atas nama agama? Manusiawikah memberangus fundamentalisme-terorisme berbasis agama dengan fundamentalisme-terorisme berbasis demokrasi?

Masyarakat pluralis           

Penulis khawatir, ke depan hubungan antaragama akan menurun dan sampai titik nadir sebab terorisme-fundamentalisme atas nama demokrasi dan atas nama agama akan (selalu) menjadi arus besar di masa depan. Konflik-konflik dan persaingan antardua kekuatan besar itu akan selalu laten dan mengemuka. Terutama jika para pemimpin, ilmuwan, dan elite masyarakat terjebak nafsu berkuasa dengan mengesampingkan nafsu kemanusiaan universal.  Identitas dan bahasa politik fundamentalisian amat kuat dimiliki  para aktivis penegak masyarakat teks dan kelompok-kelompok sosial yang mendukungnya. Dalam Islam, misalnya, ada semangat keberislaman rigid yang dihayati oleh mereka dan dikuatkan atau dibentuk, lewat doktrin kaffah, yakni keutuhan untuk menjaga dan memasuki agama (Islam) dengan sebenar-benarnya. Penegakan syariat Islam (misalnya) adalah suatu kewajiban bagi mereka.

Meski Indonesia dihuni banyak orang Islam sehingga layak disebut nation-muslim, dan sebagian mereka setuju dengan ide penegakan syariat Islam oleh konstitusi negara, tak berarti mereka benar-benar mau melaksanakannya. Dengan memperhatikan perubahan sosiologis dan pengalaman politis bangsa ini, keinginan itu tampaknya memang hanya didukung kelompok-kelompok tertentu dalam fundamentalisme-Islam. Namun, kelompok- kelompok ini seperti angin. Sekelebat, hampir kuat, hampir nyata, dan ditakdirkan untuk diingat siapa saja. Sayangnya, ia hadir untuk dipeluk dan ditinggalkan kembali; dibuang dan dipungut ulang; diimani dan dibongkar balik agar warna kehidupan laksa pelangi. Karena itu, membuat kedamaian dalam kelompok-kelompok fundamentalisme seperti memburu angin dalam kelebatnya malam. Bisa dirasa, tetapi mahasulit direalisasikan.

 Pertanyaannya, bagaimana semestinya masyarakat pluralis harus hidup di Indonesia? Sesungguhnya bangsa Indonesia adalah ”konsepsi kultural” tentang suatu komunitas yang diimajinasikan sebagai  entitas dari warisan teritorial jajahan Belanda.  Adapun  negara Indonesia adalah ”konsepsi politik”, sebuah entitas yang tumbuh berdasarkan kesadaran politik untuk merdeka dengan meletakkan individu dalam kerangka kerakyatan. Dalam kerangka ini, tiap warga dipertautkan dengan suatu komunitas politik dalam kedudukan yang sederajat di depan hukum, dengan operasi atas prinsip kekariban dan keadilan. Persoalannya, mengapa prinsip-prinsip kebangsaan, kenegaraan, dan kewarganegaraan kian hari semakin jauh? Bahkan jauh lebih menjauh setelah dikobarkannya reformasi, Mei 1998?

Ada banyak jawaban, tetapi yang terpenting karena, pertama, problem Indonesia sesungguhnya adalah keberlangsungan manajemen negara pasca kolonial yang tak mampu menegakkan kedaulatan hukum, memberikan keamanan dan keadilan bagi warganya. Di dalam ketiadaan keadilan, keamanan (ekonomi, sosial, politik, beragama, budaya), dan perlindungan hukum bagi individu untuk mengembangkan diri, orang lebih nyaman berlindung di balik  warga-tribus (tribalisme, premanisme, koncoisme, dan sektarianisme) ketimbang warga negara.

Persoalan ekonomi-politik yang bersumber dari manajemen negara yang korup menyisakan kelangkaan dan ketimpangan alokasi sumber daya di rumah tangga kebangsaan Indonesia. Jika aparatur negara hanya sibuk mengamankan kekuasaan dan dapurnya sendiri, individu akan segera berpaling ke sumber-sumber tribus sebagai upaya menemukan rasa aman. Di sini persoalan ekonomi-politik yang obyektif disublimasikan ke dalam bentrokan identitas subyektif.

Kedua, kita belum siap menerima keberagaman. Padahal, keragaman bisa jadi kekayaan jika negara mampu menjalankan fungsinya sebagai, meminjam istilah Mohammad Hatta, ”panitia kesejahteraan rakyat”. Ketiga, kita terlalu terfokus pada pembangunan pusat atau Ibu Kota. Jakarta sebagai ibu kota negara terlalu dijadikan pusat segalanya. Karena itu, tingkat angkatan kerja, kejahatan, dan frustrasi selalu meningkat dari tahun ke tahun. Jakarta jadi magnet yang mencuri kelebihan daerah. Seluruh potensi daerah seakan dipaksa bekerja untuk Jakarta. Dari Jakarta negara didesain dan diadministrasikan, dari Jakarta pula negara dinistakan dan difrustrasikan. Seharusnya, Indonesia bukan hanya Jakarta, Jakarta bukan satu-satunya kota di Indonesia.

Oleh karena itu, hidup dalam suatu bangsa yang besar dengan keragaman bahasa, budaya, suku, ras, adat-istiadat, dan agama, kita harus memahami betul kehidupan politik dalam kerangka ”kebineka tunggal eka-an”. Intinya,  menyadari bahwa politik sebagai suatu karsa untuk menegakkan moralitas dan rasionalitas publik yang bertanggung jawab.

Teori baru
                           
Kita wajib mengajak semua lapisan mencermati perkembangan masyarakat beragama di masa depan. Sebab, beragama pada akhirnya tak lain adalah kejadian-kejadian yang ditulis ulang, diputar ulang dalam rangkaian melingkar, berkelok tak terhingga dalam multiwajah, kompleks, beragam yang kadang retak dan tak selalu mulus. Ia disusun ulang dari percakapan- percakapan dan pikiran-pikiran orang per orang dan diselundupkan ke sel-sel pikiran orang lain di sekitarnya. Ia membentuk ikatan dan batas, solidaritas dan kewajiban, ingatan dan cita-cita, kawan dan lawan, imaji dan harapan.

Para ilmuwan sosial berkewajiban menghadirkan teori-teori baru yang mampu memotret kehidupan masyarakat dari jantungnya langsung. Dengan potret langsung dari jantung masyarakat, diharapkan secara umum masyarakat-bangsa ini bisa belajar untuk ”mengambil hikmah” dari semua peristiwa dengan jernih dan waras. Mana yang berpotensi bagi kebaikan dikembangkan, sebaliknya yang berpotensi destruktif segera ditinggalkan.

Di masa depan diperlukan perilaku intelektual revolusioner dan visioner yang gagah terhadap pandangan dan perilaku masyarakat yang dianggap unviolence-destruktif-militeristik. Sebab, masa depan dunia harus dimainkan dengan lebih adil dengan menerapkan nilai-nilai dari mana pun sepanjang berubah untuk kemanusiaan semesta. Dan, hanya orang-orang berjiwa revolusioner-menyempal yang berani meneriakkan dekonstruksi teks-wacana, dekonstruksi kultur, bahkan dekonstruksi negara-bangsa yang bisa diharapkan. Ali Syariati dan Gramsci menyebut orang-orang ini sebagai intelektual organik. Dus, iman dan romantisisme pada teks penting, tetapi penciptaan teks baru jauh lebih penting. Iman pada demokrasi penting, tetapi jauh lebih penting adalah penciptaan serta realisasi dari pesan dasar kemanusiaan yang berupa kesejahteraan. Agama, demokrasi, dan kesejahteraan hidup adalah trisula yang saling bersaing membunuh, karenanya menjadi pesan dan pekerjaan yang harus segera dipahami dengan waras agar tidak timpang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar