BBM
dan Kemiskinan
Ivanovich Agusta ;
Sosiolog Pedesaan IPB
|
KOMPAS,
02 Agustus 2014
Selain
terkait kesalahan alokasi pemanfaat, wacana penurunan subsidi BBM satu dekade
terakhir juga berurusan dengan upaya untuk menahan peningkatan orang miskin.
Sayang strategi yang ditempuh tersebut masih gagal. Setahun
setelah harga bahan bakar minyak (BBM) dinaikkan dua kali lipat pada 2005,
jumlah orang miskin meningkat 4,2 juta jiwa atau 1,8 persen. Kedua indeks
kedalaman dan keparahan kemiskinan juga meningkat. Artinya, kualitas
kemiskinan dirasakan semakin mendalam bagi orang miskin sendiri.
Kenaikan
harga BBM sebesar 50 persen terjadi lagi Juni 2013. Dibandingkan Maret 2013,
pada September jumlah orang miskin langsung naik 0,48 juta atau 0,1 persen.
Indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan juga turut meningkat kembali.
Belajar
dari tahun lalu, inflasi riil yang dialami orang miskin sebesar 7,85 persen.
Sesuai usulan Sajogyo, ini dihitung melalui peningkatan garis kemiskinan dari
Rp 271.626 menjadi Rp 292.951 per kapita per bulan.
Orang
miskin berupaya berhemat dengan menurunkan persentase pengeluaran sebagian
besar makanan dan seluruh pengeluaran non-makanan. Pengeluaran dipusatkan
pada pembelian beras atau makanan pokok, dari 25% jadi 33%. Meski telah
menghemat, toh pengeluaran makanan tetap meningkat 8 persen.
Yang
perlu diwaspadai, peningkatan harga non-makanan akibat kenaikan harga BBM
juga telah memperbesar pengeluaran ini hingga 8 persen. Padahal, untuk aspek
ini, orang miskin telah mengurangi pengeluaran sebesar 6 persen. Artinya,
mereka secara riil merasakan kenaikan harga non-makanan hingga 14 persen.
Jika
tiap rumah tangga miskin beranggotakan 4,5 jiwa, pengeluaran per bulan pada
tingkat garis kemiskinan saja meningkat jadi Rp 1,318 juta. Tahun lalu
bantuan langsung kepada orang miskin hanya Rp 150.000 per bulan dan diberikan
selama 3 bulan. Jumlah ini hanya 11% dari pengeluaran rumah tangga miskin;
hanya sepertiga dari pengeluaran untuk makanan pokok.
Data
dari kalangan orang miskin yang dikumpulkan Badan Pusat Statistik tersebut
menunjukkan angka-angka yang jauh lebih tinggi daripada perkiraan dampak yang
biasa disusun pemerintah. Tidak mengherankan proyek penanggulangan dampak
kenaikan harga BBM berkali-kali gagal menahan laju kemiskinan.
Anehnya,
sebagian biaya dampak kenaikan harga BBM dialokasikan untuk infrastruktur
transportasi, fasilitas kesehatan, dan fasilitas pendidikan. Dari diskusi
dengan orang-orang miskin sendiri, berbagai fasilitas tersebut tidak pernah
teruji meningkatkan kesejahteraan mereka ke atas garis kemiskinan. Hal ini
masuk akal karena orang miskin tetap harus membayar penggunaan fasilitas
tersebut meskipun dengan harga lebih murah.
Pihak
yang segera memanfaatkan infrastruktur justru lapisan yang lebih tinggi.
Proyek yang tidak mengkhususkan manfaat kepada orang miskin tampaknya
senantiasa bocor untuk digunakan masyarakat umum.
Kebijakan riil
Proyek
pengurangan pengeluaran baru mencapai hasil ketika benar-benar gratis bagi
rumah tangga miskin untuk memanfaatkannya. Jika perawatan kesehatan gratis
bagi rumah tangga miskin di Jakarta bisa direplikasi ke seluruh pemegang
kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), pengeluaran orang miskin bisa
dihemat sekitar 1,5 persen. Jika biaya siswa sekolah se- Indonesia ditanggung
sebagaimana di Jakarta, penghematan bisa ditambah 1,5 persen lagi.
Kebijakan
riil lainnya seharusnya berkaitan dengan perawatan atau pembangunan rumah
bagi keluarga miskin. Dalam masa normal pengeluaran perumahan mencapai 8
persen. Meskipun menurun setelah kenaikan harga BBM, nilai pengeluaran
tersebut masih sebesar 6 persen.
Strategi
alokasi beras untuk orang miskin tampaknya paling efektif untuk menahan laju
kemiskinan. Setelah kenaikan harga BBM, pengeluaran beras mencapai Rp 450.000
per rumah tangga setiap bulan. Ini senilai 50 kilogram beras.
Padahal,
selama ini alokasi beras untuk rumah tangga miskin hanya 10 kilogram per
bulan, dengan efektivitas hanya 23 persen. Artinya, secara riil hanya senilai
2 kilogram beras per bulan atau 4 persen dari kebutuhan makanan pokok rumah
tangga miskin.
Jika
dibandingkan dengan kebijakan penanggulangan dampak kenaikan harga BBM selama
ini, mula-mula perlu dilakukan realokasi kegiatan pembangunan. Kebijakan yang
berorientasi pada pemanfaat umum dikurangi untuk dialihkan kepada pemanfaat
khusus rumah tangga miskin sendiri. Artinya, pembangunan infrastruktur dan
fasilitas fisik dikurangi.
Realokasi
menuju kebijakan yang riil bagi rumah tangga miskin seharusnya diprioritaskan
untuk menanggulangi pengeluaran makanan pokok. Berikutnya ialah pengurangan
pengeluaran biaya-biaya perawatan perumahan. Dukungan jaminan kesehatan dan
pendidikan menjadi prioritas berikutnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar