Minggu, 03 Agustus 2014

BBM dan Kemiskinan

                                              BBM dan Kemiskinan

Ivanovich Agusta  ;   Sosiolog Pedesaan IPB
KOMPAS, 02 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Selain terkait kesalahan alokasi pemanfaat, wacana penurunan subsidi BBM satu dekade terakhir juga berurusan dengan upaya untuk menahan peningkatan orang miskin. Sayang strategi yang ditempuh tersebut masih gagal. Setahun setelah harga bahan bakar minyak (BBM) dinaikkan dua kali lipat pada 2005, jumlah orang miskin meningkat 4,2 juta jiwa atau 1,8 persen. Kedua indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan juga meningkat. Artinya, kualitas kemiskinan dirasakan semakin mendalam bagi orang miskin sendiri.

Kenaikan harga BBM sebesar 50 persen terjadi lagi Juni 2013. Dibandingkan Maret 2013, pada September jumlah orang miskin langsung naik 0,48 juta atau 0,1 persen. Indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan juga turut meningkat kembali.

Belajar dari tahun lalu, inflasi riil yang dialami orang miskin sebesar 7,85 persen. Sesuai usulan Sajogyo, ini dihitung melalui peningkatan garis kemiskinan dari Rp 271.626 menjadi Rp 292.951 per kapita per bulan.

Orang miskin berupaya berhemat dengan menurunkan persentase pengeluaran sebagian besar makanan dan seluruh pengeluaran non-makanan. Pengeluaran dipusatkan pada pembelian beras atau makanan pokok, dari 25% jadi 33%. Meski telah menghemat, toh pengeluaran makanan tetap meningkat 8 persen.

Yang perlu diwaspadai, peningkatan harga non-makanan akibat kenaikan harga BBM juga telah memperbesar pengeluaran ini hingga 8 persen. Padahal, untuk aspek ini, orang miskin telah mengurangi pengeluaran sebesar 6 persen. Artinya, mereka secara riil merasakan kenaikan harga non-makanan hingga 14 persen.

Jika tiap rumah tangga miskin beranggotakan 4,5 jiwa, pengeluaran per bulan pada tingkat garis kemiskinan saja meningkat jadi Rp 1,318 juta. Tahun lalu bantuan langsung kepada orang miskin hanya Rp 150.000 per bulan dan diberikan selama 3 bulan. Jumlah ini hanya 11% dari pengeluaran rumah tangga miskin; hanya sepertiga dari pengeluaran untuk makanan pokok.

Data dari kalangan orang miskin yang dikumpulkan Badan Pusat Statistik tersebut menunjukkan angka-angka yang jauh lebih tinggi daripada perkiraan dampak yang biasa disusun pemerintah. Tidak mengherankan proyek penanggulangan dampak kenaikan harga BBM berkali-kali gagal menahan laju kemiskinan.

Anehnya, sebagian biaya dampak kenaikan harga BBM dialokasikan untuk infrastruktur transportasi, fasilitas kesehatan, dan fasilitas pendidikan. Dari diskusi dengan orang-orang miskin sendiri, berbagai fasilitas tersebut tidak pernah teruji meningkatkan kesejahteraan mereka ke atas garis kemiskinan. Hal ini masuk akal karena orang miskin tetap harus membayar penggunaan fasilitas tersebut meskipun dengan harga lebih murah.

Pihak yang segera memanfaatkan infrastruktur justru lapisan yang lebih tinggi. Proyek yang tidak mengkhususkan manfaat kepada orang miskin tampaknya senantiasa bocor untuk digunakan masyarakat umum.

Kebijakan riil
                                                    
Proyek pengurangan pengeluaran baru mencapai hasil ketika benar-benar gratis bagi rumah tangga miskin untuk memanfaatkannya. Jika perawatan kesehatan gratis bagi rumah tangga miskin di Jakarta bisa direplikasi ke seluruh pemegang kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), pengeluaran orang miskin bisa dihemat sekitar 1,5 persen. Jika biaya siswa sekolah se- Indonesia ditanggung sebagaimana di Jakarta, penghematan bisa ditambah 1,5 persen lagi.

Kebijakan riil lainnya seharusnya berkaitan dengan perawatan atau pembangunan rumah bagi keluarga miskin. Dalam masa normal pengeluaran perumahan mencapai 8 persen. Meskipun menurun setelah kenaikan harga BBM, nilai pengeluaran tersebut masih sebesar 6 persen.

Strategi alokasi beras untuk orang miskin tampaknya paling efektif untuk menahan laju kemiskinan. Setelah kenaikan harga BBM, pengeluaran beras mencapai Rp 450.000 per rumah tangga setiap bulan. Ini senilai 50 kilogram beras.

Padahal, selama ini alokasi beras untuk rumah tangga miskin hanya 10 kilogram per bulan, dengan efektivitas hanya 23 persen. Artinya, secara riil hanya senilai 2 kilogram beras per bulan atau 4 persen dari kebutuhan makanan pokok rumah tangga miskin.

Jika dibandingkan dengan kebijakan penanggulangan dampak kenaikan harga BBM selama ini, mula-mula perlu dilakukan realokasi kegiatan pembangunan. Kebijakan yang berorientasi pada pemanfaat umum dikurangi untuk dialihkan kepada pemanfaat khusus rumah tangga miskin sendiri. Artinya, pembangunan infrastruktur dan fasilitas fisik dikurangi.

Realokasi menuju kebijakan yang riil bagi rumah tangga miskin seharusnya diprioritaskan untuk menanggulangi pengeluaran makanan pokok. Berikutnya ialah pengurangan pengeluaran biaya-biaya perawatan perumahan. Dukungan jaminan kesehatan dan pendidikan menjadi prioritas berikutnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar