Senin, 04 Agustus 2014

Menerima Hasil Demokrasi

                                      Menerima Hasil Demokrasi

Fransisca Ayu Kumalasari  ;   Magister Hukum UGM
KORAN JAKARTA, 31 Juli 2014
                                                
                                                                                                                                   

Alih-alih menyiapkan pidato kekalahan sebagai simbol kedewasaan berdemokrasi, Prabowo Subianto justru memilih mengundurkan diri dari proses rekapitulasi suara dan melayangkan gugatan ke Mahkamah Kosntitusi (MK). Prabowo mempersoalkan perselisihan suara antara hitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan data yang dikumpulkan tim pemenangannya. Dia menduga ada penyimpangan secara terstruktur dan masif oleh penyelenggara pemilu.

Lalu, apa implikasi bagi hasil dan legitimasi pilpres? Mampukah Prabowo bersama Tim Perjuangan Koalisi Merah Putih untuk Keadilan memenangkan gugatan? Sebagai apresiasi pada konstitusi dan legitimasi proses pemilu yang bermartabat, langkah Prabowo perlu dihargai karena digaransi Undang-Undang (UU) Pilpres.

Hak konstitusional tersebut dijamin terutama dalam Pasal 201 Ayat (1) UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden/Wapres yang berbunyi, “Terhadap penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dapat diajukan keberatan hanya oleh pasangan calon kepada MK dalam waktu paling lama 3 hari setelah penetapan hasil oleh KPU.” Pertanyaanya, keberatan dalam pengertian bagaimanakah yang bisa menjadi landasan gugatan kepada MK?

Di Ayat (2) Pasal 201 dikatakan keberatan yang bisa diajukan hanya terhadap hasil penghitungan suara yang memengaruhi penentuan terpilihnya pasangan calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada pilpres. Itu berarti penggugat perlu memperjelas pada aspek-aspek dan lokus mana saja terjadi kecurangan elektoral yang berdampak pada proses dan hasil perhitungan suara.

Misalnya, perlu dirinci TPS-TPS yang diduga menjadi tempat penggelembungan suara atau jenis kecurangan lain yang diduga. Dalam pidato pengunduran dirinya (22/7), Prabowo menjelaskan begitu banyak hal yang berkaitan dengan kecurangan, di antaranya ada pejabat yang mencoblos “kolektif,” ketidaknetralan KPU, kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif di berbagai tempat. Bahkan, rekomendasi Bawaslu yang tidak dilaksanakan KPU.

Ia juga mencontohkan di Papua terdapat 14 kabupaten yang tidak pernah mencoblos, tetapi ada hasil pemilu. Ada 5.000 lebih TPS di DKI yang direkomendasikan pemungutan suara ulang (PSU), tetapi tidak digubris KPU.

Sulit

Berdasarkan hasil rekapitulasi perhitungan suara KPU, pasangan Prabowo-Hatta meraih 62.576.444 suara (46,85 persen) dan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) 70.997.833 suara (53,14 persen). Dengan demikian, ada selisih 8.421.389 suara. Itu berarti tim penasihat hukum Prabowo-Hatta harus bisa membuktikan bahwa benar terjadi kecurangan yang membuat mereka kehilangan lebih dari 4,21 juta suara. Sebaliknya, suara pasangan Jokowi-JK menggelembung lebih dari 4,21 juta suara.

Jika dicermati, ini sesuatu yang sulit dilakukan kubu Prabowo terlebih jika melihat konstelasi perhitungan suara yang terjadi pasca-pemungutan suara 9 Juli lalu. Bahkan, menurut pengalaman Mantan Ketua MK, Mahfud MD, sulit bagi MK untuk membuktikan suara kubu Prabowo-Hatta hilang diambil Jokowi-JK sekitar 4 juta–5 juta suara, lalu membalikkan keadaan untuk kemenangan Jokowi-JK. Mengingat sepanjang mengurus sengketa suara, MK belum pernah menganulir suara sebesar itu baik dalam gugatan pilpres maupun pilkada-pilkada.

Terkait pernyataan Prabowo, 5.000 lebih TPS DKI yang tidak diadakan PSU, Bawaslu pun telah mengoreksi. Ketua Bawaslu, Muhammad, mengatakan rekomendasi Bawaslu DKI yang diberikan terkait 5.841 TPS hanya dilakukan pencermatan, bukan PSU. Menurutnya, rekomendasi PSU hanya dilakukan di 13 TPS dan telah dilaksanakan. Untuk pencermatan 5.841 TPS sudah ditindaklanjuti. Hanya, belum semua karena keterbatasan waktu.

Hal yang tak kalah penting soal dugaan kecurangan oleh Tim Prabowo-Hatta yang terjadi dalam proses pemungutan suara tentu pada saatnya akan dikonfrontir oleh kenyataan bahwa dalam proses rekapitulasi suara berjenjang dimulai dari tingkat TPS, kecamatan, kabupaten/kota, dan provinsi hingga pusat, saksi dari pasangan Prabowo-Hatta telah menandatangani perhitungan suara tanpa keberatan.

Di tingkat pusat, Bawaslu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) juga telah menerima rekapitulasi perhitungan suara Pilpres 2014. Ini berarti, dugaan kecurangan pemilu yang dinilai masif, sistematis, perlu dibuktikan dengan kerja ekstra. Sebab realitasnya indikasi kecurangan hanya terjadi secara parsial. Lagi pula langsung diselesaikan di tiap tingkatan perekapan suara.

Adapun sinyalemen Yunus Yosfiah, Ketua Tim Perjuangan Koalisi Merah Putih untuk Keadilan sebagai pengganti Tim Pemenangan Pasangan Prabowo-Hatta, soal peretas dari Tiongkok dan Korea Selatan yang menggelembungkan sekitar 4 juta suara dan 14 kabupaten/kota di Papua yang tak menggelar pemungutan suara, tetapi suaranya dihitung, sehingga hal ini perlu dipertanggungjawabkan KPU, sudah dibantah Markas Besar Polri (23/7).

Menurut Mabes, 37 hackers atau peretas itu hanya melakukan cyber crime, bukan penggelembungan suara. Mereka hanya melakukan penipuan dan pemerasan. Korbannya bukan orang Indonesia. Mereka hanya menipu dan memeras orang Tiongkok di negeri sendiri.

Tidak Solid

Permohonan keberatan pasangan Prabowo-Hatta ke-MK pun bakal tidak semulus yang dibayangkan, sebab terjadi semacam friksi internal dalam penyampaian keberatan yang didului pidato penguduran diri Prabowo 22 Juli. Selain karena tidak didampingi Hatta Radjasa, beberapa tokoh mitra koalisi malah sudah lebih dulu menyatakan sikap menerima hasil rekapitulasi dan penetapan KPU seperti anaknya Amien Rais, Hanafi Rais, termasuk Mahfud MD.

Padahal lazimnya, surat kuasa tim penasihat hukum Prabowo-Hatta terkait keberatan pilpres yang dialamatkan ke MK juga harus tercantum tanda tangan Prabowo dan Hatta. Jika dalam pengajuan permohonan ke MK hanya salah satu saja yang menandatanganinya, apakah MK masih mau menerima? Yang jelas kesatuan sikap seluruh tim pemohon sangat dibutuhkan sebagai bagian dari konfirmasi legal dan moral terhadap fakta yang akan disengketakan di MK.

Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Hatta Radjasa, mengatakan sesungguhnya tidak menghilang saat proses rekapitulasi, melainkan bersama keluarga sedang menemani putrinya yang melahirkan di Rumah Sakit Pondok Indah. Akan tetapi, informasi lain juga beredar bahwa selepas proses rekapitulasi dan penetapan pemenang pilpres oleh KPU, sempat terjadi komunikasi antara Hatta dan Presiden SBY yang juga besannya.

SBY menyarankan agar Hatta menerima apa pun hasil yang ditetapkan KPU demi tetap menjaga dan memelihara suasana bangsa kondusif. Jauh di atas semuanya, rasanya belum telat untuk kembali menyerukan kepada elite-elite, tokoh bangsa, teristimewa kubu Prabowo-Hatta, untuk sejak sekarang memupuk spirit kematangan dalam menerima hasil kerja demokrasi. Perdamaian dan persaudaraan adalah harga termahal yang harus ditenun kembali demi Indonesia yang bermartabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar