Menerima
Hasil Demokrasi
Fransisca Ayu Kumalasari ;
Magister Hukum UGM
|
KORAN
JAKARTA, 31 Juli 2014
Alih-alih menyiapkan pidato kekalahan sebagai simbol kedewasaan
berdemokrasi, Prabowo Subianto justru memilih mengundurkan diri dari proses
rekapitulasi suara dan melayangkan gugatan ke Mahkamah Kosntitusi (MK).
Prabowo mempersoalkan perselisihan suara antara hitungan Komisi Pemilihan
Umum (KPU) dan data yang dikumpulkan tim pemenangannya. Dia menduga ada
penyimpangan secara terstruktur dan masif oleh penyelenggara pemilu.
Lalu, apa implikasi bagi hasil dan legitimasi pilpres? Mampukah
Prabowo bersama Tim Perjuangan Koalisi Merah Putih untuk Keadilan memenangkan
gugatan? Sebagai apresiasi pada konstitusi dan legitimasi proses pemilu yang
bermartabat, langkah Prabowo perlu dihargai karena digaransi Undang-Undang
(UU) Pilpres.
Hak konstitusional tersebut dijamin terutama dalam Pasal 201
Ayat (1) UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden/Wapres yang berbunyi,
“Terhadap penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dapat diajukan
keberatan hanya oleh pasangan calon kepada MK dalam waktu paling lama 3 hari
setelah penetapan hasil oleh KPU.” Pertanyaanya, keberatan dalam pengertian
bagaimanakah yang bisa menjadi landasan gugatan kepada MK?
Di Ayat (2) Pasal 201 dikatakan keberatan yang bisa diajukan
hanya terhadap hasil penghitungan suara yang memengaruhi penentuan
terpilihnya pasangan calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada pilpres.
Itu berarti penggugat perlu memperjelas pada aspek-aspek dan lokus mana saja
terjadi kecurangan elektoral yang berdampak pada proses dan hasil perhitungan
suara.
Misalnya, perlu dirinci TPS-TPS yang diduga menjadi tempat
penggelembungan suara atau jenis kecurangan lain yang diduga. Dalam pidato
pengunduran dirinya (22/7), Prabowo menjelaskan begitu banyak hal yang
berkaitan dengan kecurangan, di antaranya ada pejabat yang mencoblos
“kolektif,” ketidaknetralan KPU, kecurangan terstruktur, sistematis, dan
masif di berbagai tempat. Bahkan, rekomendasi Bawaslu yang tidak dilaksanakan
KPU.
Ia juga mencontohkan di Papua terdapat 14 kabupaten yang tidak
pernah mencoblos, tetapi ada hasil pemilu. Ada 5.000 lebih TPS di DKI yang
direkomendasikan pemungutan suara ulang (PSU), tetapi tidak digubris KPU.
Sulit
Berdasarkan hasil rekapitulasi perhitungan suara KPU, pasangan
Prabowo-Hatta meraih 62.576.444 suara (46,85 persen) dan Joko Widodo-Jusuf
Kalla (Jokowi-JK) 70.997.833 suara (53,14 persen). Dengan demikian, ada
selisih 8.421.389 suara. Itu berarti tim penasihat hukum Prabowo-Hatta harus
bisa membuktikan bahwa benar terjadi kecurangan yang membuat mereka
kehilangan lebih dari 4,21 juta suara. Sebaliknya, suara pasangan Jokowi-JK
menggelembung lebih dari 4,21 juta suara.
Jika dicermati, ini sesuatu yang sulit dilakukan kubu Prabowo
terlebih jika melihat konstelasi perhitungan suara yang terjadi
pasca-pemungutan suara 9 Juli lalu. Bahkan, menurut pengalaman Mantan Ketua
MK, Mahfud MD, sulit bagi MK untuk membuktikan suara kubu Prabowo-Hatta
hilang diambil Jokowi-JK sekitar 4 juta–5 juta suara, lalu membalikkan
keadaan untuk kemenangan Jokowi-JK. Mengingat sepanjang mengurus sengketa
suara, MK belum pernah menganulir suara sebesar itu baik dalam gugatan pilpres
maupun pilkada-pilkada.
Terkait pernyataan Prabowo, 5.000 lebih TPS DKI yang tidak
diadakan PSU, Bawaslu pun telah mengoreksi. Ketua Bawaslu, Muhammad,
mengatakan rekomendasi Bawaslu DKI yang diberikan terkait 5.841 TPS hanya
dilakukan pencermatan, bukan PSU. Menurutnya, rekomendasi PSU hanya dilakukan
di 13 TPS dan telah dilaksanakan. Untuk pencermatan 5.841 TPS sudah
ditindaklanjuti. Hanya, belum semua karena keterbatasan waktu.
Hal yang tak kalah penting soal dugaan kecurangan oleh Tim
Prabowo-Hatta yang terjadi dalam proses pemungutan suara tentu pada saatnya
akan dikonfrontir oleh kenyataan bahwa dalam proses rekapitulasi suara
berjenjang dimulai dari tingkat TPS, kecamatan, kabupaten/kota, dan provinsi
hingga pusat, saksi dari pasangan Prabowo-Hatta telah menandatangani
perhitungan suara tanpa keberatan.
Di tingkat pusat, Bawaslu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu (DKPP) juga telah menerima rekapitulasi perhitungan suara Pilpres
2014. Ini berarti, dugaan kecurangan pemilu yang dinilai masif, sistematis,
perlu dibuktikan dengan kerja ekstra. Sebab realitasnya indikasi kecurangan
hanya terjadi secara parsial. Lagi pula langsung diselesaikan di tiap
tingkatan perekapan suara.
Adapun sinyalemen Yunus Yosfiah, Ketua Tim Perjuangan Koalisi Merah
Putih untuk Keadilan sebagai pengganti Tim Pemenangan Pasangan Prabowo-Hatta,
soal peretas dari Tiongkok dan Korea Selatan yang menggelembungkan sekitar 4
juta suara dan 14 kabupaten/kota di Papua yang tak menggelar pemungutan
suara, tetapi suaranya dihitung, sehingga hal ini perlu dipertanggungjawabkan
KPU, sudah dibantah Markas Besar Polri (23/7).
Menurut Mabes, 37 hackers atau peretas itu hanya melakukan cyber
crime, bukan penggelembungan suara. Mereka hanya melakukan penipuan dan
pemerasan. Korbannya bukan orang Indonesia. Mereka hanya menipu dan memeras
orang Tiongkok di negeri sendiri.
Tidak Solid
Permohonan keberatan pasangan Prabowo-Hatta ke-MK pun bakal
tidak semulus yang dibayangkan, sebab terjadi semacam friksi internal dalam
penyampaian keberatan yang didului pidato penguduran diri Prabowo 22 Juli.
Selain karena tidak didampingi Hatta Radjasa, beberapa tokoh mitra koalisi
malah sudah lebih dulu menyatakan sikap menerima hasil rekapitulasi dan
penetapan KPU seperti anaknya Amien Rais, Hanafi Rais, termasuk Mahfud MD.
Padahal lazimnya, surat kuasa tim penasihat hukum Prabowo-Hatta
terkait keberatan pilpres yang dialamatkan ke MK juga harus tercantum tanda
tangan Prabowo dan Hatta. Jika dalam pengajuan permohonan ke MK hanya salah
satu saja yang menandatanganinya, apakah MK masih mau menerima? Yang jelas
kesatuan sikap seluruh tim pemohon sangat dibutuhkan sebagai bagian dari
konfirmasi legal dan moral terhadap fakta yang akan disengketakan di MK.
Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Hatta Radjasa,
mengatakan sesungguhnya tidak menghilang saat proses rekapitulasi, melainkan
bersama keluarga sedang menemani putrinya yang melahirkan di Rumah Sakit
Pondok Indah. Akan tetapi, informasi lain juga beredar bahwa selepas proses
rekapitulasi dan penetapan pemenang pilpres oleh KPU, sempat terjadi
komunikasi antara Hatta dan Presiden SBY yang juga besannya.
SBY menyarankan agar Hatta menerima apa pun hasil yang
ditetapkan KPU demi tetap menjaga dan memelihara suasana bangsa kondusif.
Jauh di atas semuanya, rasanya belum telat untuk kembali menyerukan kepada
elite-elite, tokoh bangsa, teristimewa kubu Prabowo-Hatta, untuk sejak
sekarang memupuk spirit kematangan dalam menerima hasil kerja demokrasi.
Perdamaian dan persaudaraan adalah harga termahal yang harus ditenun kembali
demi Indonesia yang bermartabat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar