Jumat, 15 Agustus 2014

Menegakkan “Politik Cinta”

                                     Menegakkan “Politik Cinta”

Ali Rif’an  ;   Peneliti Poltracking dan Mahasiswa Pascasarjana UI
SINAR HARAPAN, 14 Agustus 2014
                                                


Istilah “politik cinta” memang tidak ada dalam literatur ilmu politik. Namun, istilah ini agaknya menarik untuk diulas saat ini.

Pasca-hasil rekapitulasi KPU tanggal 22 Juli lalu, riuh rendah berbagai umpatan, ungkapan-ungkapan satir, dan saling sindir terus berseliweran di media sosial. Dari menjelang pilpres hingga sekarang, masyarakat Indonesia seolah terbelah menjadi dua. Satu berada di kubu Jokowi-JK dan satu lagi di barisan Prabowo-Hatta.

Hal itu terlihat misalnya banyak di antara para kiai, tokoh masyarakat di kampung, bahkan suami-istri dan anak dengan bapak dalam satu keluarga. Mereka kerap berdebat mengenai dukungan mereka masing-masing.

Suasana di warung kopi, kantor, kampus, serta tempat ibu-ibu arisan pun riuh dengan obrolan politik. Bahkan, dalam suasana silaturahmi Lebaran, obrolan politik menjadi tema seksi yang tak pernah mati.

Itulah kenapa, banyak orang bilang pilpres kali ini merupakan hajatan demokrasi lima tahunan paling menegangkan dalam sejarah politik Indonesia pasca-Reformasi. Tak hanya karena terdapat dua pasangan capres-cawapres, dua kubu pasangan cukup berimbang dan memiliki pendukung sama kuatnya.

Itu pula yang menyebabkan situasi menjelang hasil pengumuman rekapitulasi KPU kemarin cukup mencekam. Beberapa lembaga survei yang menyelenggarakan hitung cepat (quick count) bahkan mendapat teror.

Menuntaskan Rekonsiliasi

Kini, setelah KPU mengumumkan hasil rekapitulasinya, satu hal lagi yang ditunggu adalah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) ihwal gugatan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan, atau adanya dugaan kecurangan dalam pilpres.

Tentu setelah MK mengetok palu, itulah presiden-wakli presiden yang sah secara konstitusi. Tentu dalam menyikapi keputusan MK nanti, kedewasaan serta keadaban berpolitik dari kedua kubu harus diperlihatkan kepada masyarakat.

Seyogianya, yang menang tidak takabur dan yang kalah tetap legawa. Mengutip ungkapan Sri Sultan HB X, “Yang menang tidak boleh umuk, sementara yang kalah juga tidak boleh ngamuk”.

Seperti dikatakan KH A Musthofa Bisri (Gus Mus), “Presiden terpilih tak hanya pilihan rakyat, tetapi juga pilihan Tuhan. Mau tim sukses polah sehebat apa pun, kalau Tuhan tidak memilih calonnya jadi presiden, maka tidak akan terpilih.”

Tugas kedua belah kubu pada hari-hari mendatang justru adalah segera menuntaskan rekonsiliasi politik yang sudah mulai dibangun akhir Ramadan.

Rekonsiliasi politik ini penting karena bisa menjadi oase di tengah kepenatan politik dan rasa saling curiga yang belakangan ini terus menyembul. Dengan rekonsiliasi politik, diharapkan keteduhan politik akan muncul serta harapan baru tentang kebajikan dalam kebijakan politik akan lahir.

Politik Cinta

Salah satu cara agar rekonsiliasi politik berjalan mulus, adalah dengan menyematkan virus cinta di dalam tubuh politik. Politik cinta harus ditegakkan. Politik yang selama ini identik dengan arena yang kejam, penuh intrik, dan tipu-tipu, harus dibasuh dengan cinta serta kasih sayang.

Meski kedua istilah ini sekilas tampak bertabrakan, mengawinkan keduanya bukanlah hal yang salah. Sebab, politik yang diiringi cinta akan melahirkan sebuah keagungan di dalam politik itu sendiri.

Politik sesungguhnya adalah kerja berbasis akal, sementara cinta bekerja berbasis hati. Politik identik dengan kekuasaan lahiriah, sementara cinta identik dengan kekayaan batiniah. Ibarat kita hendak berpergian jauh, politik adalah kendarannya sedangkan cinta yang mengemudikannya. Politik memang medan yang kerap mendatangkan lawan, namun cinta akan membuatnya jadi kawan.

Pada titik itulah, politik cinta sejatinya akan dapat menyatukan dua kubu yang saling berhadapan. Dengan politik cinta, perbedaan di antara kedua individu atau kelompok justru dapat menjadi energi untuk mendekatkan satu sama lain guna membangun bangsa ini.

Untuk membangun bangsa besar, tidak hanya membutuhkan pikiran-pikiran yang seragam. Perbedaan ide atau pandangan, asalkan tetap dalam bingkai cinta, justru akan membuat sebuah bangunan tampak indah dan kokoh.

Akhir kata, kita agaknya harus berani belajar dari seorang Mahatma Gandhi, yang begitu santun dan penuh kasih sayang dalam setiap sikap politiknya. Tokoh dari India ini telah mampu mengejawantahkan apa yang disebut politik cinta, sebuah gaya politik yang (sesungguhnya) sangat dirindukan bangsa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar