Menegakkan
“Politik Cinta”
Ali Rif’an ;
Peneliti Poltracking dan
Mahasiswa Pascasarjana UI
|
SINAR
HARAPAN, 14 Agustus 2014
Istilah
“politik cinta” memang tidak ada dalam literatur ilmu politik. Namun, istilah
ini agaknya menarik untuk diulas saat ini.
Pasca-hasil
rekapitulasi KPU tanggal 22 Juli lalu, riuh rendah berbagai umpatan,
ungkapan-ungkapan satir, dan saling sindir terus berseliweran di media
sosial. Dari menjelang pilpres hingga sekarang, masyarakat Indonesia seolah
terbelah menjadi dua. Satu berada di kubu Jokowi-JK dan satu lagi di barisan
Prabowo-Hatta.
Hal
itu terlihat misalnya banyak di antara para kiai, tokoh masyarakat di
kampung, bahkan suami-istri dan anak dengan bapak dalam satu keluarga. Mereka
kerap berdebat mengenai dukungan mereka masing-masing.
Suasana
di warung kopi, kantor, kampus, serta tempat ibu-ibu arisan pun riuh dengan
obrolan politik. Bahkan, dalam suasana silaturahmi Lebaran, obrolan politik
menjadi tema seksi yang tak pernah mati.
Itulah
kenapa, banyak orang bilang pilpres kali ini merupakan hajatan demokrasi lima
tahunan paling menegangkan dalam sejarah politik Indonesia pasca-Reformasi.
Tak hanya karena terdapat dua pasangan capres-cawapres, dua kubu pasangan
cukup berimbang dan memiliki pendukung sama kuatnya.
Itu
pula yang menyebabkan situasi menjelang hasil pengumuman rekapitulasi KPU
kemarin cukup mencekam. Beberapa lembaga survei yang menyelenggarakan hitung
cepat (quick count) bahkan mendapat
teror.
Menuntaskan
Rekonsiliasi
Kini,
setelah KPU mengumumkan hasil rekapitulasinya, satu hal lagi yang ditunggu
adalah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) ihwal gugatan dari pihak-pihak yang
merasa dirugikan, atau adanya dugaan kecurangan dalam pilpres.
Tentu
setelah MK mengetok palu, itulah presiden-wakli presiden yang sah secara
konstitusi. Tentu dalam menyikapi keputusan MK nanti, kedewasaan serta
keadaban berpolitik dari kedua kubu harus diperlihatkan kepada masyarakat.
Seyogianya,
yang menang tidak takabur dan yang kalah tetap legawa. Mengutip ungkapan Sri
Sultan HB X, “Yang menang tidak boleh umuk, sementara yang kalah juga tidak
boleh ngamuk”.
Seperti
dikatakan KH A Musthofa Bisri (Gus Mus), “Presiden
terpilih tak hanya pilihan rakyat, tetapi juga pilihan Tuhan. Mau tim sukses
polah sehebat apa pun, kalau Tuhan tidak memilih calonnya jadi presiden, maka
tidak akan terpilih.”
Tugas
kedua belah kubu pada hari-hari mendatang justru adalah segera menuntaskan
rekonsiliasi politik yang sudah mulai dibangun akhir Ramadan.
Rekonsiliasi
politik ini penting karena bisa menjadi oase di tengah kepenatan politik dan
rasa saling curiga yang belakangan ini terus menyembul. Dengan rekonsiliasi
politik, diharapkan keteduhan politik akan muncul serta harapan baru tentang
kebajikan dalam kebijakan politik akan lahir.
Politik Cinta
Salah
satu cara agar rekonsiliasi politik berjalan mulus, adalah dengan menyematkan
virus cinta di dalam tubuh politik. Politik cinta harus ditegakkan. Politik
yang selama ini identik dengan arena yang kejam, penuh intrik, dan tipu-tipu,
harus dibasuh dengan cinta serta kasih sayang.
Meski
kedua istilah ini sekilas tampak bertabrakan, mengawinkan keduanya bukanlah
hal yang salah. Sebab, politik yang diiringi cinta akan melahirkan sebuah
keagungan di dalam politik itu sendiri.
Politik
sesungguhnya adalah kerja berbasis akal, sementara cinta bekerja berbasis
hati. Politik identik dengan kekuasaan lahiriah, sementara cinta identik
dengan kekayaan batiniah. Ibarat kita hendak berpergian jauh, politik adalah kendarannya
sedangkan cinta yang mengemudikannya. Politik memang medan yang kerap
mendatangkan lawan, namun cinta akan membuatnya jadi kawan.
Pada
titik itulah, politik cinta sejatinya akan dapat menyatukan dua kubu yang
saling berhadapan. Dengan politik cinta, perbedaan di antara kedua individu
atau kelompok justru dapat menjadi energi untuk mendekatkan satu sama lain
guna membangun bangsa ini.
Untuk
membangun bangsa besar, tidak hanya membutuhkan pikiran-pikiran yang seragam.
Perbedaan ide atau pandangan, asalkan tetap dalam bingkai cinta, justru akan
membuat sebuah bangunan tampak indah dan kokoh.
Akhir
kata, kita agaknya harus berani belajar dari seorang Mahatma Gandhi, yang
begitu santun dan penuh kasih sayang dalam setiap sikap politiknya. Tokoh dari
India ini telah mampu mengejawantahkan apa yang disebut politik cinta, sebuah
gaya politik yang (sesungguhnya) sangat dirindukan bangsa ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar