Dino Umahuk,
Budayawan Melintang ke Politisi
Muliansyah Abdurrahman Ways ;
Peneliti Sosial-Politik
|
OKEZONENEWS,
14 Agustus 2014
Teringat
ketika salah satu intelektual dan peneliti di Indonesia yang masuk dalam
dunia politik praktis, dunia anta baranta yang selalu tertekan dalam
kehidupannya, mereka adalah orang-orang baik yang terus berpikir tidak
sekadar pragmatisme belaka, tetapi mereka terlahir dalam bingkai substansi
kemanusiaan.
Nama
Indra Jaya Piliang yang kita kenal bersama sebagai manusia biasa yang lahir
dan besar pada lingkungan intelektualitas murni, namun atas keprihatinan
terhadap kondisi bangsa Indonesia pada saat itu, beliau langsung memohon izin
kepada seluruh intelektual di Indonesia untuk masuk dalam lingkaran politik
(Partai Golkar menjadi pilihan “kendaraan” perjuangannya).
Tergiur
ataupun gelisah melihat realitas kehidupan panggung sandiwara yang tidak ada
batas kehidupan tertimpa, terselimut dan terbingkai dengan kebinasaan
manusia, melihat dan selalu merunduk keprihatinan setiap orang dalam setiap
episode yang terus bergerak. Bergerak entah mundur dan bergerak entah maju,
terpikirkah kita, di saat kita terlahir dari sedetik berubah menjadi siapakah
kita?, dan darimakah kita? dan untuk apakah kita?. Pertanyaan-pertanyaan juga
melintangi kita pada setiap bait kehidupan. Namun siapakah yang akan
melahirkan catatan historis dalam bingkai kehidupan kita yang sudah
tertorehkan, bukankah kita adalah manusia, bukankah kita adalah mahluk
ciptaan semestaan atau bukankah kita adalah manusia seperti yang kita lihat.
Secara
harafiah memang kita mampu mendefenisikan siapakah kita, namun dalam qalam
ilahi kita juga sering bertanya siapakah kita, sederet dengan pertanyaan di
atas mungkinkah kita bisa bertanya siapakah Dia, kita kenal dia bukan dia
yang bermasaalah, kita kenal dia juga bukan karena dia membesarkan kita dan
kita kenal dia juga bukan adalah anak seorang raja. Tetapi dia adalah sosok
manusia yang selama ini memikirkan dan menorehkan tinta hidup dalam setiap
alinea di lembar perjumpaan-perjumpaan hidup pada dialekika kita. Terjumpalah
kita dengan dia di lembar kertas putih yang selama ini menjadi perjumpaan para
intelektualitas yang tanpa mengetahui siapakah dia dan darimanakah dia, namun
yang kita ketahui adalah gagasan brilian dalam bentuk ontology puisi yang
terus bermakna hidup untuk kita.
Dari Perjumpaan ke
Politisi
Makna
ontology hidup itulah kita kenal nama Dino Umahuk, sosok manusia yang disebut
sebagai Budayawan Maluku Utara, kita punya beberapa intelektual yang
budayawan berpengaruh, karya sastranya hingga dibaca oleh pelosok dunia,
termasuk karya Nukila Amal yang melahirkan narasi “Cala Ibi”, tentu Dino
Umahuk juga kita tahu yang belum bisa tertandingi oleh siapa dalam tampilan
puisinya. Keheningan puisinya selalu kita tersandra dalam hidupnya, berperan
sebagai sosok manusia pemikir yang menelaah segudang persoalan yang tertimpah
di saat Ia melihatnya dalam setiap persoalan.
Makna
perjumpaan juga kita melihat antara Imam Ja’far Sadiq dan Nur Sifa serta
keempat putranya menjadi risalah utama terlahirlah empat kerajaan Islam di
Nusantara, Yakni Ternate, Tidore, Moti/Jailolo dan Makian/Bacan. Tentu kita
sedikit meminjam istilah perjumpaan yang pernah disampaikan, (Prof.Dr. Gufran
Ali Ibrahim, 2014) bahwa “Setiap Manusia selalu berjumpa, namun berjumpa
selalu berbeda, itulah manusia”. Teori perjumpaan tersebut dapat kita jadikan
sandaran atas perjumpaan kita dengan sosok Dino Umahuk, setiap sudut banyak
yang berjumpa dengan sosok tersebut.
Sudut
akademisi tentu berfikir melihat Dino Umahuk sebagai sosok akademisi yang
mengabdikanya, sudut aktivis muda juga akan berjumpa dengan Dino Umahuk
sebagai inspirasi generasi muda belakangan ini dan para intelektual budayawan
juga akan berjumpa dengan Dino sebagai pemikir besar di Maluku Utara.
Akankah
perjumpaan tersebut berubah sedetik yang kita kenal Dino Umahuk, atau kita
akan selalu berjumpa dengan kuasa dan kepentingan disaat perpolitikan selalu
tergiur. Makna perjumpaan kita akan berubah menjadi perjumpaan tergiur dan
tersandra dengan kekuasaan ansi dalam setiap perdebatanya, bila “benar” akan
kehilangan postur intelektual yang lahir dari budayawan ataukah keprihatinan
itulah menjadi langkah jitu untuk bergabung dengan lingkaran politik yang
terstruktur dan tergiur dengan kepentingan. Apakah perjumpaan kita juga akan
beralih profesi atau perjumpaan kita akan tetap menjadi bingkai keutuhan
dalam keprihatinan kita.
Sedikit
di telisik bahwa politik praktis adalah dunia kepentingan yang tak ada yang
benar dan tak ada yang salah, tetapi dunia tersebut terus menjadi persaingan
yang tanpa ada titik akhirnya, yang menang selalu tertekan dan yang kalah
selalu mengkritisi sampai menunggu momentum politik yang berikutnya. Tidak
ada kata lain, selain kata “ihtiar politik”, karena perjumpaan selalu
didasari atas kepentingan dan tergiur oleh kuasa-kuasa politik yang
terdrama.
Dino
Umahuk adalah sosok Budayawan, kini melintangi di dunia kehidupan politik,
tentu tidak semudah itu yang Ia pikirkan sebelum bergabung ke salah satu
partai politik. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) adalah menjadi partai
perjuangan Dino Umahuk dalam merangkai ke jenjang politik praksis, dalam
rilisan koran Malut Post (Senin, 11 Agustus 2014) telah memberitakan bahwa nama Dino Umahuk
di berikan Jabatan sebagai salah satu wakil ketua di DPD Partai Hanura Maluku
Utara. Salah satu jabatan penting yang diamanahkan kepada Dino Umahuk dalam
partai tersebut adalah bagian dari manivestasi Dino dalam politik praktis di
Maluku Utara.
Antara tergiur dan
keprihatinan
Politik
memang satu-satunya alat yang tersistem dalam Negara kesatuan Republik
Indonesia, apapun bentuknya wilayah politik kini masih menjadi pilar dalam
merebut kekuasaan dimanapun kita berada. Menjadi politisi adalah ungkapan
puitis yang di tengarai dengan segala bentuk kesiapan serta risiko yang harus
disiapkan, mentalitas sebagai seorang politisi perlu dibarengi dengan
nilai-nilai keilmuan dan tentu memiliki jiwa-jiwa yang berintegritas.
Melintang menjadi Politisi, Dino dibaca oleh penulis sebagai sosok Budayawan
yang kini memilih politik sebagai jalan pengabdiannya, bukankah pengabdian
bisa di defenisikan sebagai bentuk kiprahnya di lefel mana saja atau tempat
apa saja.
Kiranya
Dino Umahuk sudah berpikir lebih ihtiar dalam perjuangannya, namun menjadi
politisi merupakan substansi kepentingan maupun kekuasaan yang harus
dikuasai, bila kepentingan kita tercapai, maka itulah bagian dari kemenangan
politik yang dinantikan, tinggal bagimana kemenangan politik tersebut dirawat
bahkan di pupuk untuk selalu menjaga stablitas hidup di lingkungan
kemerdekaan sejati.
Dino
kini sudah didefenisikan ulang sebagai anak bangsa yang lebih berperan
sebagai sosok politisi dan pemikir di negeri ini. Tergiur dan keprihatinan
adalah dua kata yang terbenturkan atau kontradiktif dalam pemaknaannya, makna
tergiur adalah menjelaskan Dino Umahuk sebagai seorang Budayawan yang
terpengaruh dengan kuasa kepentingan sesat atau Dino Umahuk juga di
defenisikan sebagai seorang pemikir/budayawan yang tidak sekadar menoreh
tinta di kertas putih, apalah artinya sebuah nama bila Dino hanya berkutat
pada hedonism keintektualan, tetapi Dino mencoba menjawab problem dengan
bagaimana Ia membangun negeri tercinta lewat panggung politik yang
dipilihnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar