Menara
Gading
James Luhulima ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
16 Agustus 2014
Joko
Widodo yang akrab disapa dengan Jokowi telah beberapa kali berada di posisi
pemimpin, antara lain sebagai wali kota dan gubernur. Dan, jika Mahkamah
Konstitusi pada tanggal 21 Agustus mendatang akhirnya memutuskan tidak ada
yang salah dengan pemilu presiden yang diselenggarakan pada 9 Juli lalu,
Jokowi akan menjadi pemimpin tertinggi di negara ini.
Sama
seperti Jokowi, Prabowo Subianto pun dalam karier militernya berulang kali
menjadi pemimpin, terakhir sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis
Angkatan Darat (Kostrad). Dan, setelah diberhentikan dari militer, Prabowo
menjadi pemimpin Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).
Persoalan
dengan para pemimpin adalah mereka selalu diistimewakan dan ditempatkan di
tempat yang tertinggi. Dan, jika mereka tidak berhati-hati, mereka akan
ditempatkan sedemikian tinggi seperti duduk di menara gading, dan terasing
dari realitas di sekitarnya.
Saat
menjadi wali kota dan gubernur, melalui gaya blusukan-nya, Jokowi memahami
realitas di sekitarnya. Namun, seandainya nanti Jokowi menjadi presiden,
tentunya gaya blusukan ini tidak mudah lagi dilakukan. Tentunya Jokowi harus
mencari cara baru untuk tetap dapat memahami realitas di sekitarnya.
Pemimpin
dikelilingi oleh orang-orang dekatnya, yang disebut dengan inner circle, orang-orang yang berada
di lingkar dalam. Pengetahuan pemimpin mengenai keadaan di sekitarnya
diperolehnya dari laporan orang-orang yang berada di lingkar dalam, yang
belum tentu sesuai dengan realitas di sekitarnya. Dan, jika keadaan seperti
itu terus berlangsung, lama-kelamaan pemimpin itu terasing dari realitas di
sekitarnya.
Menjelang
Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) 9 April 2014, dalam percakapan di
kediamannya, Prabowo menyatakan keyakinannya bahwa Gerindra akan meraih 20
persen suara. Waktu itu beberapa survei yang diadakan menyebutkan perolehan
suara Gerindra di bawah 12 persen. Ketika ditanya mengapa ia sangat yakin
Gerindra akan meraih 20 persen suara, Prabowo menyebutkan, ”Kami memiliki hitungan sendiri yang
dilakukan oleh kader-kader Gerindra di daerah-daerah, dan dari hitungan kami,
Gerindra akan meraih 20 persen suara.”
Namun,
keyakinan itu tidak sesuai dengan realitas. Menurut perhitungan akhir Komisi
Pemilihan Umum (KPU), Gerindra hanya meraih 11,81 persen suara.
Hal
yang sama berulang pada pemilihan presiden secara langsung (pilpres) 9 Juli
2014. Hasil perhitungan akhir KPU menyebutkan, Jokowi unggul. Akan tetapi,
Prabowo tetap yakin bahwa dialah yang menang dalam pilpres itu. Ia membawa
persoalan itu ke Mahkamah Konstitusi.
Presiden
Soeharto (1968-1998) mengalami hal itu. Kekuasaan yang semakin besar membuat
orang-orang yang berada di lingkar dalamnya pada akhirnya hanya menyampaikan
informasi yang ingin didengar oleh Soeharto. Asal bapak senang (ABS), dan
bukan realitas yang ada.
Akibatnya,
ketika pada awal tahun 1998 Soeharto menanyakan apakah rakyat masih
menginginkan ia menjadi presiden untuk periode 1998-2003? Dengan serentak
orang-orang yang berada di lingkar dalam, menjawab, ”Masih!” Oleh karena pada saat itu mereka menilai, jawaban
seperti itulah yang ingin didengar oleh Soeharto. Pada saat itu, tidak ada
satu pun di antara orang di lingkar dalam yang berani memberikan jawaban yang
berbeda. Salahnya, jika itu dapat dikatakan sebagai kesalahan, Soeharto
percaya sepenuhnya dengan jawaban mereka.
Hasilnya,
Soeharto didesak rakyat untuk berhenti dari jabatannya sebagai presiden,
hanya 70 hari setelah ia dilantik sebagai Presiden untuk periode 1998-2003,
tepatnya 21 Mei 1998. Soeharto kemudian menyalahkan orang-orang yang berada
di lingkar dalamnya karena dianggap tidak benar-benar mencari tahu keinginan
rakyat yang sesungguhnya.
Tanggal
18 Mei 1998 malam, dalam percakapan dengan Nurcholish Madjid di kediaman
Jalan Cendana No 8-10, Presiden Soeharto sempat disinggung soal pengunduran
dirinya. Menurut Nurcholish (saat itu), Presiden Soeharto mengatakan, ”Saya kan sudah lama ingin itu…
(mengundurkan diri). Ini, kan, gara-gara Harmoko (Ketua MPR) dan Fraksi Karya
Pembangunan (orang-orang Golkar yang berada di MPR).” Namun, saat itu,
tidak sedikit orang yang berpendapat, posisi Harmoko sangat sulit. Siapa yang
berani mengatakan tidak pada Presiden Soeharto?
The Presidents Club
Presiden
Amerika Serikat pun mengalami hal yang sama. Kekuasaan yang sangat besar yang
tertumpu pada dirinya membuat ia terdorong tinggi ke atas. Namun, sistem
demokrasi yang telah teruji lebih dari 200 tahun membuat mereka tidak
terasing dari realitas di sekitarnya.
Namun,
ada persoalan besar lain yang dihadapi Presiden AS. Tidak jarang ia
terisolasi sendirian ketika ia harus mengambil keputusan penting dan
strategis yang dampaknya sangat besar, atau memiliki kerahasiaan yang sangat
tinggi. Sesuatu hal yang tidak dapat dibicarakan dengan siapa pun, termasuk
orang-orang yang berada di lingkar dalam. Hal itu memberikan tekanan yang
sangat besar pada diri presiden yang bersangkutan.
Jika
tekanan itu sudah ke batas yang tidak dapat ditahan, ia tidak mempunyai
pilihan lain, kecuali membicarakan hal itu dengan orang yang pernah berada di
posisi yang sama, yakni presiden-presiden sebelumnya. Mereka pandai menjaga
rahasia. John F Kennedy menelepon Dwight Eisenhower pada pagi hari menjelang
ia mengumumkan akan mengisolasi Kuba yang bisa memicu perang nuklir. Bill
Clinton menelepon Richard Nixon pada tengah malam untuk berbahas tentang
Rusia dan Tiongkok.
Presiden
dan para mantan presiden itu terwadahi dalam kelompok yang disebut The Presidents Club, atau kelompok
yang paling eksklusif di dunia. Obama berhubungan baik dengan semua mantan
Presiden AS. Obama pernah mengundang empat mantan presiden ke Ruang Oval di
Gedung Putih, yakni George HW Bush (senior), George W Bush (yunior), Jimmy
Carter, dan Bill Clinton, untuk ngobrol-ngobrol. Kelompok itu juga disebut
dengan The Secret Society of American
Presidents. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar