Menakar
Ukuran Ideal Struktur Kabinet
W Riawan Tjandra ; Doktor Hukum Administrasi Negara UGM,
Pengajar Hukum Kenegaraan FH Universitas Atma Jaya
Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 05 Agustus 2014
KONTROVERSI seputar kedudukan
wakil menteri dalam struktur kabinet kian menguat di ruang publik di saat
Jokowi-JK selaku pasangan presiden terpilih (elected president) meminta masukan masyarakat seputar komposisi
kabinet sebagai masukan dalam penyusunan kabinet mendatang. Munculnya jabatan
wakil menteri dalam struktur kabinet, yang di era pemerintahan SBY-Boediono
diisi dengan 19 wakil menteri, dijustifikasi oleh Pasal 10 UU No 39 Tahun
2008 tentang Kementerian Negara. Pasal 10 UU Kementerian tersebut mengatur
bahwa dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara
khusus, Presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu.
Sebenarnya, pro-kontra seputar
eksistensi wakil menteri dalam struktur kabinet telah berupaya diatasi oleh
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 79/PUU-IX/2011 yang pada waktu itu
telah membatalkan bagian Penjelasan Pasal 10 UU Kementerian. Salah satu
konsiderasi putusan MK tersebut menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 10 UU Nomor
39 Tahun 2008 yang menentukan bahwa wakil menteri adalah pejabat karier dan
bukan merupakan anggota kabinet ialah tidak sinkron dengan ketentuan Pasal 9
ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 2008, sebab menurut pasal tersebut susunan
organisasi kementerian terdiri dari atas unsur pemimpin yaitu menteri;
pembantu pemimpin yaitu sekretariat jenderal; pelaksana tugas pokok yaitu
direktorat jenderal; pengawas yaitu inspektorat jenderal; pendukung yaitu
badan atau pusat; dan pelaksana tugas pokok di daerah dan/atau perwakilan
luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Apabila wakil menteri
ditetapkan sebagai pejabat karier, sudah tidak ada posisinya dalam susunan
organisasi kementerian sehingga hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum
yang adil, yang berarti bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pada saat itu, kontroversi
mengenai eksistensi wakil menteri dalam kabinet Indonesia Bersatu jilid II
juga dipicu oleh adanya nuansa politisasi dalam pengangkatan jabatan wakil
menteri yang oleh MK dinilai tampak dari terjadinya perubahan Peraturan
Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian
Negara sampai dua kali menjelang (Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2011
tanggal 13 Oktober 2011) dan sesudah (Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2011 tanggal
18 Oktober 2011) pengangkatan wakil menteri Oktober 2011 yang oleh sebagian
masyarakat dipandang sebagai upaya menjustifikasi orang yang tidak memenuhi
syarat untuk diangkat menjadi wakil menteri supaya memenuhi syarat tersebut.
Perubahanperubahan perpres tersebut tampak dibuat secara kurang cermat
sehingga mengacaukan sistem pembinaan pegawai sebagaimana telah diatur dengan
peraturan perundang-undangan yang ada lebih dulu.
Kabinet kerja
Isu penting yang kemudian juga
harus dielaborasi lebih jauh lagi di samping persoalan eksistensi wakil
menteri ialah struktur ideal kabinet kerja (zaken kabinet) yang dalam teori
hukum administrasi negara harus memenuhi syarat fundamental suatu organisasi
pemerintah, yaitu efektif (doelmatigheid)
dan efisien (doeltreffenheid).
Sejatinya, UU Kementerian telah didasar kan oleh paradigma yang baik dalam
meletakkan prinsip-prinsip fundamental dalam penyusunan struktur organisasi
kementerian dalam sistem ketatanegaraan.
Ditinjau dari sisi yuridis,
penguatan kerangka hukum (legal
framework) terkait pengaturan struktur organisasi kementerian dari semula
hanya didasarkan atas keppres dan perpres lebih memenuhi prinsip kepastian
hukum bagi eksistensi dan manajemen organisasi kementerian. UU Kementerian
telah bergerak pada beberapa landasan penting dalam menyusun struktur
organisasi kementerian, di antaranya harus didasarkan prinsip-prinsip;
kebutuhan (need theory), penetapan
tujuan (goal-setting theory), dan
harapan publik (expectacy theory).
Misalnya, Pasal 4 ayat (1) UU Kementerian, yang menegaskan bahwa setiap
menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan, telah memenuhi prinsip
goal setting theory yang menjadi
asas penting dalam hukum organisasi pemerintah. Artinya, pembentukan struktur
organisasi pemerintah tertentu harus diletakkan di atas dasar tujuan
pembentukan organisasi yang telah ditetapkan sebelum nya.
Prinsip efisiensi
Ada kementerian yang tak boleh
dihapuskan sama sekali karena nomenklaturnya dengan tegas diharuskan selalu
hadir oleh konstitusi (urusan luar negeri, dalam negeri, dan pertahanan). Di
masa darurat pemerintahan, jika suatu saat terjadi keadaan presiden dan wakil
presiden berhalangan tetap secara bersamaan, ketiga kementerian itu bisa
memimpin pemerintahan transisi (triumvirat)
hingga dilaksanakannya pilpres.
Prinsip efisiensi juga sudah
dianut dalam UU Kementerian sebagaimana tampak dalam Pasal 6 UU Kementerian
tersebut yang mengatur bahwa setiap urusan pemerintahan dalam penyusunan
kabinet tidak harus dibentuk dalam satu kementerian tersendiri. Bahkan,
sebenarnya UU Kementerian berdasarkan teori hukum organisasi pemerintah telah
menentukan bahwa dalam pembentukan kementerian harus memperhatikan
kriteria-kriteria, a) efisiensi dan efektivitas, b) cakupan tugas dan
proporsionalitas beban tugas, c) kesinambungan, keserasian, dan keterpaduan
pelaksanaan tugas, dan/atau d) perkembangan lingkungan global. Dengan
demikian, UU Kementerian telah memadukan secara serasi landasan teori
konstitusi dalam pembentukan kementerian yang didasarkan atas hak prerogatif
yang melekat pada jabatan presiden dan prinsip-prinsip modern dalam teori
hukum organisasi pemerintah.
UU Kementerian juga telah
mengatur time limit bagi presiden
dalam membentuk kabinet yakni paling lama 14 hari sejak pengucapan sumpah
jabatan presiden, juga u kuran kuantitatif besaran kabinet yang boleh
dibentuk yakni paling banyak 34 kementerian. Memang, kemudian Pasal 11 UU
Kementerian terkesan masih membuka ruang diskresi bagi presiden dalam
penyusunan kabinet dengan mengatur bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai
tugas, fungsi, dan susunan organisasi kementerian diatur dengan peraturan
presiden.
Hal inilah yang di masa lalu
sebagaimana dikemukakan dalam Putusan MK Nomor 79/ PUU-IX/2011 telah membuka
kembali celah politisasi di saat Presiden SBY membentuk 20 wakil menteri.
Kesan bias kewenangan jabatan wakil menteri dengan tugas, pokok, dan fungsi
dirjen dalam struktur organisasi kementerian kemudian semakin kentara
meskipun putusan MK tersebut berupaya mengambil jalan tengah untuk
mengatasinya.
Ke depan, dalam pengisian
jabatan struktur kementerian dan dirjen di dalamnya seyogianya presiden perlu
memperhatikan dua prinsip penting, yaitu harus mengacu pada knowledge-based trust dan identification-based trust di samping
memperhatikan prinsip defining visionary
leadership.
Para pejabat yang ditunjuk
harus memiliki kapasitas dan dapat dipercaya; memiliki kesesuaian antara
kapasitas personal dan tugas pokok serta fungsi jabatan yang dipercayakan
kepadanya; juga harus mampu menjabarkan secara cermat visi dan misi presiden
yang sudah dituangkan dalam rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) untuk
diimplementasikan secara efektif melalui renstra kementerian/lembaga, rencana
kerja kementerian/ lembaga, dan rencana kerja dan anggaran
kementerian/lembaga untuk merealisasikannya menjadi program-program konkret
yang dapat dirasakan manfaatnya oleh rakyat. Hal itu dimasudkan agar dalam
kurun lima tahun seluruh visi dan misi pasangan capres tersebut dapat
dijabarkan secara tuntas memenuhi janji-janji pasangan capres tersebut di era
kampanye pilpres. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar