Sabtu, 09 Agustus 2014

Menakar Ukuran Ideal Struktur Kabinet

Menakar Ukuran Ideal Struktur Kabinet

W Riawan Tjandra  ;  Doktor Hukum Administrasi Negara UGM,
Pengajar Hukum Kenegaraan FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 05 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

KONTROVERSI seputar kedudukan wakil menteri dalam struktur kabinet kian menguat di ruang publik di saat Jokowi-JK selaku pasangan presiden terpilih (elected president) meminta masukan masyarakat seputar komposisi kabinet sebagai masukan dalam penyusunan kabinet mendatang. Munculnya jabatan wakil menteri dalam struktur kabinet, yang di era pemerintahan SBY-Boediono diisi dengan 19 wakil menteri, dijustifikasi oleh Pasal 10 UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Pasal 10 UU Kementerian tersebut mengatur bahwa dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu.

Sebenarnya, pro-kontra seputar eksistensi wakil menteri dalam struktur kabinet telah berupaya diatasi oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 79/PUU-IX/2011 yang pada waktu itu telah membatalkan bagian Penjelasan Pasal 10 UU Kementerian. Salah satu konsiderasi putusan MK tersebut menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 yang menentukan bahwa wakil menteri adalah pejabat karier dan bukan merupakan anggota kabinet ialah tidak sinkron dengan ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 2008, sebab menurut pasal tersebut susunan organisasi kementerian terdiri dari atas unsur pemimpin yaitu menteri; pembantu pemimpin yaitu sekretariat jenderal; pelaksana tugas pokok yaitu direktorat jenderal; pengawas yaitu inspektorat jenderal; pendukung yaitu badan atau pusat; dan pelaksana tugas pokok di daerah dan/atau perwakilan luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Apabila wakil menteri ditetapkan sebagai pejabat karier, sudah tidak ada posisinya dalam susunan organisasi kementerian sehingga hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil, yang berarti bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Pada saat itu, kontroversi mengenai eksistensi wakil menteri dalam kabinet Indonesia Bersatu jilid II juga dipicu oleh adanya nuansa politisasi dalam pengangkatan jabatan wakil menteri yang oleh MK dinilai tampak dari terjadinya perubahan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara sampai dua kali menjelang (Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2011 tanggal 13 Oktober 2011) dan sesudah (Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2011 tanggal 18 Oktober 2011) pengangkatan wakil menteri Oktober 2011 yang oleh sebagian masyarakat dipandang sebagai upaya menjustifikasi orang yang tidak memenuhi syarat untuk diangkat menjadi wakil menteri supaya memenuhi syarat tersebut. Perubahanperubahan perpres tersebut tampak dibuat secara kurang cermat sehingga mengacaukan sistem pembinaan pegawai sebagaimana telah diatur dengan peraturan perundang-undangan yang ada lebih dulu.

Kabinet kerja

Isu penting yang kemudian juga harus dielaborasi lebih jauh lagi di samping persoalan eksistensi wakil menteri ialah struktur ideal kabinet kerja (zaken kabinet) yang dalam teori hukum administrasi negara harus memenuhi syarat fundamental suatu organisasi pemerintah, yaitu efektif (doelmatigheid) dan efisien (doeltreffenheid). Sejatinya, UU Kementerian telah didasar kan oleh paradigma yang baik dalam meletakkan prinsip-prinsip fundamental dalam penyusunan struktur organisasi kementerian dalam sistem ketatanegaraan.

Ditinjau dari sisi yuridis, penguatan kerangka hukum (legal framework) terkait pengaturan struktur organisasi kementerian dari semula hanya didasarkan atas keppres dan perpres lebih memenuhi prinsip kepastian hukum bagi eksistensi dan manajemen organisasi kementerian. UU Kementerian telah bergerak pada beberapa landasan penting dalam menyusun struktur organisasi kementerian, di antaranya harus didasarkan prinsip-prinsip; kebutuhan (need theory), penetapan tujuan (goal-setting theory), dan harapan publik (expectacy theory). Misalnya, Pasal 4 ayat (1) UU Kementerian, yang menegaskan bahwa setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan, telah memenuhi prinsip goal setting theory yang menjadi asas penting dalam hukum organisasi pemerintah. Artinya, pembentukan struktur organisasi pemerintah tertentu harus diletakkan di atas dasar tujuan pembentukan organisasi yang telah ditetapkan sebelum nya.

Prinsip efisiensi

Ada kementerian yang tak boleh dihapuskan sama sekali karena nomenklaturnya dengan tegas diharuskan selalu hadir oleh konstitusi (urusan luar negeri, dalam negeri, dan pertahanan). Di masa darurat pemerintahan, jika suatu saat terjadi keadaan presiden dan wakil presiden berhalangan tetap secara bersamaan, ketiga kementerian itu bisa memimpin pemerintahan transisi (triumvirat) hingga dilaksanakannya pilpres.

Prinsip efisiensi juga sudah dianut dalam UU Kementerian sebagaimana tampak dalam Pasal 6 UU Kementerian tersebut yang mengatur bahwa setiap urusan pemerintahan dalam penyusunan kabinet tidak harus dibentuk dalam satu kementerian tersendiri. Bahkan, sebenarnya UU Kementerian berdasarkan teori hukum organisasi pemerintah telah menentukan bahwa dalam pembentukan kementerian harus memperhatikan kriteria-kriteria, a) efisiensi dan efektivitas, b) cakupan tugas dan proporsionalitas beban tugas, c) kesinambungan, keserasian, dan keterpaduan pelaksanaan tugas, dan/atau d) perkembangan lingkungan global. Dengan demikian, UU Kementerian telah memadukan secara serasi landasan teori konstitusi dalam pembentukan kementerian yang didasarkan atas hak prerogatif yang melekat pada jabatan presiden dan prinsip-prinsip modern dalam teori hukum organisasi pemerintah.

UU Kementerian juga telah mengatur time limit bagi presiden dalam membentuk kabinet yakni paling lama 14 hari sejak pengucapan sumpah jabatan presiden, juga u kuran kuantitatif besaran kabinet yang boleh dibentuk yakni paling banyak 34 kementerian. Memang, kemudian Pasal 11 UU Kementerian terkesan masih membuka ruang diskresi bagi presiden dalam penyusunan kabinet dengan mengatur bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, fungsi, dan susunan organisasi kementerian diatur dengan peraturan presiden.

Hal inilah yang di masa lalu sebagaimana dikemukakan dalam Putusan MK Nomor 79/ PUU-IX/2011 telah membuka kembali celah politisasi di saat Presiden SBY membentuk 20 wakil menteri. Kesan bias kewenangan jabatan wakil menteri dengan tugas, pokok, dan fungsi dirjen dalam struktur organisasi kementerian kemudian semakin kentara meskipun putusan MK tersebut berupaya mengambil jalan tengah untuk mengatasinya.

Ke depan, dalam pengisian jabatan struktur kementerian dan dirjen di dalamnya seyogianya presiden perlu memperhatikan dua prinsip penting, yaitu harus mengacu pada knowledge-based trust dan identification-based trust di samping memperhatikan prinsip defining visionary leadership.

Para pejabat yang ditunjuk harus memiliki kapasitas dan dapat dipercaya; memiliki kesesuaian antara kapasitas personal dan tugas pokok serta fungsi jabatan yang dipercayakan kepadanya; juga harus mampu menjabarkan secara cermat visi dan misi presiden yang sudah dituangkan dalam rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) untuk diimplementasikan secara efektif melalui renstra kementerian/lembaga, rencana kerja kementerian/ lembaga, dan rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga untuk merealisasikannya menjadi program-program konkret yang dapat dirasakan manfaatnya oleh rakyat. Hal itu dimasudkan agar dalam kurun lima tahun seluruh visi dan misi pasangan capres tersebut dapat dijabarkan secara tuntas memenuhi janji-janji pasangan capres tersebut di era kampanye pilpres.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar