Melawan
Nalar Publik
Romanus Ndau Lendong ; Akademisi Universitas Bina Nusantara Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 06 Agustus 2014
SIAPA pun yang percaya pada
rakyat tidak akan pernah meragukan ke menangan Joko Widodo-Jusuf Kalla
(Jokowi-JK) dalam Pemilihan Presiden 2014. Penetapan Komisi Pemilihan Umum
(KPU) pada 22 Juli lalu merupakan peneguhan totalitas dukungan tulus dan
jujur rakyat terhadap Jokowi-JK untuk memimpin negeri ini.
Kemenangan itu menahbiskan
kristalisasi kehendak rakyat akan pentingnya transformasi kekuasaan. Sikap
hidup Jokowi yang bersahaja, jujur, dan pekerja keras merupakan daya pikat
yang membuat rakyat menaruh harapan padanya. Sikap itu merupakan antitesis
terhadap budaya kekuasaan selama ini yang cenderung menggemari citra, elitis,
dan sarat seremoni.
Jika demikian, Jokowi-JK
menjadi representasi dari keadaban politik yang bertumpu dan bertujuan untuk
mengembalikan daulat rakyat. Demokrasi memulihkan harkat rakyat sebagai rahim
kepemimpinan. Tidak sudi terus menerus ditipu, rakyat belajar untuk lebih
kritis dan mandiri dalam menentukan sosok pemimpin berintegritas.
Bukan saja menolak sogokan,
rakyat miskin seperti bakul jamu, tukang becak, dan buruh bangunan justru
merelakan sebagian rezeki mereka untuk mendukung Jokowi-JK. Kesuksesan
pasangan ini mendapat pembenaran dari nalar publik karena kapasitas dan
integritas diri serta solidnya basis dukungan. Atas dasar itu, gugatan
pasangan nomor urut satu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa ke Mahkamah Konstitusi
(MK) menjadi tidak populer karena menegasikan pilihan rakyat sekaligus
melawan nalar publik. Pertama, penarikan diri Prabowo-Hatta dilakukan setelah
KPU merampungkan rekapitulasi suara di 31 provinsi yang mayoritas dimenangi
Jokowi-JK. Sikap ini sulit dicerna nalar normal. Ibarat Piala Dunia 2014 di
Brasil, Argentina menarik diri dari pesta sepak bola sejagat itu saat panitia
hendak mengukuhkan dominasi Jerman setelah Mario Goetze menjebloskan
satu-satunya gol di partai final.
Mengada-ada
Kedua, kemenangan JokowiJK
sudah diprediksi secara dini oleh delapan lembaga survei kredibel, yakni LSI
Network, CSIS, SMRC, CSIS, Indo Barometer, Poltracking, RRI, dan Litbang
Kompas. Sejak sebelum menjadi capres, popularitas dan elektabilitas Jokowi
mengungguli tokoh lainnya seperti Prabowo, Aburizal Bakrie, Megawati
Soekarnoputri, Mahmud MD, dan Dahlan Iskan.
Keunggulan tersebut bertahan,
bahkan cenderung naik saat dirinya menjadi capres. Secara substantif, pilpres
sudah berakhir 9 April 2014 setelah hitung cepat delapan lembaga tadi
menempatkan Jokowi-JK sebagai pemenang.
Ketiga, Jokowi-JK didukung
mayoritas kekuatan politik yang selama ini tidak terlibat dalam kabinet
SBY-Boediono. Akses Jokowi-JK ke birokrasi tentu kalah dengan Hatta yang
selama ini menduduki posisi strategis di kabinet. Lagi pula, banyak kepala
daerah yang justru berada di barisan Koalisi Merah-Putih. Kecurangan
terstruktur, sistematis, dan masif mengandaikan adanya dominasi atas jaringan
birokrasi. Jadi, tuduhan ini terkesan mengada-ada, jauh dari realitas dan
berpotensi menampar wajah sendiri.
Keempat, KPU dan Bawaslu sudah
bekerja secara transparan dan profesional. Seluruh proses melibatkan rakyat
dan setiap tahapan disebarluaskan kepada publik. Saksi ke dua tim juga sudah
dilibatkan secara total untuk mengawal dan mengawasi perhitungan suara.
Berbagai indikasi kekeliruan dan kecurangan diatasi secara dini. Sudah
semestinya semua pihak memberi apresiasi terhadap KPU dan Bawaslu karena
telah bekerja secara independen dan profesional dalam menyukseskan Pilpres
2014.
Tuduhan serius
Kiranya jelas bagi kita bahwa
gugatan Prabowo-Hatta, meski sah secara hukum, lemah secara sosial. Pertama,
gugatan tersebut merupakan ekspresi dari rendahnya kedewasaan elite dalam berpolitik.
Pentas politik tidak berbeda jauh dari sepak bola di Tanah Air yang penuh
drama dan tragedi. Gairah untuk menang menjungkirbalikkan akal sehat. Segala
jurus dianggap sah, termasuk menebar fitnah dan kekerasan. Kekalahan tidak
lagi jalan untuk mengevaluasi kekurangan diri sendiri, sebaliknya
menimpakannya kepada pihak lain. Politik penuh sesak dengan gugat-menggugat
dan retorika kosong, miskin kearifan.
Kedua, rendahnya kepercayaan
Prabowo-Hatta terhadap netralitas dan profesionalitas pemerintah dan KPU.
Tuduhan ini jelas serius karena kehidupan politik tak lagi dilandasi
norma-norma dan kaidah sosial, terutama semangat untuk saling percaya.
Tergerusnya rasa saling percaya tersebut menjadi ancaman serius bagi
terjaganya kohesi sosial-politik di masa depan.
Kini semua persoalan berada di
pundak MK. Lembaga ini harus mampu bekerja secara independen dan profesional
untuk memulihkan citra dirinya setelah terkoyak oleh mantan Ketua MK Akil
Mochtar yang gemar menggadaikan keadilan untuk akumulasi kapital. MK memiliki
peran mulia untuk menjaga keadaban politik sebaliknya amat berisiko jika
mengambil keputusan yang berlawanan dengan rasa keadilan dan nalar publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar