Sabtu, 09 Agustus 2014

Melawan Nalar Publik

Melawan Nalar Publik

Romanus Ndau Lendong  ;  Akademisi Universitas Bina Nusantara Jakarta
MEDIA INDONESIA, 06 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

SIAPA pun yang percaya pada rakyat tidak akan pernah meragukan ke menangan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dalam Pemilihan Presiden 2014. Penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 22 Juli lalu merupakan peneguhan totalitas dukungan tulus dan jujur rakyat terhadap Jokowi-JK untuk memimpin negeri ini.

Kemenangan itu menahbiskan kristalisasi kehendak rakyat akan pentingnya transformasi kekuasaan. Sikap hidup Jokowi yang bersahaja, jujur, dan pekerja keras merupakan daya pikat yang membuat rakyat menaruh harapan padanya. Sikap itu merupakan antitesis terhadap budaya kekuasaan selama ini yang cenderung menggemari citra, elitis, dan sarat seremoni.

Jika demikian, Jokowi-JK menjadi representasi dari keadaban politik yang bertumpu dan bertujuan untuk mengembalikan daulat rakyat. Demokrasi memulihkan harkat rakyat sebagai rahim kepemimpinan. Tidak sudi terus menerus ditipu, rakyat belajar untuk lebih kritis dan mandiri dalam menentukan sosok pemimpin berintegritas.

Bukan saja menolak sogokan, rakyat miskin seperti bakul jamu, tukang becak, dan buruh bangunan justru merelakan sebagian rezeki mereka untuk mendukung Jokowi-JK. Kesuksesan pasangan ini mendapat pembenaran dari nalar publik karena kapasitas dan integritas diri serta solidnya basis dukungan. Atas dasar itu, gugatan pasangan nomor urut satu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa ke Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi tidak populer karena menegasikan pilihan rakyat sekaligus melawan nalar publik. Pertama, penarikan diri Prabowo-Hatta dilakukan setelah KPU merampungkan rekapitulasi suara di 31 provinsi yang mayoritas dimenangi Jokowi-JK. Sikap ini sulit dicerna nalar normal. Ibarat Piala Dunia 2014 di Brasil, Argentina menarik diri dari pesta sepak bola sejagat itu saat panitia hendak mengukuhkan dominasi Jerman setelah Mario Goetze menjebloskan satu-satunya gol di partai final.

Mengada-ada

Kedua, kemenangan JokowiJK sudah diprediksi secara dini oleh delapan lembaga survei kredibel, yakni LSI Network, CSIS, SMRC, CSIS, Indo Barometer, Poltracking, RRI, dan Litbang Kompas. Sejak sebelum menjadi capres, popularitas dan elektabilitas Jokowi mengungguli tokoh lainnya seperti Prabowo, Aburizal Bakrie, Megawati Soekarnoputri, Mahmud MD, dan Dahlan Iskan. 
Keunggulan tersebut bertahan, bahkan cenderung naik saat dirinya menjadi capres. Secara substantif, pilpres sudah berakhir 9 April 2014 setelah hitung cepat delapan lembaga tadi menempatkan Jokowi-JK sebagai pemenang.

Ketiga, Jokowi-JK didukung mayoritas kekuatan politik yang selama ini tidak terlibat dalam kabinet SBY-Boediono. Akses Jokowi-JK ke birokrasi tentu kalah dengan Hatta yang selama ini menduduki posisi strategis di kabinet. Lagi pula, banyak kepala daerah yang justru berada di barisan Koalisi Merah-Putih. Kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif mengandaikan adanya dominasi atas jaringan birokrasi. Jadi, tuduhan ini terkesan mengada-ada, jauh dari realitas dan berpotensi menampar wajah sendiri.

Keempat, KPU dan Bawaslu sudah bekerja secara transparan dan profesional. Seluruh proses melibatkan rakyat dan setiap tahapan disebarluaskan kepada publik. Saksi ke dua tim juga sudah dilibatkan secara total untuk mengawal dan mengawasi perhitungan suara. Berbagai indikasi kekeliruan dan kecurangan diatasi secara dini. Sudah semestinya semua pihak memberi apresiasi terhadap KPU dan Bawaslu karena telah bekerja secara independen dan profesional dalam menyukseskan Pilpres 2014.

Tuduhan serius

Kiranya jelas bagi kita bahwa gugatan Prabowo-Hatta, meski sah secara hukum, lemah secara sosial. Pertama, gugatan tersebut merupakan ekspresi dari rendahnya kedewasaan elite dalam berpolitik. Pentas politik tidak berbeda jauh dari sepak bola di Tanah Air yang penuh drama dan tragedi. Gairah untuk menang menjungkirbalikkan akal sehat. Segala jurus dianggap sah, termasuk menebar fitnah dan kekerasan. Kekalahan tidak lagi jalan untuk mengevaluasi kekurangan diri sendiri, sebaliknya menimpakannya kepada pihak lain. Politik penuh sesak dengan gugat-menggugat dan retorika kosong, miskin kearifan.

Kedua, rendahnya kepercayaan Prabowo-Hatta terhadap netralitas dan profesionalitas pemerintah dan KPU. Tuduhan ini jelas serius karena kehidupan politik tak lagi dilandasi norma-norma dan kaidah sosial, terutama semangat untuk saling percaya. Tergerusnya rasa saling percaya tersebut menjadi ancaman serius bagi terjaganya kohesi sosial-politik di masa depan.

Kini semua persoalan berada di pundak MK. Lembaga ini harus mampu bekerja secara independen dan profesional untuk memulihkan citra dirinya setelah terkoyak oleh mantan Ketua MK Akil Mochtar yang gemar menggadaikan keadilan untuk akumulasi kapital. MK memiliki peran mulia untuk menjaga keadaban politik sebaliknya amat berisiko jika mengambil keputusan yang berlawanan dengan rasa keadilan dan nalar publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar