Arah
Pertanian dan ‘Tepungisasi’
Agus Pakpahan ;
Ekonom Kelembagaan dan Sumber Daya Alam
|
KORAN
TEMPO, 21 Agustus 2014
Era Revolusi Industri ketiga menurut Rifkin akan dicirikan
antara lain oleh Internet-energi, yang berasal dari bermacam sumber energi,
khususnya bioenergi. Reiner Kümmel (2011), dalam bukunya The Second Law of Economics: Energy, Entropy, and the Origins of
Wealth, menunjukkan bahwa kunci utama kemajuan suatu negara secara
dominan adalah dukungan energinya.
Kümmel menunjukkan bahwa elastisitas perubahan output terhadap
perubahan input energi untuk industri di Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat
(ekonomi keseluruhan) masing-masing adalah 0,73, 0,52, dan 0,35.Jadi, selain
masalah pangan, yang juga berada dalam kondisi tertinggal sebagaimana
diperlihatkan oleh Global Food Security
Index (GFSI) dari The Economist
dan Global Hunger Index (GHI) dari
IFPRI, Indonesia perlu berkonsentrasi pada pembangunan pertanian dengan
manfaat multidimensi, sebagaimana peran dan fungsi pertanian itu sendiri yang
bersifat multidimensi.
Walau fakta dunia menunjukkan bahwa hampir semua negara yang
berada di garis khatulistiwa dan beriklim tropis ini-di belahan bagian utara
maupun selatan khatulistiwa-merupakan negara miskin (Sachs, 2000), kita punya potensi besar untuk bisa melepaskan diri
dari kemiskinan dan ketertinggalan selama ini.
Karena itu, kita perlu membangun kerangka dasar cara berpikir
kita sendiri. Sumber daya utama pertanian adalah sinar matahari, yang
kemudian diolah oleh tanaman menjadi hasil-hasil pertanian. Selama ribuan
tahun, telah terjadi evolusi tanaman lokal yang telah berhasil beradaptasi
dengan lingkungan setempat. Namun, mengingat kita mengikuti pihak pendatang
yang mengusahakan komoditas-komoditas untuk kepentingan mereka di tanah
Nusantara, sampai sekarang flora dan fauna asli tidak termanfaatkan atau
bahkan semakin terdesak dan banyak yang sudah punah atau mendekati kepunahan.
Apa artinya semua itu bagi kepentingan jangka panjang Indonesia?
Apabila tidak ada perubahan yang mendasar dalam kerangka
berpikir tersebut, sudah dapat dipastikan pertanian Indonesia tidak akan
berkelanjutan atau hanya akan bergantung pada input dari luar.Mengingat
pertanian merupakan fondasi peradaban yang dibangun di atasnya, maka
ketidakmandirian dalam budaya membangun pertanian Nusantara akan membuat
kemiskinan permanen bangsa-bangsa di wilayah tropis menjadi kenyataan.
Sifat wilayah tropis adalah memiliki banyak jenis tanaman atau
hewan (biodiversitas tinggi). Berbeda dengan sifat alam temperate, yaitu
sedikit jenis tanaman atau hewannya tapi volumenya per unit wilayah besar.
Karena itu, pemikiran yang berkembang di negara temperate adalah pemikiran
skala ekonomi sebagai basis industrialisasi. Bagi kita, untuk mencapai skala
ekonomi yang tinggi, diperlukan proses transformasi dari banyak jenis
komoditas ke jenis sekunder sebagai kombinasi, atau campuran dari banyak
komoditas menjadi satu atau dua jenis komoditas baru. Dalam berbagai
kesempatan, saya menamakan proses ini sebagai "tepungisasi", yaitu
membuat tepung Nusantara berdasarkan seluruh produk lokal, seperti sagu,
sukun, jagung, dan ubi sebagai basis ketahanan pangan, energi, dan
ekologiIndonesia pada masa yang akan datang.
Tepungisasi, selain penting untuk pangan dan energi, turut
mengurangi tekanan pertanian terhadap lingkungan, khususnya terhadap sumber
daya air dan kemungkinan konflik akibat berbagai kepentingan terhadap sumber
daya air.Perlu diingat bahwa Indonesia terdiri atas pulau-pulau.Sistem
kepulauan dengan sendirinya memiliki potensi air lebih terbatas dibanding
sistem benua.Sebagai ilustrasi, Chapagain dan Hoekstra (2011) menunjukkan
bahwa rata-rata water footprint
untuk produksi padi adalah 1325 meter kubik/ton. Artinya, dengan produksi
padi 70 juta ton/tahun, air yang digunakan sebanyak 92.75 miliar meter kubik.
Jelas, meningkatnya jumlah penduduk Indonesia akan meningkatkan
pula kebutuhan air. Dengan model tepung tersebut, kita tidak perlu menambah
jumlah sawah secara besar-besaran, melainkan cukup mengolah hasil-hasil
pertanian lokal yang sudah adaptif dengan lingkungannya, misalnya sagu yang
sekarang jumlahnya masih jutaan hektare. Mulai sekarang, kita harus
mempersiapkan sistem pertanian yang hemat air, hemat ruang, serta hemat
energi. Hal ini akan berdampak positif, selain ketahanan pangan dan energi
serta industrialisasi, terhadap sistem ekologi kepulauan dan menjadi faktor
pemicu pertumbuhan serta pemerataan ekonomi secara regional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar