Memaknai
Kartu Indonesia Sehat
Surya Chandra Surapaty ;
Ketua Pansus RUU SJSN 2004;
Wakil Ketua Pansus RUU BPJS 2011
|
KOMPAS,
20 Agustus 2014
Artikel Agus Widjanarko, ”Mencermati
Kartu Indonesia Sehat” (Kompas,
12/8/14), menguraikan kerancuan program Kartu Indonesia Sehat yang akan
diterapkan presiden terpilih Joko Widodo. Program Kartu Indonesia Sehat (KIS)
dianggap bertentangan dengan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang dipayungi Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No 24/2011
tentang BPJS.
Agus mempertanyakan, apakah KIS akan berdiri layaknya institusi
asuransi kesehatan swasta, tetapi dengan segmen peserta masyarakat miskin dan
pekerja bukan penerima upah? Akan menjadi rancu, apabila ada kebijakan yang
menafikan keberadaan peraturan.
Memang rancu apabila memandang KIS sebatas bentuk lain asuransi
kesehatan. Lebih dari itu, KIS merupakan implementasi sempurna dari SJSN
bidang kesehatan yang mempercepat pencapaian kepesertaan. Tidak perlu
menunggu sampai tahun 2019 agar semua penduduk menjadi peserta BPJS
Kesehatan.
Bangun sistem
Guna membentuk manusia Indonesia yang sehat, perlu dibangun
sistem kesehatan nasional yang melibatkan pelayanan kesehatan, pembiayaan
kesehatan, dan penduduk sebagai penerima manfaat kesehatan. Kartu Indonesia
Sehat adalah program nyata yang akan menjembatani faktor pembiayaan, dalam hal
ini jaminan kesehatan oleh BPJS Kesehatan dan faktor pelayanan kesehatan
sehingga semua penduduk mendapatkan manfaatnya.
KIS terkait erat dengan nomor identitas tunggal peserta, sesuai
dengan Pasal 15 Ayat (1) UU SJSN ataupun Pasal 13 Huruf (a) UU BPJS: ”BPJS
wajib memberikan nomor identitas tunggal kepada setiap peserta dan anggota
keluarganya”. Semua itu didukung Pasal 8 Peraturan Pemerintah No 101/2012
tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan ataupun Peraturan Presiden
No 12/2013 Ayat (1) tentang Jaminan Kesehatan.
Dengan identitas yang tercantum dalam KIS, peserta berhak
memperoleh manfaat jaminan kesehatan yang bersifat pelayanan kesehatan
perorangan, mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif, termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai.
Mengacu pada Peraturan Pemerintah No 101/2012 tentang Penerima
Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, Agus Wijanarko, mendefinisikan istilah
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebagai ”suatu
jaminan dalam lingkup nasional yang berupa perlindungan kesehatan agar
peserta mendapat manfaat pemeliharaan kesehatan...”.
Padahal, dalam peraturan pemerintah tersebut, tidak satu pun
tertulis ”Jaminan Kesehatan Nasional”, kecuali hanya ”Jaminan Kesehatan”
tanpa embel-embel nasional. Dalam UU SJSN dan UU BPJS, hanya ada ”Jaminan
Kesehatan”.
Program pembiayaan kesehatan bagi fakir miskin dan tidak mampu
selama ini tidak terintegrasi dalam satu sistem yang sempurna sehingga gagal
memenuhi kebutuhan mereka. Sebut saja, misalnya, Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat (JPKM), Asuransi Kesehatan Penduduk Miskin (Askeskin)
yang berubah jadi Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dengan dana
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), serta jaminan
kesehatan daerah (jamkesda) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD). Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini masih belum bisa
mengintegrasikan beragam program Jamkesda di banyak provinsi, kabupaten, atau
kota.
Dengan pemberlakuan SJSN bidang kesehatan dan terbentuknya BPJS
Kesehatan pada 1 Januari 2014, data penduduk miskin dan tidak mampu dari
program Jamkesmas dan jamkesda seharusnya diintegrasikan ke dalam BPJS
Kesehatan. Namun, tidak semua program Jamkesda bergabung dengan BPJS
Kesehatan. Justru Joko Widodo adalah gubernur pertama yang telah
mengintegrasikan jamkesda DKI, yakni Kartu Jakarta Sehat (KJS), ke dalam
Program Jaminan Kesehatan dari BPJS Kesehatan pada Januari 2014.
Revolusi kesehatan
Penerapan UU SJSN dan UU BPJS secara sempurna menimbulkan
revolusi sistem kesehatan nasional. Bidang pelayanan kesehatan berubah dari
tidak terstruktur menjadi terstruktur atau rujukan berjenjang. Pembiayaan
kesehatan yang selama ini dari kantong penderita langsung (out of pocket) berubah menjadi
dibiayai pihak ketiga, yakni BPJS Kesehatan.
Semua penduduk wajib menjadi peserta dengan membayar iuran. Bagi
yang tidak mampu, iurannya dibayarkan pemerintah melalui APBN. Setiap peserta
memperoleh kartu peserta yang berlaku secara nasional yang disebut Kartu
Indonesia Sehat.
Dengan demikian, peluncuran Kartu Indonesia Sehat bagi seluruh
penduduk Indonesia menuntut pemerintah untuk memperbaiki sistem pelayanan
kesehatan yang belum merata di seluruh Tanah Air, baik fasilitas maupun
tenaga kesehatan.
Dalam hal pelayanan kesehatan, Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam
visi-misi dan program aksi berkomitmen memperjuangkan kebijakan khusus untuk
memenuhi kebutuhan layanan kesehatan, alat kesehatan dan tenaga, terutama
bagi penduduk di pedesaan dan daerah terpencil, serta menyediakan jaminan
persalinan gratis. Mengalokasikan anggaran kesehatan sekurang-kurangnya 5
persen dari anggaran negara untuk menurunkan angka kematian ibu, kematian
bayi dan balita, serta pengendalian HIV dan AIDS, penyakit menular dan
penyakit kronis. Anggaran ini lebih besar dari anggaran selama ini yang
kurang dari 3 persen APBN.
Jokowi-JK juga berkomitmen untuk ”membangun perimbangan
pembangunan kawasan melalui peningkatan pembangunan berbagai fasilitas
produksi, pendidikan, kesehatan, pasar tradisional, dan lain-lain di
pedesaan, daerah terpencil, dan tertinggal. Selain itu, menerapkan pelayanan
publik dasar melalui pembangunan 50.000 rumah sehat dan mengembangkan 6.000
puskesmas dengan fasilitas rawat inap, serta memeratakan Sistem Jaminan
Sosial Nasional.
Revolusi sistem kesehatan ini perlu diawali dengan revolusi
mental para pekerja kesehatan dan seluruh masyarakat. Paradigma ”sakit” harus
berubah menjadi paradigma ”sehat” yang lebih menekankan pada pencegahan dan
promosi derajat sehat ketimbang pengobatan.
Dengan misi ”Indonesia
Sehat”, ”Indonesia Pintar”, ”Indonesia Kerja”, dan ”Indonesia Sejahtera”, pemerintahan Jokowi-JK akan mewujudkan
Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar