Minggu, 10 Agustus 2014

Melihat Papua dengan Kecintaan

Melihat Papua dengan Kecintaan

Sutrisno  ;  Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)
KORAN TEMPO, 06 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Papua dicekam oleh teror penembakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di bawah pimpinan Enden Wanimbo. Bentrokan senjata antara pasukan TNI dan kelompok bersenjata di Kabupaten Lanny Jaya, Papua, mengakibatkan lima anggota kelompok separatis itu tewas dan dua anggota TNI mengalami luka tembak (Koran Tempo, 2 Agustus 2014).

Penembakan di Bumi Cendrawasih tersebut seolah menunjukkan negara kalah atas OPM. Tim Papua LIPI, yang bekerja sejak 2004, menghasilkan Road Map Papua, yang menunjukkan empat akar masalah Papua: diskriminasi terhadap penduduk asli Papua; kegagalan pembangunan; perbedaan persepsi tentang sejarah Papua, terutama soal Penentuan Pendapat Rakyat 1969 yang disponsori PBB dan AS, yang menurut sebagian rakyat Papua tidak sah; dan terakhir trauma berkepanjangan sejak 1966 sampai selama Orde Baru berkuasa akibat operasi militer.

Untuk menyelesaikan empat akar masalah Papua di atas, dibuatlah kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang dituangkan dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Sebagian rakyat Papua menilai bahwa kebijakan Otsus Papua telah gagal menyejahterakan mereka sebagaimana yang diharapkan. Hal itu semakin didukung oleh kenyataan masih banyaknya kasus kekerasan di Papua dan rakyat Papua yang hidup miskin.

Dalam menangani masalah gerakan separatisme seperti OPM, pemerintah selalu menggunakan operasi keamanan militer. Kenyataannya, gerakan OPM tidak berhenti, justru operasi militer yang dilakukan pemerintah semakin menambah rasa sakit hati, dendam, dan menguatkan perlawanan kelompok separatis itu. Bahkan, kaum muda yang merasa menjadi korban kekerasan dari tindakan operasi militer dan masih terbelenggu dengan kemiskinan memilih bergabung dengan kelompok separatis di Papua.

Perlu pendekatan komprehensif guna meredam gejolak kekerasan yang terjadi Bumi Cendrawasih itu. Pendekatan tersebut sekaligus menjadi pintu masuk membereskan berbagai persoalan dasar di Papua. Jangan pemerintah bereaksi dan peduli terhadap persoalan Papua ketika muncul persoalan. Presiden, dalam keadaan sangat sibuk sekalipun, patut memberikan perhatian ekstra pada persoalan Papua. Tantangan presiden adalah membuat Papua merasa aman dan nyaman berada dalam NKRI. Rakyat di sana tak lagi merasa dimarginalkan, dieksploitasi sumber daya alamnya, dan diragukan kesetiaannya terhadap NKRI.

Sementara itu, pendekatan sosial politik dilakukan agar terjadi komunikasi yang konstruktif antara pusat dan daerah, dengan melibatkan unsur pimpinan daerah, serta tokoh masyarakat danagama di Papua. Rakyat Papua butuh didengar. Maka, pendekatan yang mesti diutamakan adalah dialog seluas-luasnya. Pemerintah harus punya komitmen politik untuk terus mengajak kelompok separatisme di Papua untuk ruang inklusif dialog. Hasil dialog itu, tentunya dengan batasan secara damai, adil, bermartabat, dantetap dalam bingkai NKRI, serta solusi yang dapat memberi jaminan ada satu akselerasi pembangunan menyeluruh di Papua.

Jadi, Papua harus dilihat sebagai wilayah Indonesia dengan kecintaan dan obsesi kemajuan dan kemakmuran besar oleh semua pemimpin negeri. Kalau Indonesia memerdekakan Papua pada 1969 untuk kemudian menelantarkannya, untuk apa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar