Melihat
Papua dengan Kecintaan
Sutrisno ; Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)
|
KORAN
TEMPO, 06 Agustus 2014
Papua dicekam oleh teror penembakan Organisasi Papua Merdeka
(OPM) di bawah pimpinan Enden Wanimbo. Bentrokan senjata antara pasukan TNI
dan kelompok bersenjata di Kabupaten Lanny Jaya, Papua, mengakibatkan lima
anggota kelompok separatis itu tewas dan dua anggota TNI mengalami luka
tembak (Koran Tempo, 2 Agustus 2014).
Penembakan di Bumi Cendrawasih tersebut seolah menunjukkan
negara kalah atas OPM. Tim Papua LIPI, yang bekerja sejak 2004, menghasilkan
Road Map Papua, yang menunjukkan empat akar masalah Papua: diskriminasi
terhadap penduduk asli Papua; kegagalan pembangunan; perbedaan persepsi
tentang sejarah Papua, terutama soal Penentuan Pendapat Rakyat 1969 yang
disponsori PBB dan AS, yang menurut sebagian rakyat Papua tidak sah; dan
terakhir trauma berkepanjangan sejak 1966 sampai selama Orde Baru berkuasa
akibat operasi militer.
Untuk menyelesaikan empat akar masalah Papua di atas, dibuatlah
kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang dituangkan dalam UU Nomor 21
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Sebagian rakyat Papua menilai bahwa
kebijakan Otsus Papua telah gagal menyejahterakan mereka sebagaimana yang
diharapkan. Hal itu semakin didukung oleh kenyataan masih banyaknya kasus
kekerasan di Papua dan rakyat Papua yang hidup miskin.
Dalam menangani masalah gerakan separatisme seperti OPM,
pemerintah selalu menggunakan operasi keamanan militer. Kenyataannya, gerakan
OPM tidak berhenti, justru operasi militer yang dilakukan pemerintah semakin
menambah rasa sakit hati, dendam, dan menguatkan perlawanan kelompok
separatis itu. Bahkan, kaum muda yang merasa menjadi korban kekerasan dari
tindakan operasi militer dan masih terbelenggu dengan kemiskinan memilih
bergabung dengan kelompok separatis di Papua.
Perlu pendekatan komprehensif guna meredam gejolak kekerasan
yang terjadi Bumi Cendrawasih itu. Pendekatan tersebut sekaligus menjadi
pintu masuk membereskan berbagai persoalan dasar di Papua. Jangan pemerintah
bereaksi dan peduli terhadap persoalan Papua ketika muncul persoalan.
Presiden, dalam keadaan sangat sibuk sekalipun, patut memberikan perhatian
ekstra pada persoalan Papua. Tantangan presiden adalah membuat Papua merasa
aman dan nyaman berada dalam NKRI. Rakyat di sana tak lagi merasa
dimarginalkan, dieksploitasi sumber daya alamnya, dan diragukan kesetiaannya
terhadap NKRI.
Sementara itu, pendekatan sosial politik dilakukan agar terjadi
komunikasi yang konstruktif antara pusat dan daerah, dengan melibatkan unsur
pimpinan daerah, serta tokoh masyarakat danagama di Papua. Rakyat Papua butuh
didengar. Maka, pendekatan yang mesti diutamakan adalah dialog
seluas-luasnya. Pemerintah harus punya komitmen politik untuk terus mengajak
kelompok separatisme di Papua untuk ruang inklusif dialog. Hasil dialog itu,
tentunya dengan batasan secara damai, adil, bermartabat, dantetap dalam
bingkai NKRI, serta solusi yang dapat memberi jaminan ada satu akselerasi
pembangunan menyeluruh di Papua.
Jadi, Papua harus dilihat sebagai wilayah Indonesia dengan
kecintaan dan obsesi kemajuan dan kemakmuran besar oleh semua pemimpin
negeri. Kalau Indonesia memerdekakan Papua pada 1969 untuk kemudian
menelantarkannya, untuk apa? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar