Kabinet
Presiden Terpilih
Reza Syawawi ; Periset Transparency International Indonesia
|
KORAN
TEMPO, 06 Agustus 2014
Sesuai dengan amanat undang-undang, Komisi Pemilihan Umum telah
menetapkan pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih untuk periode
2014-2019.Sekalipun saat ini sedang diajukan permohonan kepada Mahkamah
Konstitusi untuk membatalkan keputusan tersebut, penetapan itu menurut hukum
harus dipandang sebagai hasil pemilihan umum (pemilu) yang sah.
Maka, dengan menggunakan dasar tersebut, sangat relevan bagi
presiden dan wakil presiden terpilih untuk mendesain pemerintahannya selama 5
(lima) tahun ke depan. Desain ini akan menjadi penentu awal keberhasilan atau
kegagalan dalam menjalankan visi, misi, dan program kerja yang selama masa
pemilu disampaikan kepada publik.
Menurut konstitusi (UUD 1945), penyelenggaraan pemerintahan
membutuhkan "tim kerja" yang disebut sebagai pembantu presiden atau
juga jamak disebut sebagai "kabinet". Frasa UUD 1945 juga
menyebutkan setidaknya ada 2 (dua) jabatan yang dikategorikan sebagai
pembantu presiden, yaitu wakil presiden dan menteri-menteri negara. Pasal 4
ayat (2) berbunyi, "Dalam melakukan kewajibannya presiden dibantu oleh
satu orang wakil presiden".
Posisi wakil presiden dalam konteks ini sedikit lebih tinggi
dari pembantu presiden yang lain karena dua hal. Pertama
"pemilihannya" dilakukan bersamaan dengan presiden sebagai satu
pasangan calon untuk dapat ikut serta dalam pemilu. Kedua, ada mandat khusus
yang secara eksplisit disebutkan dalam konstitusi kepada wakil presiden untuk
menggantikan posisi presiden jika presiden mangkat, berhenti, diberhentikan,
atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya (Pasal 8 ayat
1).
Dalam kondisi normal, posisi wakil presiden semestinya
mendapatkan porsi yang jelas dalam kedudukannya sebagai pembantu presiden
sebagaimana menteri-menteri negara yang membidangi urusan tertentu.
Kementerian atau menteri-menteri negara memiliki regulasi yang jelas mengenai
lingkup tugas masing-masing.
Hal inilah yang tidak dimiliki oleh wakil presiden, sehingga
tugas-tugas pemerintahan yang dijalankannya cenderung lebih bersifat
seremonial. Bahkan dalam pengalaman kabinet-kabinet sebelumnya, posisi wakil
presiden terlihat seperti "bumper" atau bahkan menjadi tumbal
politik.
Idealnya memang harus ada semacam desain besar tentang lembaga
kepresidenan melalui sebuah regulasi atau undang-undang(Saldi Isra). Salah
satu substansi yang penting diatur adalah bagaimana memperjelas dan
memaksimalkan posisi wakil presiden dalam tugas-tugas pemerintahan atau
bahkan kenegaraan. Maka, presiden ke depan seyogianya
"memanfaatkan" secara maksimal kehadiran seorang wakil presiden.
Dalam konteks kementerian negara, desain kelembagaan dan lingkup
tugasnya telah diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian
Negara. Pada saat ini, presiden terpilih memiliki cukup waktu untuk mendesain
postur para pembantunya berdasarkan pembatasan yang diatur dalam undang-undang.
Penulis menilai saat ini belum saatnya untuk membicarakan
tentang siapa yang akan menduduki jabatan menteri, tapi menentukan seberapa
besar kabinet yang akan dibentuk. Apakah hanya melanjutkan struktur kabinet
sebelumnya atau justru memiliki desain baru yang lebih mumpuni untuk
menyokong pemerintahan.
Setidaknya presiden terpilih telah meletakkan fondasi yang cukup
kuat pada awal pencalonannya dengan menjadikan kabinet bukan sebagai sarana
untuk membagi-bagi kekuasaan dalam koalisi partai pengusung.
Dalam kabinet sebelumnya tak dapat dimungkiri bahwa jabatan
menteri diisi oleh mayoritas elite partai, walaupun hal tersebut kemudian
diimbangi dengan mengisi jabatan wakil menteri dari kalangan profesional pada
beberapa kementerian tertentu. Menurutpenulis, pengisian jabatan wakil
menteri juga bukan pada konteks beban kerja yang diatur oleh undang-undang
(Pasal 10), tapi lebih pada upaya untuk "menutupi" ketidakmampuan
menteri dalam mengelola kementeriannya. Jika memang beban kerja suatu kementerian
dijadikan alasan untuk menghadirkan wakil menteri, sampai saat ini juga tidak
ada penjelasan dan data apa pun yang disuguhkan kepada publik bahwa memang
benar ada kondisi obyektif di mana posisi wakil menteri memang dibutuhkan.
Terakhir soal hak prerogatif dalam mengangkat menteri, presiden
seharusnya menghindari kategori personal tertentu agar tidak menjadi bumerang
dalam kabinet.Pertama, kategori umum yang berkaitan dengan kapabilitas. Kedua,
harus dihindari kategori personal yang memiliki tingkat konflik kepentingan
yang tinggi. Misalnya menduduki jabatan struktural dalam partai politik,
perusahaan (negara atau swasta), memiliki afiliasi yang "negatif"
dengan kelompok tertentu, atau bahkan pernah dipidana atas sebuah kejahatan
(termasuk korupsi).
Maka presiden terpilih sudah seharusnya menetapkan standar yang
tinggi untuk memilih para pembantunya. Jika diumpamakan, mereka adalah
individu pilihan tanpa cela, setidaknya dalam hal kualitas dan integritas.
Selamat bekerja presiden terpilih! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar