Melanggengkan
Patriarki dalam Budaya Populer
Perdana Putri ; Mahasiswa FIB UI, Anggota
Serikat Mahasiswa Progresif UI
|
INDOPROGRESS,
25 Agustus 2014
SAYA sedang membayangkan suatu identitas yang
sangat berat. Seorang perempuan negro, lesbian, dan feminis, lalu ia hadir
dalam ruang publik kita. Apa yang akan terjadi jika dia hidup di dunia dimana
feminis dianggap hantu dan patriarki senormal oksigen? Saya memandang dunia
dalam perspektif pesimistis Sartre. Dunia ini sudah terlalu patriarkis dan male-centered. Butuh perjuangan lebih
besar dan mendasar dari gerakan-gerakan perempuan. Sebabnya, kapitalisme yang
menyebabkan penindasan terhadap perempuan memakai jubah baru yang lebih
kompleks dan lebih kontradiktif untuk melanggengkan nilai patriarkisnya:
budaya populer.
Budaya populer memang suatu terminologi yang
luas. Budaya populer menandakan kuasa kapital terhadap selera masyarakat yang
diturunkan untuk kepentingan pemodal. Begitu pun persoalan perempuan; ia
nyaris dihilangkan dalam wacana budaya populer. Contohnya beragam, mulai dari
pelecehan verbal dalam acara lawak televisi hingga pengkultusan perempuan
dalam ruang domestik melalui acara gosip. Namun, dalam tulisan ini akan saya
sempitkan dalam hal budaya visual: musik video, khususnya dalam melakukan
transmisi ide berkenaan dengan feminisme dan objektifikasi perempuan.
Musik video sangat penting untuk dibahas dalam
melihat objektifikasi perempuan dan pelemparan wacana gerakan feminis. Sudah
menjadi rahasia umum (yang sayangnya dimaklumi) bahwa banyak industri musik
yang memakai tubuh perempuan dan menggunakan lirik vulgar untuk mendongkrak
profit penjualan lagu. Ini bisa ditemui dalam kebanyakan video hiphop dan rap
yang mentereng di puncak teratas Billboard atau MTv. Persoalan di lagu tidak
banyak memuat masalah genial dan urgen. Siapa yang mau memberikan lirik
tentang perjuangan Rosa Luxemburg atau Lucia Saornil? Bahkan, ketika Beyonce
repot-repot mengutip Chimamanda Ngozi Adichie dalam lagunya, saya rasa itu
tak lebih dari sekedar kepentingan bisnis, dengan sasarannya adalah perempuan
yang berusaha didelusional-kan. Kemunafikan itu toh juga bisa dilihat dari
visualisasi lagu yang hadir dalam video musik, khususnya yang menjadi viral
(terkenal/populer). Resepnya sama; tubuh perempuan diselingi lirik misoginis.
Merasa familiar?
Menggugat Standar
Perempuan dalam Video Viral
Kegelisahan ini dimulai ketika melihat video
Blurred Lines, sebuah lagu maha dahsyat yang diganjar nominasi Grammy 2013
oleh Robert Thicke. Di dalam videonya, tiga perempuan menari telanjang,
terobjektifikasi, dan terseret ingar-bingar lirik yang sangat misoginis.
Julia Suryakusuma membahas video ini dengan sangat genial, mulai dari judul
lagu, penggambaran perempuan di dalam video itu, hingga liriknya, jadi saya
tidak akan membahas lagu ini lebih jauh[1]. Yang membuat saya makin kalut dan
gelisah – menghasilkan suatu ketidaknyamanan bagi seorang perempuan, adalah
komentar Netizen di YouTube.
Video Blurred Lines tidak menuai kritikan
secara umum dari media, atau lebih tepatnya, banyak yang menyukai video itu –
saya pastikan mayoritas dari mereka adalah lelaki. Bandingkan dengan apa yang
terjadi dengan video counter-attack dari Lily Allen dalam video Hard Out Here
yang sama-sama menampilkan perempuan berpakaian minim, merokok, dan
menggoyangkan pinggul mereka di dalam suatu garis cerita bahwa semua tindakan
itu didasari oleh arahan seorang lelaki, yang sepertinya pengarah video atau
produser musik. Lagu Lily Allen tidak melanggengkan perempuan patriarkis, dia
justru mengritiknya. Secara kasar, video Hard Out Here merupakan gambaran
grotesque industri musik video dan lagunya sendiri menceritakan secara
sarkastis bagaimana perempuan dipandang di ruang publik[2]. Pada lirik Hard
Out Here, terdapat tandingan atas lagu Blurred Lines. ‘Forget your balls and
grow a pair of tits […]Have you thought about your butt? Who’s gonna tear it
in two?’ Lirik tersebut mengejek Robert Thicke yang mengatakan ‘I’ll give you
something big enough to tear your ass in two.’ Lirik yang menjijikkan. Visualisasi yang
lebih mengerikan.
Lalu apa yang terjadi dengan Allen? Video Hard
Out Here menuai sejumlah kritik dan dituduh rasis karena memakai penari
perempuan kulit hitam oleh sejumlah media Inggris.[3] Komentar yang ada di
video Hard Out Here juga didominasi oleh lelaki yang mencerca secara sinis.
Padahal, di video Blurred Lines kita bisa melihat seorang perempuan kulit
hitam, telanjang bulat, dan menari di antara para lelaki. Lagi-lagi, ada
standar ganda. Dalam video rap kekinian, banyak perempuan kulit hitam yang
diperdayakan sebagai model video. Permasalahan muncul ketika yang memakainya
adalah seorang perempuan kulit putih. Begitu juga dengan video-video rap Amerika
lainnya. Patriarki sudah menjadi budaya popular, dia menjadi pemuas massa.
Hal yang sama juga terjadi pada video parodi
feminis dari Universitas Auckland yang menuai kritikan sinis dari banyak
lelaki dan perempuan. Dalam video mahasiswi Universitas Auckland, tidak hanya
lirik yang diparodikan (everybody shut
up! menjadi every bigot shut up!), dalam video mereka laki-lakilah yang
diejek secara habis-habisan. Komentar
para pengguna YouTube banyak yang mengekspresikan ketidaksukaan mereka
terhadap video itu karena dianggap sangat tidak sopan (!) dan gerakan
feminisme adalah suatu hal yang menggelikan (!!).
Hal yang bisa ditarik dari sini: standar ganda
bagi perempuan adalah dimana laki-laki yang menentukannya. Perempuan boleh
bertelanjang bulat di video dengan lagu yang seksis nan misoginis dan tidak
masalah jika lelaki menghembuskan asap rokok ke mukanya, tapi rupanya kita
tidak boleh menepuk bokong lelaki dan memasukkan uang ke celana dalamnya.
Pandangan yang lebih patriarkis dan tidak membantu lagi adalah, makanya
perempuan gak usah sok-sokan di dunia kayak gitu aja! Urus tuh dapur ama
suami! Patriarki sudah mencapai level penguasaan yang baru; ia juga hidup
dalam perempuan dan sudah berusaha memuskilkan persoalan feminisme dan
penindasan perempuan.
Perempuan dan
Patriarki: Persoalan Bersama
Lain perempuannya, lain pendapatnya. Mungkin
inilah yang membuat Butler pernah mengatakan bahwa untuk menyelesaikan
masalah gender, perempuan, dan feminisme dibutuhkan suatu pemikiran yang
sangat mendasar dan sesuai (settled ground of analysis).[4] Emily Ratajkowski
dalam wawancara Ecsquire edisi Juli 2013 mengatakan dengan ringan bahwa video
yang ia bintangi (Blurred Lines) sama sekali tidak misoginis dan seksis,
lebih menggelikan, ‘Lagu itu merayakan feminitas dan tubuh kita sebagai
perempuan.’[5] Logika sesat tersebut tidak bisa serta merta salah
Ratajkowski. Fakta tersebut merupakan PR besar bagi gerakan perempuan dan
feminisme, bahwa ada satu pola dan permasalahan yang disatukan dan dapat
mengakumulasi semua penindasan yang melanda perempuan. Woman question terkait penindasan dan patriarki masih menjadi
persoalan dalam hal ini. Sebabnya, patriarki bukan hanya milik lelaki, tetapi
juga, dalam kasus yang gawat, menetap di pola pikir perempuan. Ini juga bukan
masalah sepele apakah perempuannya nyaman dengan ini atau itu, karena
feminisme bukan persoalan preferensial. Feminisme harusnya adalah suatu
gerakan yang memanusiakan perempuan dan mengeluarkan perempuan dari mitos
bahwa ia adalah kelas sosial tersendiri, bahwa ia tidak melulu harus tunduk
pada nilai-nilai maskulin.
Polemik video seksis juga semakin
menggarisbawahi bahwa ruang publik adalah ruang lelaki. Ketika suatu video
menjadi viral dan disiarkan melalu jejaring luas seperti internet dan media
televisi, seyogyanya konten video itu merupakan persoalan publik. Namun
objektifikasi perempuan rupanya tidak benar-benar objektif – atau hanya
sekedar persoalan fisik semata. Ironis ketika masalah seksisme ini diangkat
ke suatu video yang sangat frontal, seperti yang dilakukan mahasiswi
Universitas Auckland, publik tidak menyambutnya. Perempuan feminis dianggap
suatu hal yang menakutkan dan suatu kegilaan. Padahal feminisme sendiri juga
merupakan persoalan bersama, yang pada akhirnya merembet lebih luas dari
persoalan perempuan; ada anak, gender, dan masyarakat itu sendiri. Dengan
kata lain, ini adalah isu kolektif, milik publik yang harus diketahui.
Melalui media (yang seharusnya) dimiliki dan diperuntukkan kepada publik,
kemana isu itu pergi?
Borjuasi pada ruang publik menurunkan
intelektualitas yang harusnya ada di sana, dan ruang publik telah ‘dibajak
secara khusus oleh kepentingan kelas tertentu’[6], begitu tukas Habermas
dengan getir dalam The Structural
Transformations of the Public Sphere. Gerakan genial dan kesamaan yang
digaungkan oleh feminis hilang dalam wacana publik yang dibentuk oleh
kapitalisme media. Kapitaslime media yang sangat patriarkis – kalau saya
boleh menambahkan. Mereka seolah melemparkan premis kuno bahwa ruang publik memang
bukan untuk perempuan. Sebabnya, jika perempuan masuk ke dalam ruang publik
(dalam hal ini media seperti televisi dan internet), ia akan terindoktrinasi
dengan nilai-nilai patriarkis yang membuatnya terlempar kembali dalam keadaan
kesadaran palsu bahwa isunya diangkat oleh pemilik media. Ini kembali lagi
dalam masalah klasik feminisme dan perempuan, bahwa perempuan bukan kelas
sosial sendiri, layaknya ruang publik yang menciptakan lagi ruang di dalamnya
‘khusus’ bagi perempuan. Artinya, media-media kapitalis tersebut memandekkan
gerakan perempuan dan feminisme, dimana budaya populer sebagai budaya massa
rupanya tidak menempatkan perempuan dalam persoalannya. Modernitas dalam
budaya populer rupanya tidak lebih dari masa-masa jahiliah bagi perempuan.
Pergerakan perempuan dan feminisme mengalami
tantangan setiap masanya, tapi saya rasa itu tidak akan menyurutkan mereka,
justru seharusnya akan membuat gerakan tersebut akan selalu ada. David Harvey
pernah mengatakan bahwa kapitalisme tidak akan pernah bisa menyelesaikan
kontradiksi internalnya, ia hanya akan menghasilkan kontradiksi baru. Oleh
karena itu, setiap kali muncul kontradiksi-kontradiksi tersebut, itulah celah
gerakan kaum tertindas. Sebab, menurut Martin Luther King Jr, dimana ada
ketidakadilan, keadilan akan terus terdorong untuk bangkit. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar