Megawati
dan Jokowi-JK
Ahmad Sahide ;
Kandidat Doktor Sekolah
Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada
|
KOMPAS,
11 Agustus 2014
Politik adalah seni untuk
mengabadikan diri
Milan Kundera
KOMISI Pemilihan Umum akhirnya secara resmi, 22 Juli 2014,
menetapkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai pemenang Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden 9 Juli 2014 untuk kepemimpinan nasional
2014-2019.
Pasangan ini mengalahkan pasangan nomor urut 1, Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa, dengan perolehan suara 53,15 persen untuk Jokowi-JK
dan 46,85 persen untuk Prabowo-Hatta. Jokowi-JK berhasil mengumpulkan suara
70.997.833, sementara Prabowo-Hatta 62.576.444 dari suara sah yang masuk.
Jokowi-JK tinggal menunggu tahap akhir dari beberapa tahap yang
mesti dilalui untuk memimpin negeri ini: pelantikan pada 20 Oktober nanti.
Namun, kemenangan ini menghadirkan beberapa keraguan dari banyak kalangan
yang harus didengar dan dijawab Jokowi-JK dalam memimpin bangsa dan negara
ini lima tahun ke depan.
Keraguan sekaligus kecemasan tersebut adalah keberadaan Megawati
Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, partai
politik yang membesarkan Jokowi dan mengusung pasangan terpilih ini. Jokowi,
di hadapan banyak orang, berada dalam bayang-bayang Megawati.
Itulah salah satu faktor stagnannya, bahkan menurun, popularitas
Jokowi setelah resmi diusung PDI-P sebagai calon
presiden 2014. Banyak keraguan yang bermunculan bahwa yang akan
menjadi presiden sesungguhnya adalah Megawati Soekarnoputri, bukan Jokowi.
Kini, setelah memenangi kontestasi politik 9 Juli lalu, saatnya Megawati dan
Jokowi-JK menjawab kritik dan keraguan tersebut.
Peran Megawati
Partai politik memang menjadi pilar utama dari sistem yang
demokratis dan sejarah perpolitikan Indonesia mencatat bahwa setiap presiden
di republik ini selalu memegang kendali parpol yang dijadikan sebagai basis
dukungan politiknya. Soekarno jauh sebelum menjadi Presiden RI telah
mendirikan Partai Nasionalis Indonesia. Soeharto setelah mengambil alih
kepemimpinan nasional juga membuat basis dukungan politik: Golongan Karya,
yang saat ini jadi parpol yang cukup disegani. Soeharto mundur, BJ Habibie
jadi presiden dalam masa transisi. Habibie juga menjadikan Golkar sebagai
basis dukungan politiknya, tetapi tak mengakar dengan kuat sehingga Golkar
menyingkirkannya dalam persaingan menuju RI-1 pada 1999.
Pada era reformasi muncul KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan
Megawati Soekarnoputri sebagai presiden dan wakil presiden. Kedua tokoh ini
merupakan pemimpin parpol. Gus Dur adalah pendiri dan pemimpin Partai
Kebangkitan Bangsa dan Megawati adalah Ketua Umum PDI-P, bahkan sampai hari
ini. Kepemimpinan Gus Dur hanya berlangsung kurang dari dua tahun karena konstelasi
politik yang berubah pada tahun 2001. Muncullah Megawati sebagai pemegang
tampuk kepemimpinan bangsa dan negara hingga 2004.
Dalam daur ulang demokrasi 2004, Susilo Bambang Yudhoyono, yang
berpasangan dengan Jusuf Kalla, keluar sebagai pemenang. SBY merupakan figur
sentral di balik sukses dan kebesaran Partai Demokrat sepuluh tahun terakhir.
Pada 2009, SBY kembali memenangi daur ulang demokrasi lima tahunan, tetapi
tidak lagi bergandengan dengan JK. SBY menggandeng Boediono.
Sekilas membaca perjalanan politik bangsa dan negara Indonesia
sesudah kemerdekaan, terlihat bahwa semua presiden adalah pemimpin puncak
dari parpol yang mengusungnya dan dijadikan sebagai basis dukungan
politiknya, terutama di parlemen.
Hasil Pemilihan Umum Presiden 9 Juli 2014 menghadirkan suasana
berbeda dalam budaya politik Indonesia: presiden dan wakil presiden terpilih
bukanlah pemimpin puncak salah satu parpol pengusung. Jokowi, kader terbaik
PDI-P yang dipimpin Megawati. JK memang pernah jadi Ketua Umum Golkar, tetapi
lima tahun terakhir telah kehilangan kendali atas Golkar.
Atas dasar itu, muncul keraguan bahwa Jokowi hanya akan menjadi
boneka bagi Megawati mengingat takdir Jokowi untuk menjadi orang nomor satu
di negeri ini, selain adanya garis Tuhan, ada restu Megawati yang sangat
menentukan. Namun, keraguan itu sebetulnya bisa dijawab Megawati dan Jokowi
dalam kepemimpinan bangsa dan negara ke depan.
Megawati dapat belajar dari kultur demokrasi Amerika Serikat:
presidennya bukanlah ketua umum parpol. Barack Obama, Presiden AS hari ini,
bukanlah Ketua Umum Partai Demokrat. Obama pemenang konvensi Partai Demokrat
pada 2008 yang bersaing ketat dengan Hillary Rodham Clinton. Hubungan Obama
dengan partai pendukungnya, Demokrat, adalah hubungan ideologis. Demokrat
hanya bertugas mengontrol Obama menjaga ideologi Demokrat dalam memimpin AS.
Megawati dapat melakukan hal tersebut. Hubungan Megawati dengan
PDI-P dan dengan Jokowi-JK seharusnya adalah hubungan ideologis. Megawati
sebagai Ketua Umum PDI-P bertugas menjaga ideologi parpol dan Jokowi beserta
JK bertugas menjalankan ideologi partai. Dalam konteks tersebut, tidak perlu
ada keraguan bahwa presiden terpilih akan menjadi boneka.
Terlebih demokrasi kita menganut sistem demokrasi presidensil,
rakyatlah yang mengangkat dan menurunkan, bukan parpol. Parpol hanya bertugas
mengusung kader terbaiknya meski di tahap ini sering muncul pembajakan
demokrasi.
Ujian
Jika ujian ini dapat dilewati oleh Megawati, tentu ahli waris
trah politik Soekarno itu akan dicatat dan dikenang selalu sebagai salah satu
tokoh penting yang membuka tren baru dan kian menyehatkan budaya demokrasi
Indonesia. Pada titik inilah politik tersebut tidak dimaknai sebagai gengsi,
wibawa, dan kehormatan, tetapi seni mengabadikan diri dengan pengabdian dan
bakti kepada bangsa dan negara.
Kita tunggu tanggal mainnya. Semoga Megawati, Jokowi, dan JK
mendengar dan menjawab kritik itu. Di sinilah ujian sesungguhnya bagi
Megawati untuk menjadi negarawati sejati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar