Hantu
BBM
Faisal Basri ;
Ekonom
|
KOMPAS,
11 Agustus 2014
TAHUN lalu impor minyak (minyak mentah dan produk bahan bakar
minyak) menyedot devisa sebanyak 42,1 miliar dollar AS, naik 5,6 kali lipat
dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu yang masih senilai 7,5 miliar dollar
AS.
Pada kurun waktu yang sama, ekspor minyak hanya naik dua kali
lipat, dari 7,2 miliar dollar AS pada tahun 2003 menjadi 14,5 miliar dollar
AS pada tahun 2013.
Tak ayal, transaksi perdagangan minyak jungkir balik, dari
surplus 0,3 miliar dollar AS pada tahun 2003 menjadi defisit yang meroket
sebesar 27,7 miliar dollar AS pada tahun 2013.
Tak tanggung-tanggung, impor minyak tahun 2013 mencapai 43
persen dari cadangan devisa pada pertengahan tahun 2013 (akhir bulan Juni).
Daya perusak minyak, terutama bahan bakar minyak (BBM), tampak pula dari
kenyataan selama lima tahun terakhir ini.
Komoditas ini menjadi pengimpor terbesar, mengalahkan impor
mesin dan peralatan mekanik serta mesin dan peralatan listrik yang selama
puluhan tahun berada di urutan pertama dan kedua. Minyaklah yang merupakan
penyumbang terbesar pelemahan nilai tukar rupiah.
Tekanan minyak terhadap sekujur perekonomian terus berlanjut dan
kian berat hingga sekarang. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
digerogoti subsidi yang menggelembung, diperkirakan tahun ini sekitar Rp 260
triliun untuk BBM dan sekitar Rp 104 triliun untuk listrik. Total subsidi
untuk energi yang berjumlah sekitar Rp 364 triliun itu lebih besar
dibandingkan dengan APBN Perubahan yang hanya dianggarkan Rp 350 triliun.
Kuota solar dan premium bersubsidi sebesar 46 juta kiloliter
tahun ini juga hampir pasti bakal terlampaui.
Menghadapi tekanan terhadap neraca pembayaran dan nilai tukar
rupiah serta APBN yang telah berlangsung bertahun-tahun tidak membuat
pemerintah belajar dan kian bijak. Urat nadi persoalan justru tak kunjung
disentuh.
Penyesuaian harga BBM bersubsidi terakhir pada akhir Juni 2013
hanya mengembalikan tingkat harga Januari 2009. Jadi, praktis selama lima
tahun terakhir tidak terjadi kenaikan harga BBM bersubsidi. Bahkan, harga
riil atau harga relatif BBM bersubsidi turun sehingga konsumsi naik pesat.
Pemerintah masih saja berakrobat dengan beragam wacana dan jurus
tumpul. Tak satu pun jurus yang berjalan efektif. Sebut saja mulai dari
pemasangan stiker mobil dinas pemerintah, wacana pembatasan penggunaan BBM
bersubsidi untuk kendaraan pribadi, pemasangan radio frequency identification
(RFID) yang tak jelas kelanjutannya, penggantian mulut tangki mobil
terjangkau dan ramah lingkungan (LCGC), pembelian BBM bersubsidi nontunai,
hingga inisiatif terakhir pembatasan lokasi dan waktu operasi penjualan solar
bersubsidi.
Semakin banyak inisiatif pengendalian BBM bersubsidi, wujudnya
semakin kontra produktif bagi perekonomian serta berpotensi menimbulkan
beragam masalah baru yang bertambah pelik dan menambah ketidakpastian. Semua
itu berujung pada ongkos penundaan yang kian mahal. Boleh jadi akumulasi
ongkos penundaan lebih mahal daripada ongkos memangkas subsidi BBM
secepatnya.
Ongkos penundaan paling kentara adalah tetap tingginya defisit
akun lancar (transaksi berjalan/current
account) dan gejolak nilai tukar rupiah, penyelundupan dan manipulasi
kian marak, ongkos berutang semakin mahal akibat sovereign rating (peringkat
utang negara) tak membaik karena risiko fiskal naik, dan diversifikasi energi
nonfosil terhambat.
Ujung-ujungnya adalah pertumbuhan ekonomi melambat. Sudah 14
triwulan terakhir ini pertumbuhan ekonomi mengalami tren menurun. Dalam dua
triwulan terakhir pertumbuhan PDB masing-masing hanya 5,2 persen dan 5,1
persen, merosot dari 5,7 persen pada triwulan IV-2013.
Bukannya menawarkan kebijakan anti-cyclical untuk membalikkan
kecenderungan, tetapi justru pemerintah dan Bank Indonesia sibuk berulang
kali mengoreksi proyeksi atau target pertumbuhan, seraya menempuh
langkah-langkah yang ”mencekik” kegiatan ekonomi produktif.
Sebagai contoh, tengok saja pertumbuhan konsumsi pemerintah yang
turun tajam selama tiga triwulan terakhir, dari 8,6 persen pada triwulan
III-2013 menjadi 6,4 persen pada triwulan IV-2013 dan 3,6 persen pada
triwulan I-2014, serta akhirnya kontraksi (minus) 0,7 persen pada triwulan
II-2014.
Pemerintah juga selalu menjadikan perekonomian dunia, khususnya
pertumbuhan di Amerika Serikat dan Tiongkok, sebagai kambing hitam. Padahal,
pertumbuhan ekonomi AS naik tajam dari minus 2,1 persen pada triwulan I-2014
menjadi 4,0 persen pada triwulan II-2014.
Perekonomian AS yang membaik dipandang sebagai ancaman karena
bakal mendorong Bank Sentral AS (The
Fed) mengurangi stimulus. Sebaliknya, kalau memburuk, juga menjadi
ancaman terhadap ekspor komoditas Indonesia.
Kemungkinan perlambatan ekonomi Tiongkok juga dipandang
berdampak terhadap perlambatan ekspor kita, padahal Dana Moneter
Internasional (IMF) hanya mengoreksi proyeksi pertumbuhan Tiongkok dari 7,5
persen menjadi 7,4 persen untuk tahun 2014.
Kondisi geopolitik dunia dan regional makin tak menentu. Konflik
di sejumlah kawasan yang kaya minyak tampaknya akan terus berlanjut. Faktor
itu yang membuat harga minyak mentah dunia bakal tetap di kisaran 100 dollar
AS per barrel dan sewaktu-waktu harga minyak mentah bisa naik tajam.
Jangan biarkan kanker menjalar ke sekujur tubuh perekonomian
negeri ini. Menaikkan harga BBM bersubsidi secepatnya paling tidak sebesar Rp
1.500 per liter merupakan kemoterapi yang menyakitkan, tetapi menjanjikan
penyembuhan total. Menundanya sama saja dengan mewariskan bom waktu kepada
pemerintahan baru.
Kita yakin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bakal meninggalkan legacy sebagai negarawan bijak
bestari. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar