Krisis
Dua Profesi
Ashadi Siregar ;
Peneliti Media dan
Pengajar Jurnalisme di LP3Y, Yogyakarta
|
KOMPAS,
11 Agustus 2014
DUA profesi, jurnalis dan peneliti, pada dasarnya memiliki
kesamaan episteme, yaitu obyektivitas. Bahwa obyektivitas selamanya memiliki
dua sisi mata koin tak terpisah: kebenaran (truth) pada obyek faktual dan netralitas pada diri pelaku.
Artinya di satu sisi menghargai kebenaran pada obyek dan menekan kepentingan
subyektif diri pada sisi lainnya. Pilpres 2014 membawa implikasi ke dua
profesi ini. Jika pengabaian obyektivitas
dianggap enteng, publik dihadapkan situasi krisis sebab dua profesi
yang berbasis kepercayaan (credibility)
dibiarkan bobrok.
Sebagai perusahaan media, televisi mungkin masih tertolong,
misalnya dengan siaran sepak bola yang sangat diminati publik. Namun, siaran
berita televisi dan media cetak dengan
materi utama jurnalisme pada dasarnya menjebloskan diri. Seusai
pilpres, sebagai institusi sosial, dia harus keluar dari lubang kuburnya dan berusaha memulihkan diri, sementara
politisi yang bersaing sudah menikmati kursi masing-masing.
Jika politisi tak menghargai obyektivitas, mudah dipahami. Pemeo
populer menyatakan, dalam politik tak ada kawan atau lawan abadi, yang ada
hanya kepentingan yang sama. Tak perlu akal sehat (reason) dengan kerangka ideal publik dalam komunikasi, cukup
dengan kekuatan retorika dalam
propaganda.
Untuk kepentingan subyektif yang bersifat pragmatis, sudah biasa
segala cara dihalalkan. Apa jadinya manakala kecenderungan ini merasuk ke
dunia jurnalisme dan penelitian?
Yang abadi bagi media jurnalisme dan lembaga penelitian adalah
kepercayaan publik. Kepentingan pragmatis mungkin menguntungkan jangka
pendek, tetapi kehilangan kepercayaan
memerlukan upaya panjang membangun ulang hubungan organis dengan publik luas.
Krisis jurnalisme
Partisanship oleh media biasa terjadi. Namun, keberpihakan ini
bersifat gradual, tak absolut. Biasanya karena mendukung gagasan tertentu
yang berkesesuaian dengan visi media.
Dukungan pada gagasan diikuti simpati, tecermin dari pemberitaan tentang
kandidat bersangkutan. Namun, bukan berarti menutup sama sekali peluang
pemberitaan atas kandidat lain.
Karena itu, masa pilpres senantiasa jadi ranah kajian dalam studi komunikasi,
yaitu melalui analisis isi kuantitatif (content
analysis) melihat komposisi
pemberitaannya. Di sini diukur derajat netralitas dan keseimbangan terhadap
pihak-pihak yang bersaing. Artinya
setiap pihak tetap diberitakan. Media
digolongkan sebagai simpatisan, bukan partisan.
Koran Tempo yang disebut-sebut berpihak, atau Jakarta Post yang
eksplisit mendukung salah satu kontestan, dengan pengamatan sederhana
terlihat sebagai media simpatisan.
Simpati tecermin dalam pemberitaan. Namun, koran-koran ini tetap memberi tempat ke kontestan lain.
Asas jurnalisme dijalankan, yaitu setiap pemberitaan dari tiap-tiap kontestan
berdasarkan narasumber dari pendukung kontestan tersebut.
Krisis dalam kerja jurnalisme yang tampak dalam Pilpres 2014
lebih dari partisanship yang biasa dikenal. Belum pernah dunia jurnalisme
semabuk sekarang. Media pers dijalankan tanpa rikuh sebagai partisan dengan
berpihak secara mutlak kepada kontestan politik. Keberpihakan ini di satu sisi dengan memberi
tempat total kepada yang dipihaki, di sisi lain tak memberi tempat ke
kompetitor. Atau kalau memberitakan kompetitor secara tendensius bersifat
negatif, tanpa narasumber dari pihak yang diberitakan. Karena itu, disebut kampanye gelap. Asas
keseimbangan dan ketidakberpihakan yang jadi ciri netralitas dalam kerja
jurnalisme tak lagi dihormati.
Apakah keberadaan media partisan masih dinilai dengan norma
etika jurnalisme? Kiranya sudah tak
relevan bicara etika. Etika hanya dapat berlaku pada ranah perbuatan yang
bersifat relatif, antara baik dan kurang baik. Jika yang dilihat semata-mata
perbuatan buruk yang absolut, bukan lagi ranah etika. Itu urusan aparat hukum
karena bersifat pada pencemaran kehormatan/martabat, fitnah atau sejenisnya
sebagai pidana umum.
Jika sebelumnya hitung
cepat (HC) dapat jadi acuan yang menenangkan tensi kontestasi, pilpres kali ini malah dikisruhi data HC. Pada
waktu lalu, biasanya kisruh pemilu adalah pada penghitungan riil universe voter dalam struktur KPU, mulai dari
TPS sampai rekapitulasi di atasnya. Keterbukaan KPU sekarang adalah
menyediakan hasil pemindaian data mentah dari struktur paling bawah (C1 dari
PPS) secara daring. Kemudahan perangkat lunak
untuk capture dari layar monitor menjadikan pengawasan pada rekap
dapat ditingkatkan. Partisipasi publik melalui media daring menandai proses
kerja pemilu di Indonesia.
Kisruh terjadi di antara dua set kelompok data HC: versi 1 dari
empat lembaga yang memenangkan Prabowo-Hatta dan versi 2 dari delapan lembaga
yang memenangkan Jokowi-JK. Dengan jaringan stasiun televisi lebih banyak,
keberulangan tinggi data versi 1 terkesan lebih lantang. Secara masif
jaringan televisi MNC Group yang pemiliknya pendukung Prabowo-Hatta
menyiarkan data versi 1, dengan tak menyiarkan sama sekali data versi 2.
Stasiun lain menyiarkan data versi 1 dan 2, tetapi memberi keberulangan lebih
tinggi pada data versi 2. ”Perang” data HC berlangsung di layar kaca. Dengan
tak memberitakan data versi 2, jaringan MNC menempatkan diri partisan absolut.
Sampel lembaga HC adalah proporsi TPS, sedangkan data universe
KPU adalah seluruh TPS. Jadi publik perlu tahu bahwa keberadaan data HC
sangat ditentukan oleh kesahihan (validitas) atas sampel, dari sini
keterujian (reliabilitas) data ditentukan. Setiap kali HC dipublikasikan
media pada dasarnya memberikan pendidikan level akademik kepada publik luas
tentang kaidah metodologi penelitian. Karena itu, jika ada desakan agar
lembaga-lembaga HC membuka metodologi, mungkin tak harus deskripsi detail
sebaran sampel, yang penting publik kembali dididik tentang reasoning dalam
penentuan proporsi sebaran sampel penelitian HC.
Membangun profesi
Fungsi HC—terutama di negara yang rentan kecurangan (fraud) dalam penyelenggaraan
pemilu—adalah untuk pembanding bagi publik sehingga kalau perlu melakukan
gerakan masif dengan menunggui penghitungan di semua polling station.
Pengalaman NAMFREL (National Citizen Movement for Free
Election) di Filipina yang mengakhiri kekuasaan Marcos jadi contoh fungsi
penting HC.
Persoalan yang tersisa dari kisruh dunia jurnalisme dan
penelitian akibat Pilpres 2014 adalah menegakkan standar moral dalam
menjalankan profesi. Untuk profesi jurnalisme, persoalannya sederhana sebab
media partisan absolut jelas tak menjalankan kaidah episteme jurnalisme.
Sementara kaidah etika profesi hanya perlu diterapkan untuk melihat derajat
ketidakberpihakan yang dipermasalahkan (disputed).
Untuk itu organisasi profesi/majelis kehormatan dapat turun tangan memeriksa
kerugian publik yang diakibatkan malapraktik sang jurnalis.
Kenyataan bersimpati pada satu pihak, dan tak menutup peluang
bagi pihak lain, tuntutan etika adalah dalam menegakkan derajat obyektivitas
yang paling ideal. Bersimpati atau tidak ke satu pihak merupakan hak
preferensial pelaku profesi. Untuk itu harus disadari konsekuensi ke depan,
bagaimana memulihkan iklim netralitas paling optimal dalam kerja keredaksian.
Mengenai HC, pertaruhannya bagi eksistensi lembaga survei adalah
derajat paralelisme dengan data KPU nanti. Data palsu (sama sekali bertolak
belakang dengan data real count) akan mengakhiri hidup lembaga HC yang
mengeluarkan. Tantangan keberadaan lembaga HC akan berbeda jika lembaga
pemilu secara relatif tak lagi dicurigai. Semoga ke depan kredibilitas
kelembagaan KPU dapat dibangun dengan profesionalisme komisioner sekarang.
Artinya publik tak akan dikecewakan atas kasus korupsi, atau komisioner
sebenarnya diam-diam disiapkan sebagai orang partai, seperti KPU yang
sudah-sudah. Dengan kredibilitas lembaga pemilu, data HC bukan lagi
pembanding. Di sini peran lembaga HC yang kredibel adalah memenuhi hasrat
ingin tahu publik, dengan asas media pers yang utama, yaitu kecepatan.
Kemajuan teknologi informasi yang sangat mendukung kecepatan proses
penelitian di satu sisi dan pemediaan (termasuk media daring) di sisi lain
menuntut penampilan profesional dua
ranah ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar