Kota
Welas Asih
Bandung Mawardi ; Pengajar
Literasi di Blokagung, Banyuwangi;
Pengelola
Jagat Abjad Solo
|
JAWA
POS, 13 Agustus 2014
KOTA selalu berubah. Hari demi hari kota bisa menjadi tempat
kebahagiaan atau kesengsaraan. Kota berubah mengartikan ada perubahan
gagasan, imajinasi, mentalitas, identitas warga. Perubahan bisa
direncanakan-diramalkan atau berlangsung ’’sendiri’’ tanpa pengendalian
manusia. Eko Budihardjo (1944–2014) dalam buku berjudul Reformasi Perkotaan
(2014) mengingatkan bahwa kota adalah ’’produk sosiokultural, perilaku, dan
gaya hidup manusia’’, berubah dari waktu ke waktu, sejalan perubahan situasi
penduduk. Semakin besar kota dan kompleks penduduk semakin rumit masalah dan
konflik. Kesanggupan mengatasi masalah menebar harapan membentuk kota
manusiawi. Kegagalan merampungi pelbagai konflik bakal menjadikan kota
sebagai situs kesengsaraan.
Kota menginginkan kota adalah situs pengharapan, ruang hidup
kebahagiaan, rujukan atas peradaban manusiawi. Idealitas kehidupan kota
memang sulit diwujudkan, tapi berhak diusahakan. Kota-kota di Indonesia malah
mengalami ledakan penduduk, tekanan ekonomi, konflik sosial. Situasi
pertumbuhan kota berkemungkinan menimbulkan kesengsaraan dan bencana. Kota
sering mengalami krisis, tak memberikan jaminan bagi penduduk untuk menata
hidup berbahagia. Kota memicu kecemasan tanpa akhir akibat kegagalan dalam
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Kota memang berubah, tapi mengikutkan
petaka-petaka.
Idealitas atas perkembangan kota-kota di Indonesia mulai
berkabar menggembirakan. Banyuwangi mendapat predikat Kota Welas Asih (Compassion City) dari Compassion Action Internasional.
Banyuwangi dianggap sanggup menerapkan agenda pembangunan berbasis keragaman,
humanisme, welas asih. Abdullah Azwar Anas (Jawa Pos, 5 Agustus 2014) mengatakan bahwa Banyuwangi berkomitmen
menjadi tempat bergelimang cinta dan bertaburan kasih. Kota menjadi ruang
hidup bagi warga untuk saling memberi dan membuat semaian kebahagiaan. Welas
asih dianggap dalil mendasar agar warga berbahagia di kota manusiawi.
Banyuwangi pun masuk dalam jaringan 40 kota welas asih di pelbagai negara.
Kabar mutakhir memang membahagiakan, meski kita masih merawat
ingatan-ingatan ’’traumatik’’ dan sinisme atas perkembangan kota-kota di
Indonesia. Ingatan masa lalu sulit disirnakan, referensi untuk tilikan
kemuliaan dan keburukan kota. Pramoedya Ananta Toer dalam artikel pendek
berjudul Mari Mengubah Wadjah Jakarta (1957) mengajukan kritik keras: ’’… Jakarta ini bukanlah kota dalam pengertian sosiologis dan
ekonomis. Jakarta baru merupakan tumpukan desa-desa dan kampung jang dipaksa berfungsi
sebagai kota dalam segi-segi sosiologis dan ekonomis. Perkosaan ini terdjadi tiap hari sedjak berdirinja Jakarta sebagai pemerintah
Hindia Belanda hingga dewasa ini.” Jakarta
memang kota dilematis, memberi pikat ke jutaan orang dari pelbagai desa atau
daerah pedalaman. Jakarta juga ’’tega’’ memberikan derita berkepanjangan
tanpa janji keselamatan. Di Jakarta, kisah-kisah warga dan kota sering
dilematis. Kita bisa merenungi Jakarta melalui suguhan buku berjudul Cerita
dari Jakarta (1957) persembahan Pram.
Jakarta sering menjadi parameter tentang keberhasilan dan
kegagalan pembangunan kota-kota di Indonesia. Ingatan kita terus bergerak
untuk mengomentari Jakarta. Satire disajikan Emha Ainun Nadjib (1979) melalui
puisi berjudul Jakarta I, Jakarta II,
Jakarta III. Emha tampak mengisahkan kaum nestapa sebagai oposisi dari
kemajuan Jakarta sebagai pusat impian di Indonesia. Emha dalam puisi Jakarta
I menyindir keras: Aku hanya debu/
Lekat di ban mobil/ Terhimpit di aspal panas/ Atau terlempar/ Di parit busuk
terkapar/ Ketika hujan turun/ Kami jadi lumpur/ Kental/ Mengelepot bumi.
Kota berarti tempat bagi kenestapaan. Jakarta adalah seribu tanda seru.
Orang-orang ingin berpredikat sebagai penikmat berkah kota, tapi mengalami
kejatuhan sebagai ’’debu’’ dan ’’lumpur’’. Kota meminta ribuan orang menjadi
tumbal.
Kita juga bisa mengimajinaskan Jakarta melalui lantunan lagu God
Bless berjudul Balada Sejuta Wajah,
dimuat dalam album Cermin (1980). Achmad Albar melantunkan lirik sedih: Denyut di jantungmu kota/ pusat gelisah
dan tawa/ dalam selimut debu dan kabut/ yang hitam kelam warnanya…. Mengapa
semua berkejaran dalam bising… Adakah hari esok makmur sentosa/ bagi
wajah-wajah yang menghiba.
Kota adalah lakon dilematis bagi jutaan orang: mengimpikan
kemakmuran, tapi terjerembap dalam kemiskinan. Jakarta sering memberikan
sejuta gelisah.
Puluhan tahun setelah puisi Emha Ainun Nadjib dan lagu dari God
Bles, Eko Budihardjo (2014) turut mengingatkan bahwa Jakarta dan kota-kota di
Indonesia cenderung kian tak manusiawi: memarginalkan manusia dan mengabaikan
dimensi sosial-kultural. Kota bisa menjadi monster, memangsa jutaan orang dan
mengempaskan ribuan impian.
Kita tinggalkan memori Jakarta, menoleh ke Banyuwangi sebagai
Kota Welas Asih. Imajinasi kota harus berpusat ke Jakarta atau kota-kota
besar. Kita mengharapkan bermunculan narasi alternatif, mengisahkan kota-kota
bahagia, makmur, damai. Kota berpijak welas asih tentu merangsang warga tak
picik dalam menjalankan agenda-agenda ekonomi, politik, pendidikan,
kesehatan, ekologi, seni, hiburan. Kota mesti bergelimang harapan ketimbang
sengsara. Drijarkara (1956) mengingatkan bahwa kota adalah ’’kata’’ dan
’’ruang’’ mengandung kengerian dan risiko. Kota sebagai kata memang
memberikan utopia dan janji indah, tapi melenakan dan melengahkan. Kota
sebagai ruang hidup adalah ruang kompetisi, konfrontasi, dan konflik. Banyuwangi
tentu menjadi acuan agar pesimisme kota tidak berkepanjangan.
Kota tak selalu antologi frustrasi. Hidup di kota masih
memungkinkan warga menanam harapan-harapan dan menuai kebahagiaan. Kota
memang selalu berubah, tapi hasrat manusiawi mesti menjadi referensi agar
warga tak menjadi korban. Di kota, terapan welas asih adalah keharusan. Lakon
kota berwelas asih adalah representasi kemuliaan manusia dalam mengartikan
hidup mengacu ke sejarah dan perkembangan kota. Begitu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar