Jumat, 22 Agustus 2014

Masjid Cheng Hoo

                                                   Masjid Cheng Hoo

Achmad Fauzi   ;   Aktivis Multikulturalisme
KORAN TEMPO, 21 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Masjid Muhammad Cheng Hoo memberikan keteladanan penting tentang inklusivisme beragama. Masjid yang terletak di Kota Surabaya ini bisa dijadikan referensi bagi masjid dan tempat ibadah lain dalam mengatur pola interaksi dengan umat agama lain. Ketika mengumandangkan azan subuh, misalnya, muazin tidak menggunakan pengeras suara, sehingga warga sekitar yang mayoritas non-muslim tidak terganggu. Eksplanasi tersebut untuk menghindari pola-pola konflik yang berbasis perebutan aset massa. Apalagi, ketika pergumulan penyiaran agama telah melampaui batas-batas demarkasi teologi masing-masing agama, masjid menjadi momentum terbaik untuk menyebarkan ajaran agama yang moderat, toleran, dan menjunjung tinggi kepelbagaian.

Masjid Muhammad Cheng Hoo merupakan rumah ibadah yang bercorak unik dan multikultural. Ide penamaannya diilhami oleh tokoh legendaris Tionghoa, Laksamana Cheng Hoo, yang dikenal saleh dan toleran dalam beragama. Jejak historis dari ekspedisi Laksamana Cheng Hoo pada abad ke-15 diakui telah menaburkan benih-benih ajaran Islam yang penuh kelembutan, yang di dalamnya menyeruak aroma toleransi dan penghormatan terhadap budaya-budaya lokal. Keberadaan Masjid Muhammad Cheng Hoo terbuka untuk siapa saja tanpa memandang agama, ras, warna kulit, ataupun golongan. Dulu, Nabi Muhammad juga memperlakukan masjid secara terbuka dan menjadikannya tempat dialog lintas agama. 

Masjid Muhammad Cheng Hoo berhasil menjadi simbol keragaman. Ini menjadi aset bagi masyarakat dalam mewujudkan inspirasi semangat kepelbagaian. Zaman dulu, masjid berdiri berdampingan secara damai di antara gereja. Kelenteng berdiri di antara vihara dan pura. Tapi kini suasana yang ada sudah berbeda. GKI Yasmin saja hingga kini masih menjadi objek konflik antar-agama meski putusan MA telah berkekuatan hukum tetap.

Padahal Presiden berharap GKI Yasmin dan masjid di dekatnya dapat berdiri secara berdampingan sehingga menjadi miniatur kerukunan antar-umat beragama di Indonesia. Itulah tantangan kita bersama untuk beragama secara toleran. Sentimen negatif itu dapat tereliminasi jika tempat ibadah sebagai pusat peradaban selalu menggemakan tema kerukunan sebagai isu utama. Rumah ibadah seharusnya menjadi tempat menyemai kedamaian, inklusivisme, dan rasa saling menghargai antar-umat beragama.

Banyak prestasi gemilang yang telah diraih oleh masjid monumental ini dalam menghadirkan wajah Islam yang ramah. Tak hanya dalam bidang penggemblengan akidah, dalam aspek kemasyarakatan pun Masjid Muhammad Cheng Hoo membangun jembatan komunikasi dengan warga sekitar. Hal itu terlihat dari ragam kegiatan yang ada, seperti pembagian buku serta alat tulis kepada anak-anak kecil yang berada lingkungan di sekitar, pembagian bahan pokok murah, perayaan Nuzulul Quran, donor darah, serta pengobatan tradisional akupunktur Tiongkok. Di bidang pendidikan, mereka telah mendirikan Istana Balita dan usaha-usaha lainnya. Ini sebuah kemajuan yang menggembirakan. Masjid Muhammad Cheng Hoo tak kenal lelah dalam memancangkan pilar-pilar kesalehan sebagai mercusuar bagi umat dan menjadi "kiblat" bagi masjid-masjid lain di Indonesia.

Ke depan, lembaga-lembaga keagamaan harus proaktif meneladani dan merumuskan kembali strategi dakwah bernapaskan toleransi, inklusivisme, kebangsaan, dan kemanusiaan. Walhasil, dari masjid, jalan spiritual yang sejuk dan mengayomi seluruh umat manusia kembali menemui jalan terang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar