Masjid
Cheng Hoo
Achmad Fauzi ;
Aktivis Multikulturalisme
|
KORAN
TEMPO, 21 Agustus 2014
Masjid Muhammad Cheng Hoo memberikan keteladanan penting tentang
inklusivisme beragama. Masjid yang terletak di Kota Surabaya ini bisa
dijadikan referensi bagi masjid dan tempat ibadah lain dalam mengatur pola
interaksi dengan umat agama lain. Ketika mengumandangkan azan subuh,
misalnya, muazin tidak menggunakan pengeras suara, sehingga warga sekitar
yang mayoritas non-muslim tidak terganggu. Eksplanasi tersebut untuk
menghindari pola-pola konflik yang berbasis perebutan aset massa. Apalagi,
ketika pergumulan penyiaran agama telah melampaui batas-batas demarkasi
teologi masing-masing agama, masjid menjadi momentum terbaik untuk
menyebarkan ajaran agama yang moderat, toleran, dan menjunjung tinggi
kepelbagaian.
Masjid Muhammad Cheng Hoo merupakan rumah ibadah yang bercorak
unik dan multikultural. Ide penamaannya diilhami oleh tokoh legendaris Tionghoa,
Laksamana Cheng Hoo, yang dikenal saleh dan toleran dalam beragama. Jejak
historis dari ekspedisi Laksamana Cheng Hoo pada abad ke-15 diakui telah
menaburkan benih-benih ajaran Islam yang penuh kelembutan, yang di dalamnya
menyeruak aroma toleransi dan penghormatan terhadap budaya-budaya lokal.
Keberadaan Masjid Muhammad Cheng Hoo terbuka untuk siapa saja tanpa memandang
agama, ras, warna kulit, ataupun golongan. Dulu, Nabi Muhammad juga
memperlakukan masjid secara terbuka dan menjadikannya tempat dialog lintas
agama.
Masjid Muhammad Cheng Hoo berhasil menjadi simbol keragaman. Ini
menjadi aset bagi masyarakat dalam mewujudkan inspirasi semangat
kepelbagaian. Zaman dulu, masjid berdiri berdampingan secara damai di antara
gereja. Kelenteng berdiri di antara vihara dan pura. Tapi kini suasana yang
ada sudah berbeda. GKI Yasmin saja hingga kini masih menjadi objek konflik
antar-agama meski putusan MA telah berkekuatan hukum tetap.
Padahal Presiden berharap GKI Yasmin dan masjid di dekatnya
dapat berdiri secara berdampingan sehingga menjadi miniatur kerukunan
antar-umat beragama di Indonesia. Itulah tantangan kita bersama untuk
beragama secara toleran. Sentimen negatif itu dapat tereliminasi jika tempat
ibadah sebagai pusat peradaban selalu menggemakan tema kerukunan sebagai isu
utama. Rumah ibadah seharusnya menjadi tempat menyemai kedamaian,
inklusivisme, dan rasa saling menghargai antar-umat beragama.
Banyak prestasi gemilang yang telah diraih oleh masjid
monumental ini dalam menghadirkan wajah Islam yang ramah. Tak hanya dalam
bidang penggemblengan akidah, dalam aspek kemasyarakatan pun Masjid Muhammad
Cheng Hoo membangun jembatan komunikasi dengan warga sekitar. Hal itu
terlihat dari ragam kegiatan yang ada, seperti pembagian buku serta alat tulis
kepada anak-anak kecil yang berada lingkungan di sekitar, pembagian bahan
pokok murah, perayaan Nuzulul Quran, donor darah, serta pengobatan
tradisional akupunktur Tiongkok. Di bidang pendidikan, mereka telah
mendirikan Istana Balita dan usaha-usaha lainnya. Ini sebuah kemajuan yang
menggembirakan. Masjid Muhammad Cheng Hoo tak kenal lelah dalam memancangkan
pilar-pilar kesalehan sebagai mercusuar bagi umat dan menjadi
"kiblat" bagi masjid-masjid lain di Indonesia.
Ke depan, lembaga-lembaga keagamaan harus proaktif meneladani
dan merumuskan kembali strategi dakwah bernapaskan toleransi, inklusivisme,
kebangsaan, dan kemanusiaan. Walhasil, dari masjid, jalan spiritual yang
sejuk dan mengayomi seluruh umat manusia kembali menemui jalan terang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar