Kupat
Anton Kurnia ; Penulis Cerpen
|
KORAN
TEMPO, 05 Agustus 2014
Seorang anak bertanya kepada ibunya: mengapa setiap Idul Fitri,
tiap kali merayakan Lebaran, kita makan kupat alias ketupat?
Sang ibu yang bijak tersenyum. Dia lalu menyampaikan apa yang
pernah diajarkan kepadanya nun pada suatu masa. Kupat itu maknanya
"ngaku lepat", yakni mengaku bersalah. Pernyataan memohon maaf atas
segala khilaf dan kesalahan.
Lalu, mengapa kupat itu dibungkus janur yang dianyam dan
berbentuk persegi empat, tidak lonjong saja?
Janur atau daun kelapa kuning adalah kependekan dari
"jatining nur" atau cahaya sejati yang merupakan perlambang hati
nurani. Isi kupat, yakni beras, melambangkan nafsu duniawi. Kupat terbungkus
janur adalah simbol nafsu duniawi yang diselubungi hati nurani agar tidak
meluber menjadi sifat tamak.
Bentuk kupat yang persegi empat melambangkan "kiblat papat
lima pancer" dalam ajaran sufisme Jawa. Kiblat papat itu empat penjuru
angin: barat, timur, utara, selatan. Lima pancer artinya ke arah mana pun
manusia pergi, ia tak boleh melupakan pancer (arah) kiblat, yakni tetap
menghadap kepada Allah, tetap berada di jalan yang lurus-sirath al-mustaqim.
Ini juga melambangkan habluminallah-hubungan manusia dengan tuhannya.
Mengapa janur itu harus dianyam begitu rumit dan rapat?
Kerumitan itu muamalah yang memang gampang-gampang susah; anyaman rapat
melambangkan silaturahim, hubungan akrab dan berkasih sayang antarsesama. Ini
juga simbol habluminannas-hubungan antarmanusia.
Saat seseorang mengantarkan atau menyuguhkan kupat kepada
saudaranya, itu berarti dia mengakui segala kesalahannya dan dengan rendah
hati bersedia meminta maaf. Siapa yang berani meminta maaf lebih dulu, dialah
yang menang. Siapa yang berani merangkul lawannya, derajatnya lebih tinggi.
Menang tanpa jemawa, kalah tanpa terhina. Dalam kata-kata Raden Panji
Sosrokartono, filsuf-sufi Jawa lulusan Leiden, manusia yang hebat itu adalah
yang berhasil menang tanpa ngasorake. Menang tanpa merendahkan lawan.
Sebaliknya, yang kalah juga akan tinggi derajatnya jika dia mau mengakui
kekalahan. Wong kang wani ngalah iku dhuwur wekasane.
Idul Fitri kali ini bermakna lebih kompleks karena bangsa kita
baru saja melalui sebuah peristiwa nasional bersejarah, yakni pemilihan
presiden langsung yang menghadapkan dua kandidat yang nyaris sama kuat. Pesta
demokrasi yang sempat memecah-belah persatuan bangsa ini berujung pada
kemenangan Joko Widodo, yang dalam pidato pertamanya berupaya merangkul
pesaingnya, Prabowo Subianto. Sayangnya, hingga detik ini pihak yang kalah
belum juga mau mengakui keunggulan lawan dan masih berupaya mencari jalan
untuk menunda kekalahan.
Alangkah indahnya jika kedua elite politik yang kebetulan
sama-sama muslim dan beretnis Jawa itu bisa duduk semeja dan berbagi kupat
Lebaran. Saling mengaku lepat, saling meminta maaf, saling bersalaman dan
berangkulan demi kepentingan umat. Demikian pula para pendukung mereka yang
sempat saling serang, hendaknya bisa melupakan perbedaan pendapat dan
sama-sama menikmati kupat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar