Upaya
Perdamaian di Gaza
Anonim ;
( Tanpa Penjelasan )
|
KORAN
SINDO, 31 Juli 2014
Sejak
menjelang Idul Fitri, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah
mengeluarkan pernyataan untuk mengadakan gencatan senjata.
Namun,
tidak ada yang dapat menjamin apakah gencatan senjata itu akan dipatuhi kedua
belah pihak. Sehari kemudian, serangan Israel ke Gaza justru meningkat.
Ketiadaan kepercayaan antara Israel dan Hamas menjadi penghalang dialog dan
kesepakatan apa pun; masing-masing pihak lebih peduli pada upaya ofensif dan
provokasi serta mudah terprovokasi.
Akibatnya,
korban sipil di Gaza terus bertambah. Lembaga Hak Asasi Manusia Palestina
telah merilis jumlah korban jiwa, korban luka, dan kerugian material akibat
perang 21 hari di wilayah Gaza. Penggunaan kekerasan senjata yang berlebihan
oleh Israel kepada warga di Gaza telah menimbulkan jumlah korban yang besar.
Kematian warga sipil Palestina di Gaza adalah 27 kali lebih banyak daripada
Israel.
Untuk
perbandingan, di pihak Israel ada 43 tentara dan 3 masyarakat sipil yang
sementara ini telah meninggal akibat serangan ke Gaza. Di pihak Palestina,
ada 182 tentara dan 832 penduduk sipil yang tewas, termasuk di antaranya 121
perempuan dan 221 anak-anak. Selain mereka yang tewas, perang di Gaza juga
telah menyebabkan korban luka-luka, di mana jumlah korban di pihak Palestina
sekitar 28 kali lebih banyak daripada jumlah korban di pihak Israel.
Di
pihak Israel ada 140 korban luka tentara dan 23 masyarakat sipil, sementara
di Gaza jumlah orang yang terluka ada 4.704 orang. Meningkatnya jumlah korban
ini disebabkan karena keputusan Israel untuk melakukan serangan darat. Hingga
saat tulisan ini ditulis, Israel dan Hamas tetap bergeming dengan tuntutannya
masing- masing. Israel menuntut agar ada jaminan penghentian tembakan
roket-roket dari Gaza ke wilayah Israel.
Pihak
Israel mencatat ada lebih dari 2.000 roket telah ditembakkan dari Jalur Gaza.
Untuk kepentingan itu, Israel juga menuntut agar wilayah Gaza bebas dari
aktivitas militer, aliasdemi-literisasiwilayahGaza. Selain itu, Israel juga
menuntut ditutupnya terowongan-terowongan yang dituding menjadi jalan bagi
gerilyawan Hamas menculik dan menyerang Israel.
Kekhawatiran
Israel ini muncul ketika sebuah terowongan muncul di dekat kibbutz
(permukiman) Kerem Shalom sehingga beredar skenario bahwa Hamas berniat
melakukan amuk dan membunuh penduduk Israel setelah infiltrasi melalui
terowongan sejenis yang ditemukan di Kerem Shalom.
Di
sisi lain, pihak Palestina menuntut agar blokade atas wilayah Gaza dibuka.
Mereka juga menuntut agar terjadi pertukaran 4 orang tentara Israel dengan tahanan-tahanan
Palestina yang dihukum dengan masa hukuman yang panjang. Pembebasan tahanan
juga dituntut untuk mereka yang ditangkap kembali setelah kesepakatan
pembebasan tahanan Shalit Deal 2011.
Palestina
juga menuntut agar wilayah industri perikanan diperluas, batas kegiatan
pertanian di perbatasan Gaza dilonggarkan agar masyarakat Gaza dapat melakukan
kegiatan ekonomi, dan agar ada kesepakatan internasional yang menjamin
penegakan kesepakatan Israel-Palestina. Tuntutan Palestina ini agak berbeda
dari tuntutan Hamas yang bergeming bahwa Israel harus keluar dari
wilayah-wilayah yang diduduki menurut Keputusan PBB Tahun 2012.
Posisi
terakhir dari PBB pada 29 November 2012 telah mendefinisikan status Palestina
sebagai Wilayah Palestina yang diduduki sejak 1967. Sementara itu, faksi kuat
lain di Palestina yaitu kelompok Fatah, setuju untuk melakukan tukar guling
dengan tanah-tanah yang memiliki nilai dan luas yang sama. Beragamnya
tuntutan pihak bertikai telah membuat upaya perundingan berlarut-larut dan gencatan
senjata seakan mimpi belaka.
Hingga
saat ini ada sedikitnya tiga alternatif proposal perdamaian yang disampaikan
oleh masyarakat internasional atau pihak regional di Timur Tengah. Hingga
saat ini masih sulit untuk mengetahui dengan pasti apa isi dari masing-
masing usulan perjanjian. Menurut kantor Berita Israel, Haaretz , pihak
Israel telah menolak usulan perdamaian dari AS yang diajukan Menlu John
Kerry.
Dalam
usulan perdamaian yang diberi judul ”Framework
for Humanitarian Ceasefire in Gaza” dan dikirimkan pada Jumat pekan lalu,
Kerry tidak mengakomodasi tuntutan Israel untuk mendemiliterisasi Jalur Gaza
dari roket dan persenjataan berat serta penghancuran terowongan yang
menghubungkan Gaza dengan Israel. Ironisnya, Hamas juga menolak usulan Kerry
karena mereka tidak mau melakukan negosiasi sebelum Israel keluar dari
wilayah pendudukan.
Sebelum
itu, ada juga proposal perdamaian yang diusulkan oleh Mesir pada 14 Juli
2014. Inti dari usulan itu antara lain adalah penghentian segala tindak kekerasan
dari kedua belah pihak, serta pembukaan kesempatan untuk melakukan kegiatan
pertolongan dan kemanusiaan. Para pihak harus sudah menjalankan isi
perjanjian tersebut selama 12 jam setelah perjanjian disepakati dan kedua
belah pihak setuju untuk pergi ke Kairo melakukan negosiasi selama 48 jam
untuk mendiskusikan hal-hal yang belum diatur dalam kesepakatan.
Usulan
Mesir ini diterima oleh Israel dan Otoritas Palestina, namun ditolak oleh
Hamas. Banyak hal substantif dari usulan kesepakatan itu yang ditolak oleh
Hamas, namun tidak dapat dibahas panjang karena keterbatasan ruang dalam
artikel ini. Salah satu contoh misalnya penolakan Hamas atas syarat pembukaan
perlintasan perbatasan yang disyaratkan dengan alasan jaminan keamanan.
Usulan
ini pernah dicantumkan dalam usulan Mesir di tahun 2012 pada saat Presiden
Mursi masih berkuasa. Dalam usulan itu tidak ada syarat jaminan keamanan.
Menurut Hamas, hal itu hanya akal selubung dari Israel karena apabila ada
syarat jaminan keamanan yang untuk membuka perbatasan, maka pembukaan
perbatasan itu tidak akan pernah ada.
Dengan
penolakan tersebut, Hamas beralih ke usulan perdamaian Qatar dan Turki.
Usulan perjanjian tersebut dibahas oleh John Kerry di Paris. Pihak Otoritas
Palestina menyatakan kekecewaan mereka atas pertemuan tersebut karena tidak
melibatkan Otoritas Palestina sebagai negara yang berdaulat atas Palestina
dan Mesir sebagai negara yang memiliki perbatasan langsung dengan wilayah
Gaza.
Sebagai
catatan, Qatar dan Turki adalah negara-negara yang mendukung perjuangan Hamas
hingga saat ini. Turki dalam beberapa minggu terakhir memiliki hubungan yang
buruk dengan Mesir setelah Perdana Menteri Erdogan menyebut Presiden Mesir,
Abdel Fattah Al- Sisi, sebagai seorang tiran. Sebagai pihak luar, Indonesia berada
dalam posisi yang tidak kalah sulit dengan yang dialami Palestina.
Informasi
yang kita peroleh tidak sepenuhnya bebas nilai dan kita tahu persis bahwa
eskalasi problem Gaza hari ini adalah buah dari makin tingginya
ketidakpercayaan antara Israel dan Hamas akibat berlarutlarutnya konflik di
Gaza. Banyak aktor politik, kelompok, faksi-faksi dan negara-negara yang
terlibat dalam konflik di Gaza.
Eropa
dan Amerika Serikat tidak dapat melakukan negosiasi langsung dengan Hamas
sejak organisasi itu dinyatakan sebagai organisasi teroris sehingga mereka
mengandalkan hubungan dengan negara lain seperti Turki dan Qatar. Turki dan
Qatar pun memiliki hubungan yang tidak baik dengan Mesir sejak Jenderal Sisi
memegang kekuasaan walaupun tidak dapat diabaikan fakta secara geografis,
Mesir punya peran besar dalam solusi di Gaza.
Perserikatan
Bangsa-Bangsajuga lemah dalam upaya perdamaian karena sebagian besar pemegang
veto tidak dapat bersikap netral. Terlalu besar mungkin bila kita berharap
ada solusi dari Indonesia yang dapat diterima oleh mereka yang sedang
berkonflik di Palestina, namun kita dapat berperan aktif dalam masalah di
Gaza dan Palestina dengan memperkuat solidaritas kemanusiaan dan memperkuat
PBB.
Kemanusiaan
adalah dasar imparsialitas kita yang paling kuat dalam konflik di Palestina
tanpa mengurangi tuntutan self-determination bagi penduduk Palestina. Sekecil
apa pun peran kita di Palestina, untuk kemanusiaan sudah pasti akan
meringankan beban masyarakat di Palestina. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar