Jumat, 22 Agustus 2014

Membaca Semitioka Surat Karen

                              Membaca Semitioka Surat Karen

Gunawan Permadi  ;   Wartawan Suara Merdeka
SUARA MERDEKA, 21 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

“Pesan yang mengemuka adalah sedemikian dahsyat pertarungan kekuasaan yang terjadi di sektor migas”

PENGUNDURAN diri Dirut Pertamina Karen Agustiawan, meski dengan alasan pribadi, tetap membuat publik bertanya-tanya. Adakah sesuatu yang salah atau tidak normal dalam pengunduran diri itu, yang diajukan hanya selang dua bulan sebelum pemerintahan baru berkuasa?

Penjelasan ”resmi” dari Menteri BUMN Dahlan Iskan menyebutkan, Karen mengundurkan diri karena alasan yang bersifat sangat pribadi dan ingin mengajar di Universitas Harvard, Amerika Serikat. Jika membaca penjelasan itu secara tekstual, semuanya disimpulkan berada dalam situasi yang wajar-wajar saja. Bukankah hak seseorang untuk menentukan sendiri pilihan profesi dan karier profesionalnya?

Namun, penjelasan tekstual saja mungkin tidak cukup karena pembacaan peristiwa itu secara tekstual telah menutup kemungkinan pertanyaan-pertanyaan kritis. Karen juga tidak pernah atau belum mengeluarkan pernyataan secara terbuka, kecuali melalui ”surat perpisahan” yang ditulisnya untuk para pekerja Pertamina. Surat perpisahan Karen membuka peluang untuk mengamati lebih seksama tabir yang menyelimuti keputusan itu.

Tampaknya, inilah surat perpisahan yang kali pertama ditulis seorang pejabat publik di Indonesia yang mengundurkan diri. Posisi Karen sebagai pemimpin perusahaan minyak yang menentukan segala gerak publik, menjadi sangat penting untuk dicermati sebagai latar belakang pembacaan surat perpisahan itu secara kritis.  Analisis wacana kritis (critical discourse analysis) menyediakan metode untuk membaca teks itu tidak sebagai teks, tapi sebagai pesan yang mengandung muatan-muatan ideologis-politis dan mengungkap relasi kekuasaan.

Banyak pertanyaan muncul, antara lain apakah Karen mundur karena selama menjabat banyak mendapat tekanan? Ataukah dia ditekan untuk mundur? Apakah benar ia mengundurkan diri karena alasan pribadi? Menyimak surat perpisahan Karen secara kritis akan sedikit membuka jalan untuk menjawab, atau setidak-tidaknya, mengidentifikasi, pertanyaan itu.

Secara kontekstual, surat perpisahan itu bukanlah kelaziman. Seorang pejabat publik pemimpin perusahaan penting sudah sewajarnya, dan sudah seharusnya, memberikan pernyataan langsung secara terbuka kepada publik berkait keputusannya. Karen memilih menggunakan surat perpisahan itu untuk menyampaikan pesan, dan karena itu sangat penting untuk membedah surat itu secara kritis.

Mengapa analisis teks penting? Analisis teks akan mengungkap tabir politik, yang tidak lain adalah kompetisi kekuasaan untuk memberlakukan gagasan sosial, ekonomi, politik tertentu dalam praktik. Bahasa memainkan peran utama dalam kompetisi kekuasaan itu. Dalam kerangka analisis wacana kritis, bahasa berfungsi dalam kerangka psikologis, kultural, dan sosial. Sangat penting untuk mencermati bahwa surat itu banyak menggunakan kata ”saya”.  Ada 18 kali penggunaan kata ”saya”, 8 kali penggunaan kata ”Anda” dan empat kali pengguna­an kata ”kita”.

Pertentangan Ideologis


Atribut penting dari surat itu adalah ”saya”, dan konsentrasi utama dalam pesan itu adalah ”saya”, yakni Karen. Struktur kronologis surat dari paragraf pertama hingga keenam adalah pengungkapan pesan telah berkarya lama (frasa ”memimpin Pertamina” muncul empat kali), sebuah tugas yang menuntut pengorbanan (kata ”sumbangsih”), dan memimpin perusahaan untuk ”lepas landas” menuju  world class national energy company. Dapat ditafsirkan, surat itu adalah pesan Karen sebagai pemimpin Pertamina, bukan sebagai pribadi, meskipun dengan menggunakan alasan yang bersifat pribadi.

Sebagai seorang eksekutif tertinggi, dia memiliki ruang dan kanal yang sangat leluasa untuk menyampaikan pesan kepada koleganya. Mengapa harus melalui surat? Interpretasinya, pesan itu adalah untuk publik, sebagai salah satu pemangku kepentingan urusan sektor minyak dan gas. Lantas, pesan apakah yang hendak disampaikan melalui pesan yang seolah-olah bersifat pribadi?

Surat itu memuat 17 kata atau frasa yang bersifat subjektif-emosional (cintai, banggakan, pribadi, dan seterusnya) dan 14 kata atau frasa yang bersifat kualitatif (manusia biasa, terbaik, luar biasa, dan lain-lain), atau secara total 31 kata yang merujuk pada referensi subjektif-kualitatif.

Surat itu adalah sebuah pesan tentang suasana kebatinan emosional yang kental, yang merujuk pada sebuah keputusan yang jelas-jelas diambil dalam relasi kekuasaan yang di luar kendali subjek yang bersangkutan.

Meskipun menyebut ”pertimbangan yang bersifat pribadi”, dia mengakui bahwa keputusan itu ”sama sekali bukan hal yang mudah”.  Kesimpulannya, bukan ”tekanan” yang menyebabkan pengambilan keputusan itu melainkan ”ada tekanan untuk mengambil keputusan itu”. Dalam konteks waktu, jabatan itu akan diemban sampai 2018 setelah diperpanjang dari periode jabatan sebelumnya, sehingga percepatan purnatugas itu tidak wajar dari segi periode masa bakti.

Bahasa mudahnya, Karen kemungkinan besar bukan tidak tahan pada tekanan, tetapi dipaksa untuk mundur. Siapa memaksa, mengapa ditekan, itu memang tidak tersurat secara tegas dalam pesan surat itu.

Adakah komponen ideologis yang tersurat dan tersirat? Penggunaan kata ”pekerja Pertamina”, ”sumbangsih bagi BUMN”, ”bagi kemajuan bangsa dan negara”, ”perubahan pada ketidaknyamanan”, merujuk pada pemahaman tentang teknokrasi, profesionalisme, nasionalisme, iklim ketidakpastian, dan sikap diri yang menekankan pada meritokrasi.

Komponen-komponen ideologis itu lebih jelas tampak jika dianalisis fokus retorika politis yang muncul pada masing-masing paragraf.

Paragraf pertama menekankan pada keputusan yang sangat sulit untuk diambil, paragraf kedua menyebut penghayatan dedikasi profesional, disusul dengan pembeberan pendekatan humanistik pada paragraf ketiga, keberhasilan kepemimpinan pada paragraf keempat, dan ditutup dengan opini kekhawatiran akan adanya perubahan sistemik setelah keputusan pengunduran diri itu.

Dengan menyandingkan komponen-komponen ideologis dalam analisis semiotika itu dan struktur retorika politis tiap paragraf, sangat tampak ada pertentangan ideologis yang kuat antara diri subjek dan sistem lingkungan yang dihadapi: seorang yang sedemikian berprestasi tetapi harus meminggirkan kepemimpinannya. Konklusi dari pesan itu secara keseluruhan, Karena mencoba menarik problematika profesional ke ranah emosional.

Artinya, keputusan mundur itu sesungguhnya tidak dikehendaki oleh yang bersangkutan, yang mengimplikasikan ada tekanan-tekanan sedemikian hebat sehingga menimbulkan ”keguncangan emosionalitas” hingga dan setelah keputusan itu diambil.

Subjek sangat menekankan prestasi kepemimpinannya dan ada kekhawatiran bakal terjadi perubahan setelah dirinya tidak lagi memimpin Pertamina. Hal itu jelas sangat bertolak belakang dari pernyataan resmi yang menyebut keputusan mundur itu karena alasan personal belaka.

Pembacaan secara singkat melalui analisis wacana kritis itu memang masih memiliki beberapa kekurangan, antara lain analisis ini hanya bersifat diakronis. Analisis lebih mendalam terhadap dokumen terkait akan lebih menunjukkan kedalaman makna.

Namun, dalam konteks persoalan yang sedemikian ruwet di sektor migas, pesan yang mengemuka adalah sedemikian dahsyat pertarungan kekuasaan yang terjadi di sektor itu.

Apakah dengan mundurnya Karen akan makin mempermudah upaya membongkar pertarungan itu atau justru bakal makin mempersulit? Pesan itu seharusnya membawa publik untuk lebih dalam mengontrol sektor yang menjadi hajat hidup banyak orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar