Keindonesiaan
dan Keislaman (Bag. 2 dari 3)
Salahuddin Wahid ; Pengasuh Pesantren Tebuireng
|
REPUBLIKA,
23 Agustus 2014
Artikel SW ini telah dimuat di KOMPAS 16 Agustus 2014
Bung Karno berjanji dalam enam bulan akan di bentuk MPRS untuk
memberi kesempatan membahas kembali masalah Piagam Jakarta. Mereka
memperjuangkan kembali cita-cita mereka di dalam Konstituante pada 1956-1959
di Bandung.
Pada 11 November 1957 Rapat Pleno Majelis Konstituante membentuk
Panitia Perumus Dasar Negara. Ada tiga dasar negara yang diusulkan, yaitu
Pancasila, Islam, dan Sosial Ekonomi yang mengerucut pada Islam dan
Pancasila.
Pemberontakan daerah dan situasi politik yang tidak stabil
membuat militer makin yakin bahwa sistem parlementer tidak cocok bagi
Indonesia. Pimpinan militer mendesak penerapan kembali UUD 1945. Pada 22
April 1959 Bung Karno berpidato di depan Sidang Pleno Konstituante, isinya
antara lain : "Berkenaan dengan anjuran kembali pada UUD 1945, saya
sampaikan kepada Konstituante dengan resmi naskah UUD 1945 yang terdiri dari
pembukaan, batang tubuh, empat aturan peralihan dan dua aturan tambahan"
(notabene, tanpa penjelasan). Anjuran Presiden Sukarno itu ditolak
Konstituante.
Usul memasukkan semangat Piagam Jakarta ke Piagam Bandung gagal
karena kelompok Islam menolak jika pencantuman "kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluknya" hanya rumusan formal, yang dikehendaki
ialah rumusan operasional.
Konstituante sudah menyelesaikan lebih dari 90 persen kandungan
UUD.Ada dua masalah yang tidak bisa dicapai dengan musyawarah dan harus
diputuskan melalui pemungutan suara, yaitu dasar negara (Pancasila atau
Islam) dan bentuk negara (kesatuan atau federal). Kurang lebih 80 persen anggota
Konstituante memilih negara kesatuan.
Dalam tiga kali pemungutan suara, sekitar 56 persen anggota
Konstituante mendukung Pancasila dan sekitar 43 persen mendukung Islam
sebagai dasar negara. Karena ke putusan dalam pemungutan suara harus
disetujui 2/3 suara, maka tidak ada keputusan masalah dasar negara. Karena
itu, Konstituante menghadapi semacam jalan buntu.
Sejumlah besar warga melakukan demonstrasi mendesak pemberlakuan
kembali UUD 1945. Jenderal Nasution me nemui KH Idham Chalid (ketua umum) dan
KH Saifuddin Zuhri (sekjen)PB Partai NU mencari dukungan. PBNU mendukung
dengan permintaan Piagam Jakarta betul-betul mendapat perhatian.
Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang
isinya antara lain : 1. Pembubaran Kosntituan 2; Pember lakuan kembali UUD
1945; 3. Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu singkat. Dalam pertimbangan
Dekrit itu, dinyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai dan merupakan bagian tak
terpisahkan dari UUD 1945. Itu berarti bahwa menurut Dekrit Presiden, Piagam
Jakarta tidak bersifat operasional.
Umat Islam menerima Pancasila Pada 1973 pemerintah mengajukan
RUU Perkawinan. RUU itu ditolak ulama-ulama PPP di bawah pimpinan KH Bisri
Syansuri, Rais Aam PBNU, karena dianggap bertentangan dengan syariat Islam.
Pak Harto memahami keberatan para ulama itu dan menyetujui aspirasi umat
Islam sehingga UU Perkawinan itu menjadi UU pertama yang menampung syariat
Islam yang khusus untuk umat Islam. Walaupun Piagam Jakarta tidak bersifat
operasional, ternyata ketentuan syariat Islam bisa dioperasionalkan melalui
UU Perkawinan. Fakta ini me nyadarkan tokoh Islam bahwa tanpa negara berdasar
Islam ketentuan syariat Islam bisa dijadikan ketentuan dalam UU.
Berdasar kesadaran itu, saat pemerintah mengharuskan ormas dan
orpol menggunakan Pancasila sebagai asas, PBNU membentuk tim yang dipimpin KH
Achmad Shid diq untuk membuat kajian hubungan Pancasila dengan Islam. Munas
Ulama NU pada 1983 meneri ma Dokumen Hubungan Islam dan Pancasila yang
diperkuat dengan Keputusan Muktamar NU 1984, yang intinya menerima Pancasila
sebagai dasar negara RI. Sikap NU itu diikuti PPP dan hampir se mua ormas
Islam kecuali HMI yang membentuk HMI MPO.
Dalam perjalanan sejarah ternyata pada 1989 UU Peradilan Agama
disahkan menjadi UU dan pada 1991 terbit In pres tentang Kompilasi Hukum
Islam.
Selanjutnya, perbankan syariah mendapat tempat di dalam UU
Perbankan. Kesemua itu tidak terlepas dari peran Pak Harto, yang menunjukkan
visi Pak Harto tentang perpaduan antara keindonesiaan dan keislaman.
Pendidikan umum dan Islam Sejak awal kemerdekaan sudah ada dua
jenis pendidikan, yaitu pendidikan Islam yang berinduk ke Kementerian Agama
dan pendidikan umum yang berinduk ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Selain dualisme itu, dulu juga terdapat dikotomi ilmu umum dan
ilmu agama yang kini sudah jauh berkurang. Pada 1950, Menteri Agama Wahid
Hasyim dan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Bahder Johan membuat
nota kesepahaman yang mengatur di sekolah umum diberikan mata pelajaran agama
dan Kemenag mendirikan sekolah formal yang dikenal sebagai madrasah
ibtidiyah, madrasah tsanawiyah, dan madrasah aliyah.
Prof BJ Habibie merintis berdirinya Madrasah Aliyah Insan
Cendekia di Serpong dan Gorontalo yang bertujuan menghapus dikotomi ilmu
agama dan ilmu umum serta meningkatkan mutu madrasah aliyah. Pesantren
Tebuireng telah membuka Pesantren Sains di Jombok, Ngoro, Jombang, dengan
tujuan yang sama. Di situ siswa setingkat SMA diberikan pelajaran sains yang
berlandaskan ayat-ayat Alquran tentang alam semesta.
Wahid Hasyim juga merintis berdirinya Perguruan Tinggi Agama
Islam Negeri yang lalu berkembang menjadi IAIN dan lalu menjadi UIN.
Masjidmasjid kampus menghasilkan tokoh di dalam lingkungan masing-masing.
Banyak akademisi dari IAIN/UIN dan universitas lain yang berlatar belakang
pesantren tumbuh menjadi tokoh yang menonjol di dalam masyarakat dan menjadi
penulis serta pembicara yang pendapatnya didengar masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar