Ke
Sekolah
Bandung Mawardi ;
Penulis buku Pendidikan: Tokoh, Makna, Peristiwa (2014)
|
JAWA
POS, 04 Agustus 2014
LIBURAN panjang telah usai. Murid-murid bakal masuk ke sekolah lagi,
berbekal niat dan pengharapan. Mereka ke sekolah mencari ilmu, hiburan,
pengalaman, prestasi, gengsi. Adegan berangkat dari rumah ke sekolah adalah
adegan realis dan romantis, mengesankan panggilan menunaikan ”kewajiban”
menjadi manusia berilmu, manusia beradab, manusia berpengetahuan.
Mereka berpamitan kepada orang tua, mengharap doa dan restu agar
selamat sampai sekolah. Kita mulai mengimajinasikan adegan ke sekolah
mengartikan religiusitas, menjalankan perintah Tuhan agar menggunakan
akal-pikiran, perasaan, dan imajinasi dalam menjalani kehidupan. Bersekolah
mendapat hikmah dan berkah.
Bersekolah juga mengandung dilema dan kontradiksi. Kita bisa
simak perasaan murid melalui puisi berjudul Liburan Sekolah (2009–2010)
gubahan Joko Pinurbo: Ini malam
terakhir liburanku. Rasanya sekolah sudah merindukanku./ Kesempatan
membongkar tas sekolahku yang penuh/ dengan ribuan kata-kata pemberian ibu
dan bapak guru./ Kupilih dan kupilah mana yang harus kupersembahkan/ kepada
tempat sampah, mana yang mesti kuawetkan dalam ingatan.
Puisi berisi ”keluhan” murid, gamang mengartikan sekolah dan
kebermaknaan menjadi murid. Sekolah tak selalu menjadi referensi agar orang
berubah: dari bodoh menjadi pintar, dari nakal menjadi sopan, dari picik
menjadi cerdik. Murid berhak berlaku kritis, menganggap pelajaran-pelajaran
di sekolah harus ”dipilih” dan ”dipilah”. Peristiwa belajar di sekolah bisa
menjadi derita dan kemubaziran jika tak sesuai dengan pengharapan. Guru,
buku, dan situasi sekolah menentukan kebermaknaan murid menggumuli ilmu.
Sekolah sedang jadi urusan pelik di Indonesia. Joko Widodo mulai
menjanjikan bakal ada kebijakan berkualitas tentang dana pendidikan,
pendidikan karakter, kurikulum, beasiswa, dan penelitian. Seruan idealitas
disambut para cendekiawan. Optimisme dan pesimisme bercampur saat ada tafsir
menggamblangkan gagasan-gagasan besar tentang pendidikan. Di Indonesia,
pendidikan telanjur memiliki 1.001 masalah. Pelbagai kebijakan sudah
”dijajakan” dan ”dibuktikan”, tapi sering menimbulkan kritik dan kecaman.
Ignas Kleden (2014) mengajak pembaca menilik ulang persoalan
ilmu dan karakter bagi murid-murid SD. Selama puluhan tahun, bocah-bocah
dipaksakan cerdas, tapi tak mendapat rangsangan mempelajari adab dan
karakter. Di sekolah mereka harus belajar: melahap buku dan mengerjakan
soal-soal ujian untuk mendapat nilai terbaik. Pembelajaran keteladanan dan
keluhuran hampir sirna di sekolah. Kleden mengajukan satire: ”Anak-anak SD memikul tas penuh buku di
punggungnya, seakan mereka adalah mahasiswa doktoral yang tengah menulis
disertasi atau peneliti yang sedang mengecek teori penelitiannya.” Kita
tentu tak tega saat melihat murid-murid SD berkeringat dan pusing karena
menjalani hidup bersama buku-buku pelajaran. Mereka mungkin ingin mengutuk,
tapi tak memiliki bahasa paling representatif untuk diajukan ke presiden,
menteri, kepala sekolah, guru, dan orang tua.
Barangkali murid-murid sekolah ingin melantunkan lagu sendu
berisi derita. Mereka menjalankan tugas ”melahap” ilmu sesuai dengan kehendak
pemerintah agar Indonesia tidak berada di urutan paling belakang dalam daftar
kualitas pendidikan di dunia. Sejak SD murid-murid kehilangan lagu-lagu
gembira. Sekolah menjadi tempat berlimpahan duka. Bersekolah adalah tindakan
”keharusan” demi menghindari julukan manusia bodoh.
Kita perlu mengingat lantunan lagu-lagu bertema sekolah, berisi
bujukan agar murid-murid bersekolah dan rajin belajar. Kita suguhkan lagu
berjudul Ke Sekolah (1949) gubahan
A.E. Wairata: Radjinlah ke sekolah, itu
baiklah/ Nanti djadi pandai, taulanku dan handaiku/ Pasang telingamu ke
pengadjaran/ Tuntut akan ilmu dan kesopanan// Malas ke sekolah, itu
djanganlah/ Kalau bodoh nanti ajah susah hati/ Giatlah beladjar, paksa
dirimu/ Tjamkan jang diadjar oleh gurumu. Lagu-lagu bocah bertema
pendidikan sering merangsang imajinasi dan hasrat bocah untuk bersekolah,
berbekal gembira dan optimisme.
Situasi 1940-an dan 1950-an tentu berbeda dengan pendidikan di
Indonesia abad XXI. Dulu bocah-bocah bersekolah berlatar situasi perang dan
revolusi. Angan perubahan dimunculkan melalui propaganda pendidikan,
bermaksud mengubah negeri memiliki martabat dan kemuliaan. Sekolah juga
bermisi ”menambahi” kaum melek aksara. Di Indonesia, kemelekaksaraan
diperlukan demi revolusi dan pembangunan. Keberadaan sekolah adalah
representasi kehendak pemerintah mengajak warga berkeputusan mengubah nasib
melalui jalan pendidikan. Crijn dan Reksosiswojo dalam buku berjudul Pengantar di Dalam Praktik Pengadjaran dan
Pendidikan (1951) menjelaskan, tugas sekolah adalah memberikan pendidikan
jasmani, pendidikan kecerdasan (akal), dan pendidikan kesusilaan (budi
pekerti).
Liburan telah usai. Sekolah-sekolah bakal ramai dengan kehadiran
murid-murid. Mereka tak perlu ”memanggul” sejarah pendidikan di Indonesia
dengan punggung berkeringat. Kita selalu berharapan agar mereka memiliki
sejarah baru, membentuk diri sebagai manusia cerdas dan beradab tanpa derita
berkepanjangan. Bersekolah mesti gembira, melantunkan lagu-lagu optimisme. Di
sekolah janji-janji ditunaikan demi hidup bermutu. Kita melihat adegan
murid-murid di sekolah dengan ”mata pengharapan”. Kita pun masih menanti
kepekaan pemerintah untuk mengubah situasi dan lakon pendidikan di Indonesia.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar