Selasa, 05 Agustus 2014

Ke Sekolah

                                                              Ke Sekolah

Bandung Mawardi  ;   Penulis buku Pendidikan: Tokoh, Makna, Peristiwa (2014)
JAWA POS, 04 Agustus 2014

                                                                                                                                   

LIBURAN panjang telah usai. Murid-murid bakal masuk ke sekolah lagi, berbekal niat dan pengharapan. Mereka ke sekolah mencari ilmu, hiburan, pengalaman, prestasi, gengsi. Adegan berangkat dari rumah ke sekolah adalah adegan realis dan romantis, mengesankan panggilan menunaikan ”kewajiban” menjadi manusia berilmu, manusia beradab, manusia berpengetahuan.

Mereka berpamitan kepada orang tua, mengharap doa dan restu agar selamat sampai sekolah. Kita mulai mengimajinasikan adegan ke sekolah mengartikan religiusitas, menjalankan perintah Tuhan agar menggunakan akal-pikiran, perasaan, dan imajinasi dalam menjalani kehidupan. Bersekolah mendapat hikmah dan berkah.

Bersekolah juga mengandung dilema dan kontradiksi. Kita bisa simak perasaan murid melalui puisi berjudul Liburan Sekolah (2009–2010) gubahan Joko Pinurbo: Ini malam terakhir liburanku. Rasanya sekolah sudah merindukanku./ Kesempatan membongkar tas sekolahku yang penuh/ dengan ribuan kata-kata pemberian ibu dan bapak guru./ Kupilih dan kupilah mana yang harus kupersembahkan/ kepada tempat sampah, mana yang mesti kuawetkan dalam ingatan.

Puisi berisi ”keluhan” murid, gamang mengartikan sekolah dan kebermaknaan menjadi murid. Sekolah tak selalu menjadi referensi agar orang berubah: dari bodoh menjadi pintar, dari nakal menjadi sopan, dari picik menjadi cerdik. Murid berhak berlaku kritis, menganggap pelajaran-pelajaran di sekolah harus ”dipilih” dan ”dipilah”. Peristiwa belajar di sekolah bisa menjadi derita dan kemubaziran jika tak sesuai dengan pengharapan. Guru, buku, dan situasi sekolah menentukan kebermaknaan murid menggumuli ilmu.

Sekolah sedang jadi urusan pelik di Indonesia. Joko Widodo mulai menjanjikan bakal ada kebijakan berkualitas tentang dana pendidikan, pendidikan karakter, kurikulum, beasiswa, dan penelitian. Seruan idealitas disambut para cendekiawan. Optimisme dan pesimisme bercampur saat ada tafsir menggamblangkan gagasan-gagasan besar tentang pendidikan. Di Indonesia, pendidikan telanjur memiliki 1.001 masalah. Pelbagai kebijakan sudah ”dijajakan” dan ”dibuktikan”, tapi sering menimbulkan kritik dan kecaman.

Ignas Kleden (2014) mengajak pembaca menilik ulang persoalan ilmu dan karakter bagi murid-murid SD. Selama puluhan tahun, bocah-bocah dipaksakan cerdas, tapi tak mendapat rangsangan mempelajari adab dan karakter. Di sekolah mereka harus belajar: melahap buku dan mengerjakan soal-soal ujian untuk mendapat nilai terbaik. Pembelajaran keteladanan dan keluhuran hampir sirna di sekolah. Kleden mengajukan satire: ”Anak-anak SD memikul tas penuh buku di punggungnya, seakan mereka adalah mahasiswa doktoral yang tengah menulis disertasi atau peneliti yang sedang mengecek teori penelitiannya.” Kita tentu tak tega saat melihat murid-murid SD berkeringat dan pusing karena menjalani hidup bersama buku-buku pelajaran. Mereka mungkin ingin mengutuk, tapi tak memiliki bahasa paling representatif untuk diajukan ke presiden, menteri, kepala sekolah, guru, dan orang tua.

Barangkali murid-murid sekolah ingin melantunkan lagu sendu berisi derita. Mereka menjalankan tugas ”melahap” ilmu sesuai dengan kehendak pemerintah agar Indonesia tidak berada di urutan paling belakang dalam daftar kualitas pendidikan di dunia. Sejak SD murid-murid kehilangan lagu-lagu gembira. Sekolah menjadi tempat berlimpahan duka. Bersekolah adalah tindakan ”keharusan” demi menghindari julukan manusia bodoh.

Kita perlu mengingat lantunan lagu-lagu bertema sekolah, berisi bujukan agar murid-murid bersekolah dan rajin belajar. Kita suguhkan lagu berjudul Ke Sekolah (1949) gubahan A.E. Wairata: Radjinlah ke sekolah, itu baiklah/ Nanti djadi pandai, taulanku dan handaiku/ Pasang telingamu ke pengadjaran/ Tuntut akan ilmu dan kesopanan// Malas ke sekolah, itu djanganlah/ Kalau bodoh nanti ajah susah hati/ Giatlah beladjar, paksa dirimu/ Tjamkan jang diadjar oleh gurumu. Lagu-lagu bocah bertema pendidikan sering merangsang imajinasi dan hasrat bocah untuk bersekolah, berbekal gembira dan optimisme.

Situasi 1940-an dan 1950-an tentu berbeda dengan pendidikan di Indonesia abad XXI. Dulu bocah-bocah bersekolah berlatar situasi perang dan revolusi. Angan perubahan dimunculkan melalui propaganda pendidikan, bermaksud mengubah negeri memiliki martabat dan kemuliaan. Sekolah juga bermisi ”menambahi” kaum melek aksara. Di Indonesia, kemelekaksaraan diperlukan demi revolusi dan pembangunan. Keberadaan sekolah adalah representasi kehendak pemerintah mengajak warga berkeputusan mengubah nasib melalui jalan pendidikan. Crijn dan Reksosiswojo dalam buku berjudul Pengantar di Dalam Praktik Pengadjaran dan Pendidikan (1951) menjelaskan, tugas sekolah adalah memberikan pendidikan jasmani, pendidikan kecerdasan (akal), dan pendidikan kesusilaan (budi pekerti).

Liburan telah usai. Sekolah-sekolah bakal ramai dengan kehadiran murid-murid. Mereka tak perlu ”memanggul” sejarah pendidikan di Indonesia dengan punggung berkeringat. Kita selalu berharapan agar mereka memiliki sejarah baru, membentuk diri sebagai manusia cerdas dan beradab tanpa derita berkepanjangan. Bersekolah mesti gembira, melantunkan lagu-lagu optimisme. Di sekolah janji-janji ditunaikan demi hidup bermutu. Kita melihat adegan murid-murid di sekolah dengan ”mata pengharapan”. Kita pun masih menanti kepekaan pemerintah untuk mengubah situasi dan lakon pendidikan di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar