Arus
Balik Pascalebaran
Bagong Suyanto ;
Dosen mata kuliah Urbanisasi dan Perkembangan Megaurban
di Pascasarjana FISIP Unair
|
JAWA
POS, 04 Agustus 2014
SETELAH puluhan juta penduduk mudik ke berbagai daerah asal,
pascalebaran nanti salah satu persoalan yang perlu diantisipasi adalah
kemungkinan terjadinya arus balik yang jumlahnya lebih besar daripada arus
mudik. Di Jakarta, Sensus Penduduk 2010 mencatat jumlah migran risen yang
masuk dan memutuskan tinggal di Jakarta sekitar 600 ribu jiwa selama lima
tahun terakhir (2005–2010). Di Surabaya, meski tidak sebesar Jakarta,
diperkirakan arus balik migran mencapai puluhan ribu jiwa, atau bahkan 100
ribu jiwa lebih setiap tahun.
Ketika di pedesaan kesempatan kerja makin langka gara-gara
modernisasi pertanian dan merebaknya proses komersialisasi, sementara di kota
besar saat yang sama menawarkan sejumlah kemungkinan baru untuk mendapatkan
pekerjaan dan status sosial baru yang lebih baik, tidak bisa dicegah lagi
angka arus balik dan urbanisasi pun akan meningkat dari waktu ke waktu. Perkembangan
industri dan perdagangan di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya
niscaya akan menciptakan semacam magnet bagi penduduk miskin di pedesaan
untuk mengadu nasib mencari kehidupan yang lebih baik di kota.
Sepanjang migran yang masuk ke kota besar memiliki keahlian dan
mampu mengakses lapangan kerja di sektor perekonomian firma, sebetulnya
seberapa pun arus balik pascalebaran yang terjadi, itu semua tidak akan
menjadi masalah. Tetapi, lain soal jika arus balik migran ternyata didominasi
pekerja di sektor informal yang tak berkeahlian dan secara ekonomi miskin.
Bisa dibayangkan apa yang dapat dilakukan pemerintah kota-kota besar jika
setiap tahun jumlah lapangan kerja yang diciptakan dan daya jangkau layanan
publik yang dikembangkan tidak sebanding dengan meningkatnya arus urbanisasi.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa setiap tahun jumlah kaum migran yang menyerbu
kota besar umumnya sudah melampaui batas kemampuan kota itu untuk
mengakomodasi mereka.
Menurut Domminique Lappiere (1986) dalam bukunya, City of Joy, bahwa di kota
metropolitan arus urbanisasi yang berlebih (over urbanization) senantiasa melahirkan sejumlah persoalan
besar, mulai munculnya permukiman kumuh, menumpuknya jumlah pengangguran di
kota besar, meningkatnya kriminalitas, hingga matinya sebuah kota. Lantas,
apa yang harus dilakukan pemerintah kota untuk mencegah agar arus balik
pascalebaran tidak kontraproduktif?
Secara umum, ciri yang menandai kaum migran di berbagai kota
besar umumnya adalah penduduk desa yang kurang berpendidikan, tidak memiliki
keahlian khusus, dan miskin. Berbeda dengan migran yang datang di kota besar
untuk kepentingan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi atau migran
berpendidikan yang pindah kerja karena tuntutan perusahaan yang melakukan
mutasi kerja, migran yang masuk ke kota besar pascalebaran umumnya para
pendatang dari desa yang mengadu nasib karena kesempatan kerja di daerah asal
makin lama makin langka.
Sebagaimana layaknya penduduk desa yang mengadu nasib mencari
pekerjaan di kota besar, sebagian besar migran yang masuk kota besar umumnya
adalah orang-orang yang dengan terpaksa atau sukarela bekerja di sektor
informal, bekerja serabutan dan seadanya. Bahkan, terkadang pekerjaan yang
tergolong paling kotor dan menjijikkan pun bagi kebanyakan kaum migran dan
penduduk miskin kota adalah sebuah solusi yang realistis agar mereka tidak
tergilas kehidupan kota yang serbakeras. Bagi kaum migran, terutama, ketika
di desa sektor pertanian mengalami proses involusi yang hampir mencapai titik
jenuh, lapangan kerja menyempit, ’’urbanisasi berlebih’’ dan masuk ke sektor
informal adalah implikasi dari tekanan kemiskinan dan kesenjangan desa-kota
yang tidak lagi dapat dielakkan.
Studi yang dilakukan penulis (2006) menemukan, paling tidak
terdapat tiga alasan utama mengapa penduduk pedesaan nekat mengadu nasib
mencari pekerjaan di kota besar. Pertama, karena di desa dalam sepuluh tahun
terakhir sangat terasa bahwa kesempatan kerja yang tersedia di desa makin
hari makin langka, sementara usaha-usaha yang ditekuni sebelumnya keburu
kolaps. Kedua, karena adanya selisih upah antara desa dan kota besar yang
cukup menyolok. Karena itu, meski di desa tersedia beberapa pekerjaan yang
bisa dimasuki, karena upahnya sangat rendah, hasilnya pun tidak mencukupi
untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka. Ketiga, di luar faktor
ekonomi, alasan yang cukup dominan mendorong penduduk desa mengadu nasib ke
kota besar adalah karena masalah keluarga atau karena sesuatu yang sifatnya
personal.
Banyak kajian telah membuktikan bahwa kehadiran kaum migran
sebetulnya adalah salah satu bentuk respons migran dan masyarakat miskin di
kota terhadap pembangunan antardaerah yang tidak merata, meluasnya tingkat
pengangguran, dan merebaknya tekanan kemiskinan di pedesaan. Artinya,
kehadiran dan perkembangan dan penambahan jumlah migran di berbagai kota
besar tidak didorong oleh faktor internal dalam diri mereka sendiri, tetapi
lebih merupakan akibat dari terjadinya bias urban dalam pembangunan (McGee, 1971; Sethuraman, 1981; Evers,
1992; Suyanto., 2013).
Terjadinya arus balik pascalebaran atau migrasi penduduk ke
kota-kota besar sebetulnya tidak menjadi masalah sepanjang pemerintah kota mampu
menciptakan lapangan pekerjaan dan fasilitas publik yang cukup. Tetapi, lain
soal ketika arus urbanisasi yang terjadi sudah kelewat batas dan perkembangan
sektor informal di kota besar serta jumlah migran mulai menganggu ketertiban
dan menempati zona-zona publik yang melanggar ketentuan.
Untuk mengantisipasi lonjakan arus balik dan urbanisasi, selama
ini yang dilakukan pemerintah kota umumnya adalah dengan cara memperketat
pemberian kartu izin penduduk musiman (kipem),
melakukan berbagai razia migran liar, dan sweeping sering juga diadakan
setelah Lebaran, terutama di tempat-tempat kos untuk mengendalikan pergerakan
penduduk luar kota yang masuk.
Dalam batas-batas tertentu, upaya pengawasan dan tindakan
punitif (menghukum) untuk membatasi arus migrasi mungkin saja akan terkesan
efektif . Tetapi, dalam jangka panjang, kebijakan menutup pintu rapat-raat
bagi arus migrasi secara sepihak –tanpa diimbangi dengan upaya-upaya untuk
menciptakan kesempatan kerja di pedesaan dan mengurangi kesenjangan desa-kota
yang benar-benar efektif– niscaya tidak akan banyak bermanfaat. Sikap yang
memperlakukan kaum migran semata hanya sebagai terdakwa dan tidak memahami
mereka sebagai korban dari kesenjangan pembangunan antardaerah niscaya hanya
akan melahirkan masalah baru dan resistansi dari kaum migran itu sendiri.
Di era otonomi daerah, sikap egois masing-masing kota/kabupaten
dan kurangnya koordinasi antardaerah untuk menangani masalah urbanisasi di
hulu maupun di hilir niscaya akan mengakibatkan arus balik pascalebaran tetap
tinggi dari waktu ke waktu. Persoalannya di sini bukanlah bagaimana mencegah
kaum migran ketika kembali membawa suadara, tetangga, atau teman-temannya
dari desa untuk mengadu nasib di kota besar. Tetapi, yang lebih penting
adalah bagaimana memastikan wilayah pedesaan dapat dikembangkan dan tidak
kalah menjanjikan jika dibandingkan dengan kehidupan di kota besar. Pada
titik inilah, peran pemerintah provinsi dan pusat menjadi sangat penting.
Semoga hal ini menjadi salah satu pemikiran pemimpin negeri ini nanti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar