Selasa, 05 Agustus 2014

Arus Balik Pascalebaran

                                          Arus Balik Pascalebaran

Bagong Suyanto  ;   Dosen mata kuliah Urbanisasi dan Perkembangan Megaurban
di Pascasarjana FISIP Unair
JAWA POS, 04 Agustus 2014

                                                                                                                                   

SETELAH puluhan juta penduduk mudik ke berbagai daerah asal, pascalebaran nanti salah satu persoalan yang perlu diantisipasi adalah kemungkinan terjadinya arus balik yang jumlahnya lebih besar daripada arus mudik. Di Jakarta, Sensus Penduduk 2010 mencatat jumlah migran risen yang masuk dan memutuskan tinggal di Jakarta sekitar 600 ribu jiwa selama lima tahun terakhir (2005–2010). Di Surabaya, meski tidak sebesar Jakarta, diperkirakan arus balik migran mencapai puluhan ribu jiwa, atau bahkan 100 ribu jiwa lebih setiap tahun.

Ketika di pedesaan kesempatan kerja makin langka gara-gara modernisasi pertanian dan merebaknya proses komersialisasi, sementara di kota besar saat yang sama menawarkan sejumlah kemungkinan baru untuk mendapatkan pekerjaan dan status sosial baru yang lebih baik, tidak bisa dicegah lagi angka arus balik dan urbanisasi pun akan meningkat dari waktu ke waktu. Perkembangan industri dan perdagangan di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya niscaya akan menciptakan semacam magnet bagi penduduk miskin di pedesaan untuk mengadu nasib mencari kehidupan yang lebih baik di kota.

Sepanjang migran yang masuk ke kota besar memiliki keahlian dan mampu mengakses lapangan kerja di sektor perekonomian firma, sebetulnya seberapa pun arus balik pascalebaran yang terjadi, itu semua tidak akan menjadi masalah. Tetapi, lain soal jika arus balik migran ternyata didominasi pekerja di sektor informal yang tak berkeahlian dan secara ekonomi miskin. Bisa dibayangkan apa yang dapat dilakukan pemerintah kota-kota besar jika setiap tahun jumlah lapangan kerja yang diciptakan dan daya jangkau layanan publik yang dikembangkan tidak sebanding dengan meningkatnya arus urbanisasi. Sudah bukan rahasia lagi bahwa setiap tahun jumlah kaum migran yang menyerbu kota besar umumnya sudah melampaui batas kemampuan kota itu untuk mengakomodasi mereka.     

Menurut Domminique Lappiere (1986) dalam bukunya, City of Joy, bahwa di kota metropolitan arus urbanisasi yang berlebih (over urbanization) senantiasa melahirkan sejumlah persoalan besar, mulai munculnya permukiman kumuh, menumpuknya jumlah pengangguran di kota besar, meningkatnya kriminalitas, hingga matinya sebuah kota. Lantas, apa yang harus dilakukan pemerintah kota untuk mencegah agar arus balik pascalebaran tidak kontraproduktif?

Secara umum, ciri yang menandai kaum migran di berbagai kota besar umumnya adalah penduduk desa yang kurang berpendidikan, tidak memiliki keahlian khusus, dan miskin. Berbeda dengan migran yang datang di kota besar untuk kepentingan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi atau migran berpendidikan yang pindah kerja karena tuntutan perusahaan yang melakukan mutasi kerja, migran yang masuk ke kota besar pascalebaran umumnya para pendatang dari desa yang mengadu nasib karena kesempatan kerja di daerah asal makin lama makin langka.

Sebagaimana layaknya penduduk desa yang mengadu nasib mencari pekerjaan di kota besar, sebagian besar migran yang masuk kota besar umumnya adalah orang-orang yang dengan terpaksa atau sukarela bekerja di sektor informal, bekerja serabutan dan seadanya. Bahkan, terkadang pekerjaan yang tergolong paling kotor dan menjijikkan pun bagi kebanyakan kaum migran dan penduduk miskin kota adalah sebuah solusi yang realistis agar mereka tidak tergilas kehidupan kota yang serbakeras. Bagi kaum migran, terutama, ketika di desa sektor pertanian mengalami proses involusi yang hampir mencapai titik jenuh, lapangan kerja menyempit, ’’urbanisasi berlebih’’ dan masuk ke sektor informal adalah implikasi dari tekanan kemiskinan dan kesenjangan desa-kota yang tidak lagi dapat dielakkan.

Studi yang dilakukan penulis (2006) menemukan, paling tidak terdapat tiga alasan utama mengapa penduduk pedesaan nekat mengadu nasib mencari pekerjaan di kota besar. Pertama, karena di desa dalam sepuluh tahun terakhir sangat terasa bahwa kesempatan kerja yang tersedia di desa makin hari makin langka, sementara usaha-usaha yang ditekuni sebelumnya keburu kolaps. Kedua, karena adanya selisih upah antara desa dan kota besar yang cukup menyolok. Karena itu, meski di desa tersedia beberapa pekerjaan yang bisa dimasuki, karena upahnya sangat rendah, hasilnya pun tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka. Ketiga, di luar faktor ekonomi, alasan yang cukup dominan mendorong penduduk desa mengadu nasib ke kota besar adalah karena masalah keluarga atau karena sesuatu yang sifatnya personal.

Banyak kajian telah membuktikan bahwa kehadiran kaum migran sebetulnya adalah salah satu bentuk respons migran dan masyarakat miskin di kota terhadap pembangunan antardaerah yang tidak merata, meluasnya tingkat pengangguran, dan merebaknya tekanan kemiskinan di pedesaan. Artinya, kehadiran dan perkembangan dan penambahan jumlah migran di berbagai kota besar tidak didorong oleh faktor internal dalam diri mereka sendiri, tetapi lebih merupakan akibat dari terjadinya bias urban dalam pembangunan (McGee, 1971; Sethuraman, 1981; Evers, 1992; Suyanto., 2013).

Terjadinya arus balik pascalebaran atau migrasi penduduk ke kota-kota besar sebetulnya tidak menjadi masalah sepanjang pemerintah kota mampu menciptakan lapangan pekerjaan dan fasilitas publik yang cukup. Tetapi, lain soal ketika arus urbanisasi yang terjadi sudah kelewat batas dan perkembangan sektor informal di kota besar serta jumlah migran mulai menganggu ketertiban dan menempati zona-zona publik yang melanggar ketentuan.

Untuk mengantisipasi lonjakan arus balik dan urbanisasi, selama ini yang dilakukan pemerintah kota umumnya adalah dengan cara memperketat pemberian kartu izin penduduk musiman (kipem), melakukan berbagai razia migran liar, dan sweeping sering juga diadakan setelah Lebaran, terutama di tempat-tempat kos untuk mengendalikan pergerakan penduduk luar kota yang masuk.

Dalam batas-batas tertentu, upaya pengawasan dan tindakan punitif (menghukum) untuk membatasi arus migrasi mungkin saja akan terkesan efektif . Tetapi, dalam jangka panjang, kebijakan menutup pintu rapat-raat bagi arus migrasi secara sepihak –tanpa diimbangi dengan upaya-upaya untuk menciptakan kesempatan kerja di pedesaan dan mengurangi kesenjangan desa-kota yang benar-benar efektif– niscaya tidak akan banyak bermanfaat. Sikap yang memperlakukan kaum migran semata hanya sebagai terdakwa dan tidak memahami mereka sebagai korban dari kesenjangan pembangunan antardaerah niscaya hanya akan melahirkan masalah baru dan resistansi dari kaum migran itu sendiri.

Di era otonomi daerah, sikap egois masing-masing kota/kabupaten dan kurangnya koordinasi antardaerah untuk menangani masalah urbanisasi di hulu maupun di hilir niscaya akan mengakibatkan arus balik pascalebaran tetap tinggi dari waktu ke waktu. Persoalannya di sini bukanlah bagaimana mencegah kaum migran ketika kembali membawa suadara, tetangga, atau teman-temannya dari desa untuk mengadu nasib di kota besar. Tetapi, yang lebih penting adalah bagaimana memastikan wilayah pedesaan dapat dikembangkan dan tidak kalah menjanjikan jika dibandingkan dengan kehidupan di kota besar. Pada titik inilah, peran pemerintah provinsi dan pusat menjadi sangat penting. Semoga hal ini menjadi salah satu pemikiran pemimpin negeri ini nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar