Sabtu, 23 Agustus 2014

Jika Saya Prabowo Subianto

                                     Jika Saya Prabowo Subianto

Triyono Lukmantoro  ;   Dosen Sosiologi Komunikasi FISIP
Universitas Diponegoro Semarang
SINAR HARAPAN, 22 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Jika saya adalah Prabowo Subianto, saya akan menerima hasil apa pun yang disampaikan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 21 Agustus 2014 dengan lapang dada dan kerendahan hati.

MK adalah lembaga penentu akhir hasil dari pemilihan presiden (pilpres) yang harus saya hormati dan tidak perlu saya ragukan integritas para hakimnya.

Secara jujur harus saya katakan, setelah saya mencermati proses persidangan di MK, sangat terlihat benar ternyata bukti-bukti yang saya ajukan memang sering meleset dan tidak mampu mendasari dalil-dalil yang saya kemukakan.

Saya mengakui semua kelemahan ini. Saksi-saksi yang berposisi sebagai pihak yang seharusnya memperkuat bukti-bukti itu, justru sering membuat persidangan ditingkahi berbagai kegaduhan akibat kelucuan-kelucuan yang diperbuatnya.

Bukti dan testimoni kalangan saksi saya tidak berhasil menunjukkan pilpres ini berlangsung tidak adil, atau dalam bahasa sehari-hari yang sekarang ini menjadi demikian populer, pilpres kali ini terlalu jauh dari tudingan kecurangan yang bercorak terstruktur, sistematis, dan masif.

Pilpres kali ini berlangsung lebih baik dari periode-periode sebelumnya. Dengan demikian, saya harus menyampaikan terima kasih yang mendalam kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang telah menyelenggarakan pilpres ini secara jujur, adil, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Jika saya Prabowo, saya segera memberikan ucapan selamat kepada presiden terpilih Joko Widodo saat KPU mengumumkan hasil pilpres tanggal 22 Juli. Saya tidak perlu repot-repot menempuh jalur hukum serta politik untuk mengelak dari kekalahan.

Saya tidak perlu pula mengadukan KPU kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dengan dalih lembaga ini dianggap tidak jujur dalam menyelenggarakan pilpres. Saya tidak usah mendengarkan nasihat-nasihat yang dibisikkan rekan-rekan koalisi partai politik, yang menyatakan aneka tuduhan bahwa pilpres ini telah menzalimi saya.

Saya juga tidak perlu menggubris penzaliman itu mengakibatkan saya mengalami kesengsaraan politik luar biasa. Saya menyadari benar, semakin saya melawan kenyataan bahwa saya memang telah kalah dalam pemilihan presiden ini, rasa sakit dan dendam pun semakin menghunjam ke dalam sanubari saya.

Rekan-rekan politikus koalisi saya justru menjadikan saya semakin terjerumus dalam kubangan politik yang memberikan harapan palsu bagi saya. Apa yang mereka katakan terkesan manis, padahal sebenarnya menghasilkan kehidupan politik yang begitu tragis bagi diri saya.

Mengikuti Langkah Bijak

Jika saya Prabowo, sudah seharusnya saya mengikuti langkah bijak yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden (Wapres) Boediono, yang memberikan ucapan selamat kepada Jokowi tidak lama setelah KPU mengumumkan hasil pilpres. Bahkan, tokoh internasional dan pejabat dari negara-negara sahabat pun, seperti Barack Obama, memberi ucapan serupa.

Menyampaikan selamat pada pihak yang memenangi pilpres merupakan langkah yang arif. Bukan saja hal itu membuktikan Jokowi lebih baik dan mendapatkan amanat dari rakyat, melainkan juga bahwa Jokowi adalah rival yang juga harus saya hormati.

Sebenarnya, saat saya mengajukan gugatan sengketa hasil pilpres ke MK justru menimbulkan rasa geli. Terlebih lagi,  sebagaimana dinyatakan Sekretaris Tim Pemenangan Prabowo-Hatta, Fadli Zon, jika hal itu merujuk pada alasan pemilihan ini tidak sesuai asas mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, keterbukaan, dan proporsional.

 Tudingan itu terasa tidak masuk nalar ketika transparansi publik sudah dijalankan secara maksimal. Bahkan, media massa telah melakukan pemantauan cukup cermat terhadap seluruh proses yang berlangsung dalam pilpres ini. Tidak tepat kalau saya menempatkan diri sebagai persona yang dianiaya akibat perilaku lancung sekian banyak pihak.

Ketika saya menyatakan “menarik diri” dari proses pilpres, secara otomatis seluruh hak dan otoritas saya sebagai capres terlucuti. Secara hukum, saya kemungkinan saja memang boleh mengajukan gugatan. Namun, bila dipandang dari perspektif moralitas, langkah menggugat adalah tindakan yang sama sekali tidak etis.

Diibaratkan dalam permainan, ketika ada satu kontestan yang secara sadar menyatakan mengundurkan diri, kontestan itu tidak boleh mengajukan tuntutan apa pun. Menarik diri berarti menghindar dari segala kemungkinan risiko yang didapatkan.

Menarik diri bermakna pula tidak akan melakukan campur tangan terhadap proses permainan selanjutnya. Jika kontestan yang telah menarik diri itu ingin kembali terlibat dalam permainan, logika yang waras telah saya terabas.

Menurut saya, kekalahan dalam pilpres ialah realitas politik yang wajar. Lebih dari itu, kekalahan justru dapat dilihat pula memberikan sumbangan yang sama besar dengan pihak yang meraih kemenangan. Kalah sama derajatnya dengan menang. Hal lain yang juga dapat dilihat adalah pilpres secara sosiologis merupakan bentuk kompetisi (persaingan).

 Dalam konteks itu, saya merujuk pendapat Paul B Horton dan Chester L Hunt (Sociology, 1964), kompetisi bisa diartikan sebagai “proses memonopolisasi ganjaran dengan melampaui seluruh pesaing”. Melampaui berarti bisa menunjukkan nilai lebih unggul daripada yang diraih pihak pesaing. Melampaui tidaklah serupa dengan memusnahkan.

Tidak Merasa Dihina

Jika saya Prabowo, saya sebagai pihak yang kalah dalam kompetisi juga tidak harus merasa dihina, apalagi dipermalukan. Kompetisi (pilpres), mengikuti ide Horton dan Hunt tersebut, mempunyai fungsi-fungsi yakni; pertama, mengalokasikan ganjaran yang berjumlah terbatas. Kedua, membentuk sikap-sikap bagi kalangan pesaing. Ketiga, cara untuk memastikan setiap orang yang terlibat dalam kompetisi didorong menunjukkan prestasi terbaik yang dimilikinya. Itulah kegunaan substansial dari kompetisi pilpres.

Dengan demikian, keikutsertaan saya dalam pilpres mampu menciptakan seleksi yang amat ketat karena tidak setiap orang layak terlibat dalam kompetisi itu. Saya juga telah mengajak semua pendukung dan rival-rival saya untuk terlibat dalam arena persaingan yang sedemikian alot.

Hal yang paling penting adalah saya pun mampu mengajak setiap orang yang terlibat dalam pilpres untuk mengerahkan aneka kemampuan terbaiknya, baik dari aspek gagasan-gagasan politik maupun kreativitas untuk menyajikannya secara estetis di hadapan publik. Saya telah mengembuskan dorongan berprestasi (need for achievement) bagi bangsa besar ini.

Secara logika, tidak ada kemenangan tanpa kekalahan. Menang hanya bisa ditampilkan kalau ada kalah yang tidak perlu ditertawakan. Aturan oposisi biner telah memberikan kepastian, bahwa menang adalah kawan seiring dari kalah.

Menang-kalah adalah dua sisi makna yang saling melengkapi. Pada tatanan sosial dan logika awam itu, saya harus berkata kepada Jokowi, “Selamat, saya kalah. Andalah pemenangnya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar