Jika
Saya Prabowo Subianto
Triyono Lukmantoro ;
Dosen Sosiologi Komunikasi FISIP
Universitas Diponegoro Semarang
|
SINAR
HARAPAN, 22 Agustus 2014
Jika
saya adalah Prabowo Subianto, saya akan menerima hasil apa pun yang
disampaikan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 21 Agustus 2014 dengan lapang dada
dan kerendahan hati.
MK
adalah lembaga penentu akhir hasil dari pemilihan presiden (pilpres) yang
harus saya hormati dan tidak perlu saya ragukan integritas para hakimnya.
Secara
jujur harus saya katakan, setelah saya mencermati proses persidangan di MK,
sangat terlihat benar ternyata bukti-bukti yang saya ajukan memang sering
meleset dan tidak mampu mendasari dalil-dalil yang saya kemukakan.
Saya
mengakui semua kelemahan ini. Saksi-saksi yang berposisi sebagai pihak yang
seharusnya memperkuat bukti-bukti itu, justru sering membuat persidangan
ditingkahi berbagai kegaduhan akibat kelucuan-kelucuan yang diperbuatnya.
Bukti
dan testimoni kalangan saksi saya tidak berhasil menunjukkan pilpres ini
berlangsung tidak adil, atau dalam bahasa sehari-hari yang sekarang ini
menjadi demikian populer, pilpres kali ini terlalu jauh dari tudingan
kecurangan yang bercorak terstruktur, sistematis, dan masif.
Pilpres
kali ini berlangsung lebih baik dari periode-periode sebelumnya. Dengan
demikian, saya harus menyampaikan terima kasih yang mendalam kepada Komisi
Pemilihan Umum (KPU), yang telah menyelenggarakan pilpres ini secara jujur,
adil, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Jika
saya Prabowo, saya segera memberikan ucapan selamat kepada presiden terpilih
Joko Widodo saat KPU mengumumkan hasil pilpres tanggal 22 Juli. Saya tidak
perlu repot-repot menempuh jalur hukum serta politik untuk mengelak dari
kekalahan.
Saya
tidak perlu pula mengadukan KPU kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
(DKPP), dengan dalih lembaga ini dianggap tidak jujur dalam menyelenggarakan
pilpres. Saya tidak usah mendengarkan nasihat-nasihat yang dibisikkan
rekan-rekan koalisi partai politik, yang menyatakan aneka tuduhan bahwa
pilpres ini telah menzalimi saya.
Saya
juga tidak perlu menggubris penzaliman itu mengakibatkan saya mengalami
kesengsaraan politik luar biasa. Saya menyadari benar, semakin saya melawan
kenyataan bahwa saya memang telah kalah dalam pemilihan presiden ini, rasa
sakit dan dendam pun semakin menghunjam ke dalam sanubari saya.
Rekan-rekan
politikus koalisi saya justru menjadikan saya semakin terjerumus dalam
kubangan politik yang memberikan harapan palsu bagi saya. Apa yang mereka
katakan terkesan manis, padahal sebenarnya menghasilkan kehidupan politik
yang begitu tragis bagi diri saya.
Mengikuti
Langkah Bijak
Jika
saya Prabowo, sudah seharusnya saya mengikuti langkah bijak yang dilakukan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden (Wapres) Boediono,
yang memberikan ucapan selamat kepada Jokowi tidak lama setelah KPU
mengumumkan hasil pilpres. Bahkan, tokoh internasional dan pejabat dari
negara-negara sahabat pun, seperti Barack Obama, memberi ucapan serupa.
Menyampaikan
selamat pada pihak yang memenangi pilpres merupakan langkah yang arif. Bukan
saja hal itu membuktikan Jokowi lebih baik dan mendapatkan amanat dari
rakyat, melainkan juga bahwa Jokowi adalah rival yang juga harus saya
hormati.
Sebenarnya,
saat saya mengajukan gugatan sengketa hasil pilpres ke MK justru menimbulkan
rasa geli. Terlebih lagi, sebagaimana
dinyatakan Sekretaris Tim Pemenangan Prabowo-Hatta, Fadli Zon, jika hal itu
merujuk pada alasan pemilihan ini tidak sesuai asas mandiri, jujur, adil,
kepastian hukum, keterbukaan, dan proporsional.
Tudingan itu terasa tidak masuk nalar ketika
transparansi publik sudah dijalankan secara maksimal. Bahkan, media massa
telah melakukan pemantauan cukup cermat terhadap seluruh proses yang
berlangsung dalam pilpres ini. Tidak tepat kalau saya menempatkan diri
sebagai persona yang dianiaya akibat perilaku lancung sekian banyak pihak.
Ketika
saya menyatakan “menarik diri” dari proses pilpres, secara otomatis seluruh
hak dan otoritas saya sebagai capres terlucuti. Secara hukum, saya
kemungkinan saja memang boleh mengajukan gugatan. Namun, bila dipandang dari
perspektif moralitas, langkah menggugat adalah tindakan yang sama sekali
tidak etis.
Diibaratkan
dalam permainan, ketika ada satu kontestan yang secara sadar menyatakan
mengundurkan diri, kontestan itu tidak boleh mengajukan tuntutan apa pun.
Menarik diri berarti menghindar dari segala kemungkinan risiko yang
didapatkan.
Menarik
diri bermakna pula tidak akan melakukan campur tangan terhadap proses
permainan selanjutnya. Jika kontestan yang telah menarik diri itu ingin
kembali terlibat dalam permainan, logika yang waras telah saya terabas.
Menurut
saya, kekalahan dalam pilpres ialah realitas politik yang wajar. Lebih dari
itu, kekalahan justru dapat dilihat pula memberikan sumbangan yang sama besar
dengan pihak yang meraih kemenangan. Kalah sama derajatnya dengan menang. Hal
lain yang juga dapat dilihat adalah pilpres secara sosiologis merupakan
bentuk kompetisi (persaingan).
Dalam konteks itu, saya merujuk pendapat
Paul B Horton dan Chester L Hunt (Sociology,
1964), kompetisi bisa diartikan sebagai “proses memonopolisasi ganjaran dengan
melampaui seluruh pesaing”. Melampaui berarti bisa menunjukkan nilai lebih
unggul daripada yang diraih pihak pesaing. Melampaui tidaklah serupa dengan
memusnahkan.
Tidak
Merasa Dihina
Jika
saya Prabowo, saya sebagai pihak yang kalah dalam kompetisi juga tidak harus
merasa dihina, apalagi dipermalukan. Kompetisi (pilpres), mengikuti ide
Horton dan Hunt tersebut, mempunyai fungsi-fungsi yakni; pertama,
mengalokasikan ganjaran yang berjumlah terbatas. Kedua, membentuk sikap-sikap
bagi kalangan pesaing. Ketiga, cara untuk memastikan setiap orang yang
terlibat dalam kompetisi didorong menunjukkan prestasi terbaik yang
dimilikinya. Itulah kegunaan substansial dari kompetisi pilpres.
Dengan
demikian, keikutsertaan saya dalam pilpres mampu menciptakan seleksi yang
amat ketat karena tidak setiap orang layak terlibat dalam kompetisi itu. Saya
juga telah mengajak semua pendukung dan rival-rival saya untuk terlibat dalam
arena persaingan yang sedemikian alot.
Hal
yang paling penting adalah saya pun mampu mengajak setiap orang yang terlibat
dalam pilpres untuk mengerahkan aneka kemampuan terbaiknya, baik dari aspek
gagasan-gagasan politik maupun kreativitas untuk menyajikannya secara estetis
di hadapan publik. Saya telah mengembuskan dorongan berprestasi (need for achievement) bagi bangsa
besar ini.
Secara
logika, tidak ada kemenangan tanpa kekalahan. Menang hanya bisa ditampilkan
kalau ada kalah yang tidak perlu ditertawakan. Aturan oposisi biner telah
memberikan kepastian, bahwa menang adalah kawan seiring dari kalah.
Menang-kalah
adalah dua sisi makna yang saling melengkapi. Pada tatanan sosial dan logika
awam itu, saya harus berkata kepada Jokowi, “Selamat, saya kalah. Andalah pemenangnya.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar