Sabtu, 23 Agustus 2014

Ironi ‘Penolakan’ Bank Syariah

                                Ironi ‘Penolakan’ Bank Syariah

Ali Rama  ;   Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,  Pengurus Pusat Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI)
REPUBLIKA, 22 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Isu larangan jilbab di Bali akhir-akhir ini ramai diperbincangkan di media sosial. Tidak hanya berhenti di situ, sekelompok orang mengatasnamakan agama tertentu di Bali menuntut perwakilan Bank Indonesia di Bali untuk melakukan moratorium pembukaan bank syariah di wilayah yang mayoritas beragama Hindu-Buddha tersebut. Jilbab dan bank syariah dianggap oleh kelompok tersebut sebagai sesuatu yang bertentangan dengan budaya, agama, dan kepentingan masyarakat Bali secara keseluruhan. Tentunya, kedua isu ini mengusik kehidupan toleransi keagamaan dan kepentingan ekonomi nasional kita.

Sejarah Indonesia mencatat adanya hubungan ketegangan antara agama dan negara dalam metamorfosis Indonesia menjadi negara modern. Hubungan ketegangan ini disebabkan oleh adanya upaya saling membenturkan antarkeduanya. Padahal, menurut saya, negara membutuhkan agama dalam menata kehidupan masyarakatnya, khususnya terkait dengan pembentukan orientasi hidup, nilai, etika, dan moralitas masyarakatnya. Sejarawan Toinbee mengemukakan bahwa agama menjadi faktor pendorong utama dalam kemajuan dan kejayaan suatu peradaban. Tidak ada satu peradaban pun di dunia ini yang pernah eksis dan jaya tanpa dikaitkan dengan agama tertentu.

Begitu pula sebaliknya, agama membutuhkan negara dalam implementasi nilai-nilai dan ajarannya yang bersifat universal. Sebagian dari ajaran agama membutuhkan pengaturan melalui instrumen negara. Negara dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan mulia dari suatu agama. Dalam konteks ekonomi syariah (Islam) yang notabene lahir dari ajaran Islam, misalnya, menempatkan negara sebagai instrumen penting dalam kegiatan ekonomi selain dari sektor rumah tangga dan pasar. Negara harus memberikan kebebasan pada para pelaku ekonomi dan di saat yang bersamaan memastikan terjadinya keadilan dalam pengelolaan sumber daya ekonomi.

Bank syariah yang menggunakan istilah "syariah" tidak identik dengan istilah "syariat" yang sering dikonotasikan dengan penegakan negara Islam Indonesia dan atau piagam Jakarta yang muncul di sekitar berdirinya republik ini (Rahardjo, 2003). Kehadiran bank syariah dalam sistem perbankan nasional semestinya dilihat dalam perspektif kepentingan nasional yang dapat berkontribusi dalam pembangunan negara.

Bank syariah di negeri ini telah hadir secara gradual dan demokratis tanpa melalui paksaan dan ancaman. Kehadirannya pula tidak memberikan ancaman terhadap kepentingan nasional. Bahkan, karena kinerja dan manfaatnya, bank syariah terus tumbuh dan banjir peminat dari berbagai kalangan dan bahkan lintas agama. Sehingga, wajar saja jika banyak bank BUMN ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan perbankan syariah. Pihak swasta pun ikut membuka bank syariah.

Dari sisi bisnis, bank syariah meskipun market share-nya masih di bawah lima persen mampu tumbuh sekitar 30-40 persen  per tahun lebih tinggi dari bank konvensional yang hanya tumbuh sekitar 15-20 persen per tahun. Adapun total asetnya sekitar Rp 250 triliun dengan tingkat pembiayaan hampir mencapai 100 persen. Akibat kinerja statistik yang cukup fantastik ini, wajar jika mendapatkan apresiasi dan dukungan dari pihak pemerintah demi untuk kepentingan nasional dan masyarakat Indonesia. Bahkan, Presiden SBY telah me-launching "Gerakan Ekonomi Syariah" atau Gres dan mendorong pemerintah untuk mendukung Indonesia menjadi pusat keuangan syariah di dunia. Di sisi lain, kehadiran bank syariah ini tentunya harus didukung dengan regulasi dan perundang-undangan agar dapat memberikan jaminan dan kepastian hukum para pelakunya.

Adanya UU No 21 tentang Perbankan Syariah dan dijadikannya "Ekonomi Syariah" sebagai gerakan dan agenda nasional oleh SBY maka sudah tidak relevan lagi melihat bank syariah dalam sekat dan domain ideologi tertentu bahkan lebih jauh menghubungkan dengan negara Islam Indonesia. Dalam praktik global, keuangan syariah tidak disekat oleh agama tertentu, bahkan negara-negara berpenduduk minoritas Muslim berlomba-lomba membuka lembaga dan produk keungan syariah. Mereka melihat sistem ini dapat memberikan stabilitas dalam sistem keuangan mereka. Dan juga tentunya secara statistik mengalami peningkatan kinerja dari waktu ke waktu.

Oleh karena itu, sudah tidak relevan lagi melakukan gerakan penolakan kehadiran bank syariah hanya dengan alasan sempit dan ideologi. Ketika bank syariah menjadi praktik legal dan tidak melanggar konstitusi maka ia tidak lagi menjadi sistem eksklusif yang hanya dapat dinikmati umat Islam, tetapi juga oleh semua warga negara Indonesia tanpa memandang agamanya. Bahkan, data survei menunjukkan banyak nasabah bank syariah berasal dari non-Muslim. Begitu pula dengan penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) justru lebih banyak dibeli investor non-Muslim.

Perkembangan ekonomi syariah di Tanah Air bukan hanya didominasi perbankan semata, tetapi juga asuransi syariah, lembaga keuangan mikro syariah, wakaf, zakat, sukuk, pasar modal, dan lembaga keuangan syariah lainnya. Keanekaragaman lembaga dan produk keuangan syariah ini pada akhirnya akan membawa manfaat bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Catatan ini memperkuat bahwa sistem keuangan syariah bersifat universal bermanfaat bagi seluruh umat manusia. Sistem ekonomi Islam dapat bekerja meskipun dalam masyarakat yang tidak sepenuhnya Muslim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar