Ironi
‘Penolakan’ Bank Syariah
Ali Rama ;
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Pengurus Pusat Ikatan Ahli
Ekonomi Islam (IAEI)
|
REPUBLIKA,
22 Agustus 2014
Isu larangan jilbab di Bali akhir-akhir ini ramai
diperbincangkan di media sosial. Tidak hanya berhenti di situ, sekelompok
orang mengatasnamakan agama tertentu di Bali menuntut perwakilan Bank
Indonesia di Bali untuk melakukan moratorium pembukaan bank syariah di
wilayah yang mayoritas beragama Hindu-Buddha tersebut. Jilbab dan bank
syariah dianggap oleh kelompok tersebut sebagai sesuatu yang bertentangan
dengan budaya, agama, dan kepentingan masyarakat Bali secara keseluruhan.
Tentunya, kedua isu ini mengusik kehidupan toleransi keagamaan dan
kepentingan ekonomi nasional kita.
Sejarah Indonesia mencatat adanya hubungan ketegangan antara
agama dan negara dalam metamorfosis Indonesia menjadi negara modern. Hubungan
ketegangan ini disebabkan oleh adanya upaya saling membenturkan
antarkeduanya. Padahal, menurut saya, negara membutuhkan agama dalam menata
kehidupan masyarakatnya, khususnya terkait dengan pembentukan orientasi
hidup, nilai, etika, dan moralitas masyarakatnya. Sejarawan Toinbee mengemukakan
bahwa agama menjadi faktor pendorong utama dalam kemajuan dan kejayaan suatu
peradaban. Tidak ada satu peradaban pun di dunia ini yang pernah eksis dan
jaya tanpa dikaitkan dengan agama tertentu.
Begitu pula sebaliknya, agama membutuhkan negara dalam
implementasi nilai-nilai dan ajarannya yang bersifat universal. Sebagian dari
ajaran agama membutuhkan pengaturan melalui instrumen negara. Negara
dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan mulia dari suatu agama. Dalam konteks
ekonomi syariah (Islam) yang notabene lahir dari ajaran Islam, misalnya,
menempatkan negara sebagai instrumen penting dalam kegiatan ekonomi selain
dari sektor rumah tangga dan pasar. Negara harus memberikan kebebasan pada
para pelaku ekonomi dan di saat yang bersamaan memastikan terjadinya keadilan
dalam pengelolaan sumber daya ekonomi.
Bank syariah yang menggunakan istilah "syariah" tidak
identik dengan istilah "syariat" yang sering dikonotasikan dengan
penegakan negara Islam Indonesia dan atau piagam Jakarta yang muncul di sekitar
berdirinya republik ini (Rahardjo, 2003). Kehadiran bank syariah dalam sistem
perbankan nasional semestinya dilihat dalam perspektif kepentingan nasional
yang dapat berkontribusi dalam pembangunan negara.
Bank syariah di negeri ini telah hadir secara gradual dan
demokratis tanpa melalui paksaan dan ancaman. Kehadirannya pula tidak
memberikan ancaman terhadap kepentingan nasional. Bahkan, karena kinerja dan
manfaatnya, bank syariah terus tumbuh dan banjir peminat dari berbagai
kalangan dan bahkan lintas agama. Sehingga, wajar saja jika banyak bank BUMN
ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan perbankan syariah. Pihak swasta pun
ikut membuka bank syariah.
Dari sisi bisnis, bank syariah meskipun market share-nya masih
di bawah lima persen mampu tumbuh sekitar 30-40 persen per tahun lebih tinggi dari bank
konvensional yang hanya tumbuh sekitar 15-20 persen per tahun. Adapun total
asetnya sekitar Rp 250 triliun dengan tingkat pembiayaan hampir mencapai 100
persen. Akibat kinerja statistik yang cukup fantastik ini, wajar jika
mendapatkan apresiasi dan dukungan dari pihak pemerintah demi untuk
kepentingan nasional dan masyarakat Indonesia. Bahkan, Presiden SBY telah me-launching "Gerakan Ekonomi Syariah" atau Gres dan mendorong pemerintah untuk mendukung Indonesia menjadi
pusat keuangan syariah di dunia. Di sisi lain, kehadiran bank syariah ini
tentunya harus didukung dengan regulasi dan perundang-undangan agar dapat
memberikan jaminan dan kepastian hukum para pelakunya.
Adanya UU No 21 tentang Perbankan Syariah dan dijadikannya "Ekonomi Syariah" sebagai
gerakan dan agenda nasional oleh SBY maka sudah tidak relevan lagi melihat
bank syariah dalam sekat dan domain ideologi tertentu bahkan lebih jauh
menghubungkan dengan negara Islam Indonesia. Dalam praktik global, keuangan
syariah tidak disekat oleh agama tertentu, bahkan negara-negara berpenduduk
minoritas Muslim berlomba-lomba membuka lembaga dan produk keungan syariah.
Mereka melihat sistem ini dapat memberikan stabilitas dalam sistem keuangan
mereka. Dan juga tentunya secara statistik mengalami peningkatan kinerja dari
waktu ke waktu.
Oleh karena itu, sudah tidak relevan lagi melakukan gerakan
penolakan kehadiran bank syariah hanya dengan alasan sempit dan ideologi.
Ketika bank syariah menjadi praktik legal dan tidak melanggar konstitusi maka
ia tidak lagi menjadi sistem eksklusif yang hanya dapat dinikmati umat Islam,
tetapi juga oleh semua warga negara Indonesia tanpa memandang agamanya.
Bahkan, data survei menunjukkan banyak nasabah bank syariah berasal dari
non-Muslim. Begitu pula dengan penerbitan Surat Berharga Syariah Negara
(SBSN) justru lebih banyak dibeli investor non-Muslim.
Perkembangan ekonomi syariah di Tanah Air bukan hanya didominasi
perbankan semata, tetapi juga asuransi syariah, lembaga keuangan mikro
syariah, wakaf, zakat, sukuk, pasar modal, dan lembaga keuangan syariah
lainnya. Keanekaragaman lembaga dan produk keuangan syariah ini pada akhirnya
akan membawa manfaat bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Catatan ini memperkuat bahwa sistem keuangan syariah bersifat
universal bermanfaat bagi seluruh umat manusia. Sistem ekonomi Islam dapat
bekerja meskipun dalam masyarakat yang tidak sepenuhnya Muslim. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar