Sabtu, 23 Agustus 2014

Aborsi dan Pembiaran Pemerkosaan

                         Aborsi dan Pembiaran Pemerkosaan

Tri Marhaeni Puji Astuti  ;   Guru Besar Antropologi Jurusan Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Semarang (Unnes)
SUARA MERDEKA, 22 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

"Yang terpenting, sungguh-sungguh mencegah pemerkosaan dengan cara menciutkan nyali “calon pemerkosa"

SAMPAI di manakah keberpihakan kita pada perlindungan perempuan? Pertanyaan ini sangat mengusik ketika akhir-akhir ini mengemuka wacana dan pro-kontra tentang legalisasi aborsi, seperti headline Suara Merdeka, 14 Agustus 2014, “MUI Izinkan Aborsi”, yang antara lain menyimpulkan: aborsi diizinkan jika ada kedaruratan medis atau akibat pemerkosaan. Di satu sisi muncul pendapat yang melegalkan aborsi karena alasan medis atau korban pemerkosaan. Di sisi lain hanya melegalkan dengan alasan medis, sedangkan aborsi bagi korban pemerkosaan dianggap tidak dibenarkan. Saya tidak akan ikut berdebat di arena pro-kontra tersebut, namun mencoba mengajak semua berpikir lagi dengan cermat.

Pembiaran Pemerkosaan Logika berpikir saya justru terbalik. Ketika mengikuti pro-kontra tentang legalitas aborsi, melintas pikiran yang tidak memihak salah satu pendapat tapi hanya memberi wacana dengan logika berbeda. Yang mengemuka, aborsi dengan alasan medis dilegalkan dengan pertimbangan dan pendapat ilmiah dari segi medis, serta direkomendasikan oleh dokter ahli. Di sisi lain, pemerintah dalam hal ini Menteri Pemberdayaan Perempuan, menggagas “aborsi aman” untuk korban pemerkosaan yang hamil dan tidak diingini. Dari segi medis saya “tidak berani” berkomentar karena sudah pasti pendapat saya yang bukan dokter akan memicu kekisruhan berikutnya.

Pada wacana kedua tentang legalitas aborsi untuk korban pemerkosaan, sudah banyak mengemuka ketidaksetujuan. Perempuan korban pemerkosaan sangat sulit menghadapi tembok raksasa struktur proses hukum dan budaya patriarki yang masih sangat kental di masyarakat kita. Umumnya masyarakat “khawatir” legalitas aborsi akibat pemerkosaan justru disalahgunakan oleh pihakpihak yang “ingin berlindung”, dengan menafikan bahwa perempuan korban pemerkosaan mengalami dampak berat psikologis dan fisik. Pikiran saya sederhana, andai perempuan korban pemerkosaan dilegalkan aborsi, apakah justru tidak membuat mereka sama sekali tidak terlindungi? Apakah solusi mengaborsi janin hasil pemerkosaan itu sudah melindungi perempuan korban? Alangkah miris jika justru masyarakat atau pihak-pihak “yang ingin berlindung” mengatakan, “Tidak apa-apa diperkosa, nanti kalau hamil bisa diaborsi”. Lebih miris lagi, seolah-olah membiarkan perempuan diperkosa karena ada solusi: andai hamil toh bisa diaborsi. Jika logika tersebut yang muncul, betapa terpuruk kaum perempuan. Lebih menyedihkan lagi, aturan yang katanya akan melindungi itu malah membuat perempuan tidak mempunyai posisi tawar sama sekali. Jerakan Pemerkosa Pelegalan aborsi untuk korban pemerkosaan adalah wacana instan yang belum tentu melindungi perempuan, namun malah membuat perempuan terpuruk dan “ketakutan”. Para pemerkosa diberi “jalan keluar” jika perilakunya itu membuahkan janin.

Sementara, apa perlindungan untuk perempuan? Apakah setelah diaborsi, perempuan korban pemerkosaan menjadi aman? Secara fisik mungkin ya, tapi apakah lingkungan sosial akan menghapus begitu saja ingatan mereka dengan mudah, sama mudahnya melakukan aborsi? Bukankah perempuan malah menanggung stigma ganda? Masyarakat ingat peristiwa yang menimpa perempuan tersebut, dan menggandakan stigmatisasinya, “Itu kan perempuan yang diperkosa, lalu digugurkan kandungannyaÖ” Padahal pemerkosanya tak akan terstigma seperti itu. Para pemerkosa bakal melenggang ke penjara (kalau bisa dipenjara) dengan hukuman ringan dan tanpa stigma. Alangkah tidak adil. Maka mari kira renungkan, yang penting bukanlah aborsi untuk melindungi korban pemerkosaan, melainkan masyarakat, pemerintah, dan penegak hukum mempunyai satu pandangan bahwa perempuan adalah manusia bermartabat yang tidak boleh diperkosa. Jika terjadi pemerkosaan —sebagai pelanggaran hak asasi paling menyakitkan dan sangat berat— pemerkosa layak diberi hukuman seberat-beratnya. Jadi, wujudkan tindakan nyata penjeraan bagi pemerkosa. Sudah sering ditulis di media, perempuan korban pemerkosaan mengalami “kekerasan ganda” jika kasusnya sampai ke ranah hukum. Mereka harus membela diri di tengah pola pikir masyarakat patriarki yang masih memojokkan dan menyalahkan korban, juga harus “menyembuhkan luka psikologisnya sendirian”. Apakah beban ganda tersebut masih harus ditambah stigma baru, sebagai perempuan yang pernah diperkosa kemudian melakukan aborsi?

Yang harus ditempuh adalah mulai bergerak nyata menolak segala bentuk pelecehan dan pemerkosaan dengan menghukum seberat-beratnya pemerkosa dan peleceh perempuan. Masyarakat harus satu kata dan satu tindakan sebagai bentuk keberpihakan dan perlindungan terhadap perempuan. Bukankah hukum tidak hanya bersifat represif melainkan juga preventif? Maka, yang terpenting adalah mencegah dengan sungguh-sungguh pemerkosaan dan pelecehan terhadap perempuan dengan cara “menciutkan nyali” para “calon pemerkosa”. Tulisan singkat ini masih memerlukan diskusi dan ruang lebih panjang tentang bagaimana menangani perempuan yang sudah telanjur menjadi korban pemerkosaan, juga bagaimana bentuk penjeraan bagi pemerkosa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar