Aborsi
dan Pembiaran Pemerkosaan
Tri Marhaeni Puji Astuti ;
Guru Besar Antropologi Jurusan Sosiologi dan Antropologi
Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Semarang (Unnes)
|
SUARA
MERDEKA, 22 Agustus 2014
"Yang terpenting,
sungguh-sungguh mencegah pemerkosaan dengan cara menciutkan nyali “calon
pemerkosa"
SAMPAI
di manakah keberpihakan kita pada perlindungan perempuan? Pertanyaan ini
sangat mengusik ketika akhir-akhir ini mengemuka wacana dan pro-kontra
tentang legalisasi aborsi, seperti headline Suara Merdeka, 14 Agustus 2014,
“MUI Izinkan Aborsi”, yang antara lain menyimpulkan: aborsi diizinkan jika
ada kedaruratan medis atau akibat pemerkosaan. Di satu sisi muncul pendapat
yang melegalkan aborsi karena alasan medis atau korban pemerkosaan. Di sisi
lain hanya melegalkan dengan alasan medis, sedangkan aborsi bagi korban
pemerkosaan dianggap tidak dibenarkan. Saya tidak akan ikut berdebat di arena
pro-kontra tersebut, namun mencoba mengajak semua berpikir lagi dengan
cermat.
Pembiaran
Pemerkosaan Logika berpikir saya justru terbalik. Ketika mengikuti pro-kontra
tentang legalitas aborsi, melintas pikiran yang tidak memihak salah satu
pendapat tapi hanya memberi wacana dengan logika berbeda. Yang mengemuka,
aborsi dengan alasan medis dilegalkan dengan pertimbangan dan pendapat ilmiah
dari segi medis, serta direkomendasikan oleh dokter ahli. Di sisi lain,
pemerintah dalam hal ini Menteri Pemberdayaan Perempuan, menggagas “aborsi
aman” untuk korban pemerkosaan yang hamil dan tidak diingini. Dari segi medis
saya “tidak berani” berkomentar karena sudah pasti pendapat saya yang bukan
dokter akan memicu kekisruhan berikutnya.
Pada
wacana kedua tentang legalitas aborsi untuk korban pemerkosaan, sudah banyak
mengemuka ketidaksetujuan. Perempuan korban pemerkosaan sangat sulit
menghadapi tembok raksasa struktur proses hukum dan budaya patriarki yang
masih sangat kental di masyarakat kita. Umumnya masyarakat “khawatir”
legalitas aborsi akibat pemerkosaan justru disalahgunakan oleh pihakpihak
yang “ingin berlindung”, dengan menafikan bahwa perempuan korban pemerkosaan
mengalami dampak berat psikologis dan fisik. Pikiran saya sederhana, andai
perempuan korban pemerkosaan dilegalkan aborsi, apakah justru tidak membuat
mereka sama sekali tidak terlindungi? Apakah solusi mengaborsi janin hasil
pemerkosaan itu sudah melindungi perempuan korban? Alangkah miris jika justru
masyarakat atau pihak-pihak “yang ingin berlindung” mengatakan, “Tidak apa-apa
diperkosa, nanti kalau hamil bisa diaborsi”. Lebih miris lagi, seolah-olah
membiarkan perempuan diperkosa karena ada solusi: andai hamil toh bisa
diaborsi. Jika logika tersebut yang muncul, betapa terpuruk kaum perempuan.
Lebih menyedihkan lagi, aturan yang katanya akan melindungi itu malah membuat
perempuan tidak mempunyai posisi tawar sama sekali. Jerakan Pemerkosa
Pelegalan aborsi untuk korban pemerkosaan adalah wacana instan yang belum
tentu melindungi perempuan, namun malah membuat perempuan terpuruk dan
“ketakutan”. Para pemerkosa diberi “jalan keluar” jika perilakunya itu
membuahkan janin.
Sementara,
apa perlindungan untuk perempuan? Apakah setelah diaborsi, perempuan korban
pemerkosaan menjadi aman? Secara fisik mungkin ya, tapi apakah lingkungan
sosial akan menghapus begitu saja ingatan mereka dengan mudah, sama mudahnya
melakukan aborsi? Bukankah perempuan malah menanggung stigma ganda?
Masyarakat ingat peristiwa yang menimpa perempuan tersebut, dan menggandakan
stigmatisasinya, “Itu kan perempuan yang diperkosa, lalu digugurkan
kandungannyaÖ” Padahal pemerkosanya tak akan terstigma seperti itu. Para
pemerkosa bakal melenggang ke penjara (kalau bisa dipenjara) dengan hukuman
ringan dan tanpa stigma. Alangkah tidak adil. Maka mari kira renungkan, yang
penting bukanlah aborsi untuk melindungi korban pemerkosaan, melainkan
masyarakat, pemerintah, dan penegak hukum mempunyai satu pandangan bahwa
perempuan adalah manusia bermartabat yang tidak boleh diperkosa. Jika terjadi
pemerkosaan —sebagai pelanggaran hak asasi paling menyakitkan dan sangat
berat— pemerkosa layak diberi hukuman seberat-beratnya. Jadi, wujudkan
tindakan nyata penjeraan bagi pemerkosa. Sudah sering ditulis di media,
perempuan korban pemerkosaan mengalami “kekerasan ganda” jika kasusnya sampai
ke ranah hukum. Mereka harus membela diri di tengah pola pikir masyarakat
patriarki yang masih memojokkan dan menyalahkan korban, juga harus
“menyembuhkan luka psikologisnya sendirian”. Apakah beban ganda tersebut
masih harus ditambah stigma baru, sebagai perempuan yang pernah diperkosa
kemudian melakukan aborsi?
Yang
harus ditempuh adalah mulai bergerak nyata menolak segala bentuk pelecehan
dan pemerkosaan dengan menghukum seberat-beratnya pemerkosa dan peleceh
perempuan. Masyarakat harus satu kata dan satu tindakan sebagai bentuk
keberpihakan dan perlindungan terhadap perempuan. Bukankah hukum tidak hanya
bersifat represif melainkan juga preventif? Maka, yang terpenting adalah
mencegah dengan sungguh-sungguh pemerkosaan dan pelecehan terhadap perempuan
dengan cara “menciutkan nyali” para “calon pemerkosa”. Tulisan singkat ini
masih memerlukan diskusi dan ruang lebih panjang tentang bagaimana menangani
perempuan yang sudah telanjur menjadi korban pemerkosaan, juga bagaimana
bentuk penjeraan bagi pemerkosa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar