Adu
Sanksi Ekonomi
Dinna Wisnu ; Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
|
KORAN
SINDO, 20 Agustus 2014
Dalam
menghadapi krisis di Ukraina, Uni Eropa telah sepakat menjatuhkan sanksi
ekonomi terhadap Rusia. Mereka melakukan embargo atas perdagangan senjata,
menetapkan pembatasan terhadap eksplorasi minyak dan gas, serta membatasi
perdagangan dengan bank-bank Rusia di Eropa.
Pilihan
sanksi ini tidak sembarangan karena perekonomian Rusia sangat tergantung pada
produk minyak dan gas. Aset bank Rusia yang dibekukan juga telah mencapai
30%, menurut pejabat resmi Amerika. Biasanya, pendapatan dari sektor ini bisa
mencapai 60%. Secara keseluruhan, 45% dari produk ekspor Rusia diserap oleh
pasar Eropa, sementara Eropa sendiri mengekspor sekitar 3% dari keseluruhan
ekspornya ke Rusia. Rusia tidak tinggal diam.
Sejak
dua minggu lalu, Rusia mengumumkan larangan impor bagi produk-produk
pertanian, buah-buahan, ikan dan sayur-mayur dari Amerika, Uni Eropa, Kanada,
Australia, dan Norwegia. Bagi Rusia, sanksi ekonomi yang ditetapkan terhadap
mereka adalah kabar baik untuk membangkitkan produksi barang-barang yang
masuk dalam daftar larangan ekspor. Nilai ekspor pertanian Eropa ke Rusia
mencapai 5,25 miliar euro pada tahun lalu. Mayoritas petani yang mengalami
dampaknya adalah Jerman, Belanda, Polandia, Spanyol, dan Prancis. Kerugian
tiap negara Eropa adalah relatif terhadap produkproduk yang dihasilkan.
Contoh
untuk dairy product (produk turunan
susu), Belanda kehilangan 257 juta Euro, sementara pada produk-produk
buah-buahan Polandia adalah negara yang paling dirugikan. Namun, secara
keseluruhan, kerugian dari larangan impor produk dari Eropa ke pasar Rusia
paling besar dirasakan dampaknya oleh Lithuania, Polandia, Jerman, dan
Belanda. Larangan terhadap produk-produk pertanian secara politik juga adalah
pukulan besar bagi Uni Eropa karena dibandingkan dengan produk lain, produk
pertanian sangat rentan terhadap penurunan harga.
Dengan
adanya larangan impor, Eropa akan kebanjiran produk-produk pertanian. Mereka
tidak hanya akan mengalami kerugian dengan tidak terjualnya hasil pertanian
di dalam gudang, tetapi juga terhadap produksi yang sedang berjalan. Apabila
mereka tidak segera menemukan pasar yang baru, produk-produk itu akan
kehilangan nilai akibat dikejar waktu kedaluwarsa yang melekat dalam produk-produk
organik. Untukitu, Uni Eropa menjanjikan bantuan kepada perusahaan-perusahaan
perkebunan dalam menghadapi krisis akibat larangan impor dari Rusia terhadap
produk-produk dari Eropa.
Pemerintahan
Uni Eropa telah menghitung kerugian-kerugian tersebut dan mereka akan
memberikan bantuan sebesar 125 juta euro untuk membantu agar para produsen
tidak mengalami kerugian yang besar. Selain bantuan keuangan, Uni Eropa juga
tengah membujuk negara-negara lain mengambil kesempatan embargo Rusia ini
untuk tidak memasarkan produk mereka ke Rusia. Misalnya, dengan membujuk
Brasil dan Mesir untuk tidak melakukan perdagangan buah-buahan ke Rusia.
Dalam
waktu dekat, sanksi ekonomi Amerika Serikat dan Uni Eropa kepada Rusia
kemungkinan tidak akan berkurang dan malah akan meningkat. Baru-baru ini,
Amerika Serikat dan Jerman telah mengancam akan meningkatkan sanksi ekonomi
terkait dengan meledaknya pesawat MH17 dan sulitnya rombongan bantuan
kemanusiaan masuk ke Ukraina. Namun, di sisi lain, Rusia juga mengancam balik
bahwa apabila sanksi tambahan diberlakukan, mereka akan melarang impor
kendaraan dari Eropa dan Amerika Serikat.
Sanksi
ekonomi adalah opsi keputusan politik ekonomi yang biasa diambil sebagai jalan
untuk menekan negara lain agar mengubah perilakunya sesuai dengan yang
diharapkan pemberi sanksi. Secara teoretis, dalam sistem pasar di mana pasar
satu negara dengan negara lain saling terhubung dan bergantung, sanksi
ekonomi akan menghentikan atau mengurangi volume dan nilai peredaran barang
dan jasa sehingga akan mengurangi pendapatan suatu negara. Pendapat saya
tentang sanksi ekonomi, yang saya sampaikan dalam kolom KORAN SINDO setahun
lalu, menyimpulkan bahwa sanksi ekonomi sangat relatif keberhasilannya.
Sanksi
ekonomi dapat mengubah perilaku negara dalam memenuhi tuntutan pemberi
sanksi, tetapi bisa juga memperdalam krisis kemanusiaan dan konsekuensi
sosial. Isolasi ekonomi terhadap rezim apartheid telah mendorong rezim untuk
membuka demokrasi dan mengakhiri politik diskriminasi terhadap kulit
berwarna. Sanksi terhadap Kamboja telah mengisolasi rezim Khmer Merah dan mendorong
negeri itu untuk mengadopsi pemilu yang demokratis. Demikian pula dengan
Libya, Irak, Serbia, Kosovo, dan negara lain di Afrika. Namun ada juga
negara-negara yang mendapat sanksi ekonomi, tetapi tetap bertahan dan mampu
melewati masa-masa krisis dengan baik.
Contoh
adalah Kuba yang telah diembargo selama 50 tahun oleh Amerika. Ada pula
Suriah, Iran atau Korea Utara. Di sisi lain, sanksi ekonomi justru merugikan
masyarakat di suatu negeri dan bukannya menghukum sang pemimpin negara.
Sanksi ekonomi justru memperdalam krisis kemanusiaan dan konsekuensi sosial.
Embargo terhadap ekonomi Haiti selama setahun, misalnya, telah berdampak
negatif pada kesehatan anak-anak karena sulitnya mendapatkan obat-obatan,
demikian pula dengan pelayanan kesehatan publik di Kuba dan Nikaragua.
Matheew
Krain dalam penelitiannya mengenai hubungan antara sanksi ekonomi dan
pembunuhan massal sejak1978hingga2008menyimpulkan sanksi ekonomi tidak
membawa perubahan berarti untuk mengurangi atau menghentikan pembunuhan
massal. Sanksi justru berdampak negatif kepada kelompok yang bukan menjadi
target seperti masyarakat sipil, kelompok minoritas, dan kelompok-kelompok
lain. Terlepas dari efektif atau tidak sebuah sanksi ekonomi, pertanyaannya
adalah sejauh mana kita memanfaatkan fakta politik tersebut?
Apakah
kita perlu memanfaatkan kesempatan yang terbuka dari sanksi tersebut,
misalnya dengan menggantikan produk-produk yang masuk di dalam daftar yang
dilarang? Dari sisi praktis, Indonesia sulit mengambil alih peran sebagai
pemasok barang-barang kebutuhan Rusia. Selain karena jarak geografis yang
terlalu jauh dan persoalan logistik, Indonesia bukanlah produsen andal untuk
produk-produk pertanian yang ditolak Rusia dari Eropa dan Amerika.
Paling
mungkin, Indonesia mengambil manfaat dengan cara mengembangkan kerja sama
alternatif dengan negara-negara yang produknya ditolak Rusia, misalnya dengan
sistem swap (tukar) agar produk Indonesia pun bisa dibeli oleh para negara
yang sedang kebanjiran produk pertanian itu. Sistem tukar penjualan ini perlu
supaya APBN kita tidak terbebani peningkatan impor. Namun ada juga pertanyaan
lain, yakni apakah Indonesia mau ikut menekan Rusia dan solider menjatuhkan
sanksi ekonomi?
Apakah
secara etis pergaulan internasional, tindakan tersebut akan memperkuat atau
memperlemah kedudukan kita? Di sinilah kita harus jelas keberpihakannya.
Tidak mungkin kita sekadar abstain demi politik bebas aktif. Dalam sejarah,
sanksi ekonomi sifatnya diskriminatif. Pada saat rezim otoriter propasar
bebas berkuasa di Amerika Latin dan Asia Tenggara pada 1970-an hingga akhir
1990-an, tidak ada sanksi ekonomi yang dikeluarkan negara-negara Barat,
tetapi sebaliknya pada negara yang memiliki perbedaan garis ideologi dengan
Barat seperti Rusia, Kuba, Iran, dan Korea Utara.
Mereka
dengan mudah dijatuhi sanksi. Keberpihakan Indonesia selayaknya pada sisi
kemanusiaan, demokrasi, dan penghidupan masyarakat madani. Di sinilah
Indonesia perlu memisahkan diri dari ”kerumunan
pemberi sanksi ekonomi” dan menunjukkan dasar sikap yang berbeda. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar