Grafomania
Bagja Hidayat ;
Wartawan Tempo
|
KORAN
TEMPO, 12 Agustus 2014
Internet mengkhawatirkan karena ia memudahkan hal-ihwal.
Internet membuat cemas karena telah membuat kita malas.
Seorang wartawan senior bercerita. Dulu, jika akan menulis, ia
cuma mengandalkan bahan-bahan yang dicetak. Ia harus berkutat di
perpustakaan, membaca banyak buku-tentu saja tidak dengan sambil lalu-untuk
mencari perspektif dari apa yang akan ia tulis. Ia menandai bahan-bahan
penting, lalu menyusunnya agar mudah ditemukan ketika proses menulis dimulai.
Pendeknya, menulis adalah sebuah kerja yang militan.
Kini kita hanya perlu koneksi. Google akan menjawab semua
pertanyaan wartawan tua itu. Tak perlu membaca buku dari daftar isi hingga
bab penutup, cukup klik "find" untuk menemukan kata atau topik yang
ingin dilihat. Wikipedia memuat segala hal dengan jaringan yang tak
putus-putus. Orang bisa mendapat bahan dengan mudah dan cepat. Tapi betapa
mengkhawatirkan, paling tidak bagi seorang teman.
Ia mengeluh, dirinya kian sedikit menemukan tulisan-tulisan
jernih dengan gaya yang tetap menghibur. Setiap hari orang mengirimkan buah
pikirannya untuk kolom-kolom media massa, untuk diterbitkan di buku-buku.
Tapi buah pikiran itu baru sebatas buah bibir. Tak perlu ditulis, buah
pikiran cukup bisa diucapkan. Padahal orang menulis karena "kata tak
cukup untuk berkata". Orang menulis karena lisan tak cukup menampung
"percikan permenungan".
Teman itu membuat kesimpulan agak ganjil. Ketiadaan para penulis
yang mahir mengolah kata dan bahasa itu terjadi karena kini tak ada lagi
seleksi. Para penulis tak belajar di mana kekurangan-kekurangannya. Dari hal
elementer sampai soal pokok gramatikal. Ada penulis yang namanya
malang-melintang sebagai kolumnis, tapi masih belepotan membedakan
"di" sebagai imbuhan dan "di" sebagai kata depan. Ia tak
bisa membuang kata-kata yang sudah jadi klise.
Bagi dia, yang penting adalah isi. Padahal isi bisa dituang di
mana saja. Para penulis itu bergulat dengan rahasia dan keajaiban kata untuk
melahirkan bentuk luar. Bentuk itulah yang pertama menyapa, sebelum kita
menikmati isinya. Kini kita menghadapi serangkaian isi seperti melihat-lihat
celana jins di supermarket. Tak ada keunikan.
Barangkali karena kini orang bisa menyiarkan tulisan kapan dan
di mana saja. Buah permenungan itu langsung menyapa publik yang luas tanpa
editor yang bertindak sebagai algojo. Media sosial yang riuh mendorong orang
melontarkan gagasan sebatas celetukan. Saya teringat kembali Milan Kundera
yang mempopulerkan istilah ajaib semacam "grafomania". Dan saya
kini mengerti kenapa ia ngotot membedakan "penulis" dan
"novelis".
Saya masih menganggap kesimpulan teman saya itu ganjil. Internet
adalah jawaban atas pertanyaan dan perjuangan tentang kebebasan. Zaman ini
menyuguhkan pertarungan "pasar" para penulis sesungguhnya. Hanya
mereka yang bandel dan keras kepala yang kelak menyandang gelar
"penulis", kata Orhan Pamuk. Ia sendiri menentang nasib yang
mengarahkannya menjadi juru gambar, dengan terus menulis, memperbaiki,
menulis, memperbaiki, hingga membuat novel-novel yang teruji.
Tulisan ini sendiri bukan lahir dari sikap keras kepala semacam
itu. Tulisan ini mungkin masih lahir dari ego seorang grafomania dengan
memanfaatkan apa yang ia khawatirkan: Internet-betapapun kekhawatiran itu
kian menemukan alasan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar